Mohon tunggu...
Siti Andriana
Siti Andriana Mohon Tunggu... Guru - Guru / Enterpreneur / Penulis

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Yatim Piatu

20 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   18:20 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Assalamualaikum sahabat kompasiana. semoga sehat selalu. Untuk mengawali hari, senin tetap ceria yah ...

Aku, Yatim Piatu

Setiap perjalanan pulang, aku yakin tak semua manusia sedang baik-baik saja. Ada keresahan tersendiri yang sulit diabaikan, ketakutan mencekam diri tak bertuan. Kadang kala mengalahkan alam bawah sadar yang berbicara akan segalanya.

Mengapa perjalanan pulang begitu sangat mengerikan ?

Entahlah, pada fasenya tiap manusia akan merasakannya. Aku masih merasa nyaman, dalam lamunku yang tak berujung pada tepi berlaku. Aku sendiri tak punya siapa-siapa yang mampu menopang semua hasrat suka dukaku. Gadis malang, pikirku.

Lima tahun berlalu sejak kepulangan Ibu pada Sang Illahi, kurasa aku masih memiliki napas yang akan menyambung semangat hidupku, yaitu Ayah. Aku memang kehilangan Ibu, tapi aku mewarisi bakat dan wajah Ibu. Aku adalah harta yang Ayah miliki saat ini, hanya aku. Kami dari keluarga sederhana dan menikmati kemiskinan ini dengan bahagia. Hidup dengan rumah reyot yang berlubang sana-sini, tak menjadikan aku malu pada siapa saja.

Aku tetap ingin menjadi anak yang berbakti. Aku tetap ingin jadi anak shaliha yang bisa memberikan syurga pada orangtuaku. Kadang pula, tetangga kanan dan kiri gubukku bukan semakin iba dengan kesulitan hidup kami. Malahan yang ada selalu saja menjengkali rezeki kami dengan ucapan kasar. Aku tau ini pasti menyakitkan untuk Ayah. Aku tak pernah berhenti membela Ayah, aku takkan membiarkan siapapun menyakiti Ayah.

Ayah adalah satu-satunya laki-laki terhebat yang kumiliki, menjagaku dan selalu memberikan hal terbaik bagiku. Ia tiada duanya. Ia adalah sosok luar biasa berada di belakang layar hidupku.

Aku memang gadis sederhana dan miskin. Tapi soal pendidikan, tetap aku lanjutkan sampai saat ini. Aku menyadari kesederhanaan materi bisa dicari. Tapi harapan dan mimpi tak boleh henti. Aku bertekad ingin menjadi orang yang bermanfaat pada dunia, suatu saat nanti.

Namaku Syuhada Arinda. Anak semata wayang Ayah dan almarhumah Ibu. Aku dibesarkan dari keluarga yang mungkin sebagian orang memandang kesederhanaan kami adalah hina. Tapi bagiku, materi tak menentukan masa depan setiap orang. Aku tinggal di Kota Pekanbaru, Riau. Gubukku adalah satu dari puluhan ribu rumah mewah di kota ini. Aku masih SMA di salah satu sekolah negeri di sini.

Seyogyanya, lingkungan kota hidup dengan banyaknya style dan fashion yang tak biasa saja, mewah dan adaptasi tradisonal modern. Aku melihat pemandangan kota tanpa ingin aku melupakan jejak kesadaran diriku siapa. Teringat selalu pesan Ayah.

"Di manapun kaki melangkah, jangan tinggalkan iman dalam diri. Jangan lupakan nasihat kebaikan pada diri. Apapun yang kita miliki taklah dibawa sampai mati. Selain amal kebaikan diri sendiri."

Perjalanan pergi dan pulang sekolah kutempuh dengan berjalan kaki, terkadang naik sepeda jika sedang tidak rusak karena ban-nya bocor. Prinsip hidup yang lurus yang diajarkan Ayah tak menjadikan aku anak yang manja. Selain bersekolah, aku memiliki kegiatan yaitu bekerja di toko baju. Penghasilan yang lumayan dalam bekerja sampai pulang pukul 22.00 WIB dan dijemput oleh Ayah. Ayah memiliki usaha tukang tempel ban di teras gubuk kecil kami.

