Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Â
"Rem!" Suara keras itu memekakkan telinga, memecah kesunyian pagi yang dingin. Anya, dengan napas tersengal, menatap ngeri ke arah tubuh renta yang berada di jalan setapak. Nenek Ratih, tetangganya yang selalu ramah, terbaring tak bergerak. Jantung Anya berdegup kencang, rasa seketika menyeruak bagai gelombang pasang. Ia hanya sedang terburu-buru, terlambat masuk kelas pagi, dan tak sengaja menyenggol Nenek Ratih yang berjalan lambat dengan tongkatnya. Tapi semua sudah terlambat. Mata Anya memanas, air mata menggenang di pelupuknya. Seorang tetangga yang kebetulan lewat berteriak histeris, memanggil yang lain. Dalam hitungan detik, kerumunan orang mulai memadati jalan, membentuk tajam dan bisik-bisik menusuk hati Anya lebih dalam dari tusukan pisau.
Dunia seakan berputar terbalik bagi Anya. Gadis yang dulu ceria dan penuh semangat kini terpuruk dalam kesunyian. Hujanan cacian dan makian seperti "pembunuh" dan "anak tak berhati" terus menghantui kehidupannya. Dulu, ia disambut dengan ramah dan senyuman hangat oleh tetangga, namun kini hanya ada tatapan curiga dan kebencian. Rasa bersalah yang mendalam menggerogoti jiwanya. Setiap kali mengingat peristiwa itu, suara Nenek Ratih yang lembut seolah menyalahkannya. Ibunya, Bu Sinta, berusaha sekuat tenaga untuk menenangkannya, namun luka di hati Anya terlalu dalam untuk sembuh seketika.Â
Bu Sinta mengamati perubahan drastis pada putrinya. Dulu, Anya selalu ceria dan bersemangat menceritakan kegiatan sehari-harinya. Namun, kini Anya terlihat lebih pendiam, nafsu makannya berkurang, dan wajahnya selalu tampak murung. Bu Sinta berusaha berbagai cara untuk menghibur Anya, seperti mengajaknya berjalan-jalan, memasak makanan favoritnya, bahkan membelikan buku-buku baru. Sayangnya, semua usahanya itu tidak membuahkan hasil yang berarti. Anya seolah terisolasi dalam dunianya sendiri.Â
"Anya, Nak," Bu Sinta memanggil dengan lembut, sambil mengetuk pintu kamar Anya, "ayo makan malam. Ibu sudah masak sup kesukaanmu."Â
Tidak ada jawaban. Hanya kenyamanan yang mengunci kamar itu. Bu Sinta menghela nafas dan membuka pintu pelan. Ia melihat Anya di atas tempat tidurnya sambil memeluk bantal.Â
"Anya?" Bu Sinta mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. "Apa yang kamu rasakan, sayang?"Â
Anya hanya menggeleng, enggan menatap ibunya. Ia merasa malu, merasa tidak pantas mendapatkan perhatian ibunya.Â
"Ibu tahu ini berat untukmu, tapi kamu tidak sendiri, Nak." Bu Sinta menginginkan rambut Anya, dengan penuh kasih sayang. "Ibu akan selalu ada di sini untukmu."Â
Anya merasa tertarik pada perhatian ibunya. Namun, rasa bersalah dan trauma masa lalu terus menghantuinya. Ia merasa tidak berharga, seakan telah merusak hidupnya sendiri dan menyakiti orang-orang terdekat. Anya kerap dilanda kebingungan, bertanya-tanya apakah ia layak untuk merasakan kebahagiaan dan mendapatkan pengampunan.
"Maafkan Anya, Bu," akhirnya Anya berbisik, suaranya parau. "Anya sudah membuatkan Ibu malu. Anya... Anya pembunuh." Air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Bu Sinta memeluk Anya erat.