Bu Sinta memutuskan untuk memperlihatkan tulisan karya Anya kepada Pak Ari. Beliau berharap Pak Ari berkenan memberikan saran dan dukungan bagi Anya. Setelah membaca tulisan tersebut, Pak Ari merasa sangat kagum dengan bakat menulis yang dimiliki Anya. Menurut Pak Ari, tulisan Anya sangat menyentuh dan sarat makna. Beliau bahkan menyarankan agar Anya mengikuti lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit.Â
Awalnya, Anya menolak tawaran itu. Rasa tidak percaya diri begitu mendominasinya. Ia merasa tidak layak untuk diperhitungkan oleh orang lain. Trauma masa lalu, berupa sindiran dan bisikan tetangga, masih menghantui pikirannya. Namun, berkat dukungan penuh dari Pak Ari dan Bu Sinta, ia mulai berpikir ulang. Mereka meyakinkan Anya bahwa ia memiliki potensi yang luar biasa dan layak mendapatkan kesempatan kedua. Akhirnya, dengan penuh keraguan, Anya memutuskan untuk mengikuti lomba tersebut. Â Â
Anya menuangkan seluruh emosi dan pengalaman pribadinya ke dalam cerpen berjudul "Luka yang Tak Kunjung Sembuh". Karya tulis ini mengangkat tema tentang rasa bersalah, penyesalan, dan upaya untuk bangkit dari keterpurukan yang pernah dialaminya. Dengan gaya bahasa yang jujur dan menyentuh, Anya berhasil menghadirkan sebuah karya yang begitu mendalam dan autentik.
Beberapa minggu berlalu, dan tiba-tiba pengumuman lomba pun diumumkan. Anya sangat terkejut ketika namanya disebut sebagai juara pertama. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Pak Ari dan Bu Sinta segera menghampirinya, memberikan ucapan selamat yang hangat atas keberhasilannya. Mereka merasa bangga atas pencapaian Anya, atas kerja keras yang telah ia lakukan, dan atas bakat luar biasa yang dimilikinya.
Kemenangan Anya menjadi perbincangan di lingkungan sekitar. Mereka tidak menyangka bahwa gadis yang dulunya mereka anggap pembunuh kini telah menjadi seorang penulis muda berbakat. Beberapa dari mereka merasa malu, mereka mulai menyesali perbuatan mereka.Â
Anya yang awalnya ragu, akhirnya memberanikan diri untuk keluar rumah. Ia menyampaikan dengan yang berbeda, bukan lagi menyampaikan sinis, tetapi menimbulkan kekaguman dan rasa hormat. Beberapa orang datang menghampirinya, menanyakan maaf atas perbuatan mereka di masa lalu. Anya tersenyum, senyum yang tulus dan penuh dengan rasa syukur. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia menyadari bahwa masih ada orang yang peduli padanya.Â
Anya tidak melupakan Nenek Ratih. Ia terus mendoakannya setiap hari. Ia bermaksud membuat sebuah yayasan yang didedikasikan untuk Nenek Ratih, sebagai bentuk penghormatan dan pengampunannya. Ia ingin agar nama Nenek Ratih selalu dikenang sebagai seorang yang baik dan ramah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H