Syukurku tak pernah henti dalam hidup. Sepeninggal ibuku tercinta di usiaku yang masih belia, menjadikan kehidupan awal kami sangat merosot dan jauh dari kata layak. Tapi Allah memberi bantuan dari segala macam sisi. Ayah bisa memiliki modal lagi untuk membuka bengkel kecilnya dan aku bisa sekolah lagi. Ada saja bantuan yang mengalir untuk kami melalui tangan-tangan dermawan keluarga ibu di kampung ( Sumatra Barat ).

Suatu hari, aku dikejutkan dengan suara panci terjatuh di dapur. Aku masih belajar dan mengerjakan tugas saat itu, sekitar pukul 21.10 WIB. Aku bergegas ke dapur, ku lihat Ayah mengerang sakit. Tapi aku tidak melihat Ayah di sana. Ah... kembali ku telusuri sisi bagian dapur.

Deg.

Ayah sudah mulai tak kuat menahan sakit. Ayah tersiram air panas sekujur tubuhnya. Kulitnya melepuh di sana sini. Aku bingung bagaimana cara mengangkatnya.

"Da, siram air dingin Nak..." kata ayah pelan sekali

Aku mengangguk sambil menangis. Aku berlari membawa ember dan mengisi air dari kamar mandi.

Byurrr, Byurrrr.

Pelan sekali ku siramkan di tubuh ayah. Balik lagi mengambil air sampai 4 ember. Ayah mulai lemas. Aku segera berlari meminta bantuan.

Kang Maman penjual bakso keliling yang lewat, kumintai bantuan. Alhamdulillah kang Maman, Pak Ujang depan rumah dan beberapa orang warga membantu Ayah ke rumah sakit.

Berani dan nekat adalah modalku membawa ayah ke rumah sakit. Aku memang punya tabungan untuk persiapan kuliah, tapi Ayah melarangku untuk membukanya. Ada kartu BPJS gratis juga salah satu pegangan pengobatan Ayah. Meskipun Ayah diperlakukan seadanya oleh rumah sakit, aku terus berdoa untuk segera membaik pemulihannya. Aku tahu ini sangat berat dan sesak di ulu hati. Tapi, aku tidak boleh cengeng di depan Ayah. Ayah saja dengan kondisi seperti ini, masih mampu memperhatikan aku. Ayah tahu aku tidak makan nasi beberapa hari ini, karena aku menahan uang untuk membeli beras demi ongkos oplet ke rumah sakit. Aku beli roti kemasan yang kuperhitungkan cukuplah mengganjal lambung. Aku tidak tahu bagaimana bisa Ayah sedetail itu padaku.

Ayah... Ayah. Pikirku lagi. 

Allah uji diri ini dengan banyaknya masalah. Allah ingin melihat usaha tangan dan kaki ini, Seberapa jauh kaki ini sanggup menggaungkan diri dalam usaha dan tawakal, seberapa kuat tangan ini merengkuh dan bersyukur. Semua tanpa saling melupakan kehendak Allah subhanahu wata'ala.

Ayah memang terluka dengan ujian yang sedang ia lalui. Tapi ia tangguh dalam menghadapinya. Ia terlihat baik-baik saja. Ia masih bisa tersenyum dan menyapaku setiap hari aku menjenguknya. Ah... Ayah lagi dan lagi ia membuat aku haru dan harus menjadikan teladan. Sosok periang dan bijaksananya menjadikan aku belajar banyak hal.

Aku masih menikmati murotal Ustad Hanan Attaqi di handphone, tak lama panggilan masuk dari rumah sakit. Kulihat sekarang menunjukkan pukul 22.25 WIB. Ayah menyuruhku pulang hari ini, karena ia merasa lebih baikan dari sebelumnya. Segera ku angkat panggilan tersebut.

"Assalamualaikum dengan keluarga pasien Bapak Sastro di kamar 201 ?"Suara suster ku dengar samar-samar.

"Waalaikumsalam, benar Sus. Saya dengan anaknya. Ada apa Sus ?"Tanyaku memburu dengan pikiran dan hati tak menentu.

"Bapak Sastro mengalami sesak napas li ma menit yang lalu, ini kita sedang penanganan oleh dokter. Jika keluarga berkenan, silakan ke rumah sakit untuk mendampingi pasien. " Jawaban Suster seketika.

"Terima kasih, Sus." Jawabku dengan segera mengemas tas kecil yang akan ku kenakan ke rumah sakit.

