"Di manapun kaki melangkah, jangan tinggalkan iman dalam diri. Jangan lupakan nasihat kebaikan pada diri. Apapun yang kita miliki taklah dibawa sampai mati. Selain amal kebaikan diri sendiri."
Perjalanan pergi dan pulang sekolah kutempuh dengan berjalan kaki, terkadang naik sepeda jika sedang tidak rusak karena ban-nya bocor. Prinsip hidup yang lurus yang diajarkan Ayah tak menjadikan aku anak yang manja. Selain bersekolah, aku memiliki kegiatan yaitu bekerja di toko baju. Penghasilan yang lumayan dalam bekerja sampai pulang pukul 22.00 WIB dan dijemput oleh Ayah. Ayah memiliki usaha tukang tempel ban di teras gubuk kecil kami.
Syukurku tak pernah henti dalam hidup. Sepeninggal ibuku tercinta di usiaku yang masih belia, menjadikan kehidupan awal kami sangat merosot dan jauh dari kata layak. Tapi Allah memberi bantuan dari segala macam sisi. Ayah bisa memiliki modal lagi untuk membuka bengkel kecilnya dan aku bisa sekolah lagi. Ada saja bantuan yang mengalir untuk kami melalui tangan-tangan dermawan keluarga ibu di kampung ( Sumatra Barat ).
Suatu hari, aku dikejutkan dengan suara panci terjatuh di dapur. Aku masih belajar dan mengerjakan tugas saat itu, sekitar pukul 21.10 WIB. Aku bergegas ke dapur, ku lihat Ayah mengerang sakit. Tapi aku tidak melihat Ayah di sana. Ah... kembali ku telusuri sisi bagian dapur.
Deg.
Ayah sudah mulai tak kuat menahan sakit. Ayah tersiram air panas sekujur tubuhnya. Kulitnya melepuh di sana sini. Aku bingung bagaimana cara mengangkatnya.
"Da, siram air dingin Nak..." kata ayah pelan sekali
Aku mengangguk sambil menangis. Aku berlari membawa ember dan mengisi air dari kamar mandi.
Byurrr, Byurrrr.
Pelan sekali ku siramkan di tubuh ayah. Balik lagi mengambil air sampai 4 ember. Ayah mulai lemas. Aku segera berlari meminta bantuan.
Kang Maman penjual bakso keliling yang lewat, kumintai bantuan. Alhamdulillah kang Maman, Pak Ujang depan rumah dan beberapa orang warga membantu Ayah ke rumah sakit.