Sekarang sudah menunjukkan pukul 22.48 WIB. Jalanan mulai lengang dan transportasi apa yang bisa ku gunakan menuju rumah sakit. Ayah selalu melarangku menaiki transportasi umum di malam hari. Ia rela menjemputku ke tempat kerja dengan motor butut kesayangannya. Hmm... tidak ada pilihan lain selain menaiki sepeda.

Aku mengambil sepeda di teras, ku siapkan perlengkapan ke rumah sakit di ranjang depan sepeda. Sebelum mengunci pintu, aku perhatikan isi rumah dalam kondisi baik dan aman.

"Bismillah." Pedal sepeda mulai ku kayuh perlahan.InsyaAllah akan baik-baik saja untuk ayah.

Dalam perjalanan ke rumah sakit yang mulai sepi dan kendaraan tak terlalu ramai seperti biasa. Aku nekat dengan sepeda kesayanganku menuju rumah sakit. Pikiranku memang tak menentu, hatiku memang nyaris sangat sensitive teringat nama Ayah. Kupacu sepeda lebih laju agar segera sampai ke rumah sakit.

Dalam perjalanan, teringat semua perjuangan Ayah untukku. Semua tentangnya, suka dan dukanya membesarkan dan mendidikku selama ini. Ada satu momen bahagia yang tak bisa aku lupakan dari ayah.

Saat usiaku 12 tahun, saat aku memasuki jenjang SMP. Ayah ingin memnberikan kejutan kue ulang tahun untukku. Namun pada saat itu, ayah tak memiliki uang untuk membeli kue. Akhirnya berbekal dengan pengetahuan seadanya dan buku resep Ibu yang tertinggal di kamarnya. Ayah membuat kue minisize untukku. Rasanya enak, gak bantat dan bisa dikatakan perjuangan Ayah berhasil. Ayah menungguku pulang sekolah, hingga aku yang dalam kondisi lelah. Ketika masuk rumah menjadi sumringah dengan kejutan Ayah. Ayah menghias gubuk kami seadanya. Ia tak habis-habisnya mengumpulkan ide membuat aku bahagia. Aku bahagia sekali hari itu.

Ahh Ayah... Engkau luar biasa untuk perjalananku.

Sesampainya di rumah sakit, aku memarkir sepedaku. Kembali berjalan menuju lorong dan menuju kamar Ayah. Ku lihat dokter dan pasien sedang berbincang. Ku lihat, Ayah mulai mereda dan lemas di pembaringan. Ingin sekali rasanya aku menghampiri Ayah segera. Benar, tak menunggu waktu lama dokter dan suster keluar ruangan.

Segera ku hampiri dokter setelah mereka membuka pintu ruangan Ayah.

"Bagaimana Dokter, Ayah baik-baik sajakan ?"tanyaku tak sabar mendengar jawaban mereka.

"Doakan yang terbaik ya, kami sudah berusaha semampu kami. Kembali pada Allah semuanya. Sepertinya Pak sastro sangat tersiksa dengan kondisi kulitnya yang melepuh hebat. Saya salut, ia masih semangat dan ceria. Padahal sudah terlalu banyak luka di tubuhnya. Untuk saat ini, saya harap anda bisa mendampinginya selalu. Ia butuh teman bercerita, sepertinya." Jawab dokter.

"Terima kasih, Dok."Tangisku ingin pecah memeluk Ayah. Aku segera berlari menghampiri Ayah.

Ayah masih diam, kaku dan belum sadarkan diri. Entahlah, aku tidak tahu lagi menguakkan segala pekik yang tak bisa menjerit dengan leluasa. Batinku terisak-isak mengisi suasana lorong Rumah Sakit.

"ya Allah, selamatkan... Ayah."Doaku tak henti dalam hati.

"Jika Ayah pergi, pada siapa segala cerita dan gemuruh tak menentu ini akan kukuakkan, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ah, Ayah ... Engkau pasti sudah lelah ya. Istirahatlah, Ayah."Batinku terus berbicara lirih.

Malam ini terasa begitu dingin sekali, Aku terbangun pukul 02.10 WIB dan kulihat Ayah mengedipkan mata dan tangan ringkihnya meraih kepalaku.

"Ayah... Alhamdulillah Ayah sudah sadar.Aku panggil Dokter ya.."Senyumku mulai mengembang seketika.

"Jangan Nak, Ayah ingin istirahat ditemani Syuhada. Pelita Ayah dalam hidup. Syuhada yang kelak memberi syurga untuyk Ayah dan Ibu. Syuhada sudah besar dan dewasa. Jangan lagi menangis dan takut jika mati lampu ya. Jangan lupa sarapan setiap pagi. Jangan lagi makan selalu diingatkan. Ingat pesan Ayah pada Syuhada. Celengannya dipecah ketika Syuhada masuk kuliah. Syuhada harus bisa mengambil peluang beasiswa di kampus impian Syuhada. Syuhada ingatkan, saat kita bermain ayunan dulu di teras rumah. Lagu kebahagiaan kita, Lagu tentang betapa Ayah sangat menyayangi Syuhada. Harapan Ayah begitu besar untuk melihat Syuhada sukses. Suatu saat Syuhada akan menjadi dosen dan bisa membuka usaha butik. Syuhada...."Ucapan Ayah ngelantur dan lembut sekali terdengar di telingaku.

"Ayah...Ayah bicara apa ? Ayah baik-baik aja kan ? Syuhada panggilkan dokter ya." Kataku lagi

Kembali tangan Ayah meraihku.

"Jangan Syu....."Kudengar suaranya lebih lirih dan ringkih.

Tiba-tiba Ayah berkata.

"Syuhada, Ayah pulang ya. Syuhada jaga diri baik-baik. Jaga nama baik keluarga dan nama baik Syuhada...."terputus dan seketika aku reflek menuntun ayah berucap.

"Laaaa illa hailla allah, Muhammad darosululloh ... "Suara Ayah terakhir terdengar pelan dan menghilang.

Semua serasa mimpi dan tak percaya ini semua. Aku berlari mewncari dokter pukul 03.15 Wib pagi.

Setelah dokter masuk ruangan, aku masih tergopoh-gopoh panic tak menentu.

"Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiuun, Bapak Sastro sudah tiada. Semoga adik dan keluaga lebih sabar dan ikhlas."Dokter Vena mengelus pundakku.

Aku terduduk lesu di pinggir ranjang Ayah. Mengapa terlalu cepat Ayah pergi? Mengapa Ayah biarkan aku sendiri ? pertanyaan berkecamuk di benakku.

"Allah ... kuatkan dan ikhlaskan aku. Innalillahi wainnailaihi rojiuun Ayah ..."Tangisku menelusuri lorong rumah sakit hendak ke meja administrasi.

Pagi itu tepat pukul 08.15 Wib proses penguburan jenazah Ayah telah usai. Aku pulang ke rumah dengan jalan kaki, beberapa tetangga dan warga menyampaikan belasungkawa dan turut prihatin padaku. Teman-teman sekolahku juga beberapa ada yang dapat ikut berduka di pemakaman tadi.

Sesampainya di rumah, aku berusaha mengingat pesan Ayah sebelum pulang padanyA. Kutuliskan dalam diary dan aku ingin mewujudkan mimpi dan harapan Ayah.

Waktu berjalan sangat cepat, 6 tahun telah berlalu. Sekarang aku baru saja menyelesaikan tesis S2 ku. Alhamdulillah enam tahun ini aku berusaha keras menyelesaikan studiku daan sudah bisa membuka butik. Ini semua tidak terlepas dukungan sahabat terbaik Ayah, Pak Maman Haryanto. Seorang pebisnis ulung dibidang property.

Alhamdulillah aku diterima bekerja di salah satu perguruan tinggi di kota Pekanbaru.Alhamdulillahnya lagi Pak Maman dan istrinya support system di belakang layar keberhasilan usahaku membuka butik.

"Ayah.. Ibu. Kini aku sudah menyandang yatim piatu sejak enam tahun telah berlalu hingga saat ini. Aku masih ingin membahagiakanmu di syurga kelak. Ayah dan Ibu jangan khawatir, Syuhada sudah hijrah menutup aurat dan masih rajin mengikuti kajian sampai saat ini. Sungguh, Syuhada mencintai Ayah dan Ibu karena Allah."Tangisku pecah saat memeluk istri Pak Maman yaitu Bu Mira Handayani ketika wisuda pasca sarjanaku di Yogyakarta.

Kenangku tak henti ingin terus melihat kebaikan-kebaikan Ayah dan Ibu. Ratap tangis yatim piatu ini terus Allah dengarkan doa dan usahanya.Proses yang dimulai dengan niat yang baik akan memberikan hasil yang lebih baik pula.

Alhamdulillah ala kulli hal.

Salam hangat untuk keluarga agar selalu bahagia. Amiin ya Robbal Alamiin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun