Mohon tunggu...
Nona Kumala
Nona Kumala Mohon Tunggu... Guru - Guru - Penulis

Berharap pada manusia adalah patah hati secara sengaja.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dari Mata ke Metta

24 Juli 2022   13:58 Diperbarui: 24 Juli 2022   14:01 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Part 1

Rasa, apa itu? Buah, kue, permen? Itulah kalimat yang selalu keluar dari bibir Lendra. Ia terbahak-bahak saat ada orang yang menasihati caranya mempermainkan banyak perempuan. Baginya punya pacar banyak itu sebuah kebanggaan, bisa diandalkan dan membuatnya terkenal.

Mungkin bagi sebagian perempuan, suka dengan sosok playboy itu sangat merugikan. Akan tetapi, setiap perempuan yang menjadi pacar Lendra merasa bangga karena berhasil menjadi salah satu pengisi hati lelaki tampan itu. 

Pengisi hati? Ah, iya itu adalah julukan Lendra pada setiap perempuan yang akan dijadikan kekasihnya. Perempuan mana yang meleleh? Ya perempuan bodoh, kalau pintar mana mungkin rela jadi pacar bernomor begitu. Hanya perempuan yang gila harta dan fisik yang masuk ke perangkapnya. Jika dihitung, bulan ini pacar Lendra mencapai dua puluhan. Bayangkan jika setiap bulan ia menambah dua puluh, bukannya itu namanya ternak pacar?

"Len, cewek lo yang kelas sepuluh itu sumbangkan dong ke gue," ujar Pijar, teman Lendra yang paling pendek.

"Kelas sepuluh banyak cuy, yang mana dulu? Raina, Lely, Yuanita, Christiani, Bella?"

"Yang udah lo pake yang mana?"

"Lo mau bekas gue?" Lendra menatap sinis pada lelaki itu, kemudian terdengar tawa dari belakang mereka.

"Ck. Bahasa lo gak ada halusnya bet dah! Maksud gue tuh yang udah jadi mantan lo. Ya kali ntar gue pacaran sama pacar lo. Kan gak ciamik." Pijar memutar bola matanya dengan malas.

"Yang mana lo mau embat aja. Gue mah gampang, kalo lo suka ntar gue putusin."

"Wah, gue bebas milih, nih?" Pijar mengusap kedua tangannya dengan senyum merekah.

"Lo doyan bat dah sisa Lendra." Lelaki yang tadi hanya tertawa ikut menimpali. "Sisa Lendra itu asam semua." Suaranya memelan.

Pletak!

Sendok makan yang ada di atas meja melayang mengenai kepala Alan. "Lo kira gue ngapain itu cewek, ha? Gue cuma koleksi pacar, nggak merusak mereka bego!" Lendra mendengkus kasar. 

Kedua temannya terbahak-bahak melihat ekspresi kekesalan Lendra.

"Santai, Bro. Lo emang bangsat alim dah," ujar Pijar dengan tepuk tangan.

"Mau gue pukul lo? Ngehina itu namanya!" Lendra bangkit, menggulung lengan seragamnya.

Alan yang melihat itu langsung menengahi. "Hei, ini ada di mana?"

"Kantin," jawab keduanya serentak.

"Kantin tempat ngapain?" 

"Makan." Keduanya lagi-lagi menjawab serentak.

"Nah itu tau, kenapa pada goblok mau main tumbuk?" Alan menuntun Lendra agar kembali duduk.

Suasana berubah ramai saat siswa lain masuk ke kantin. Maklum sudah jam istirahat, tempat itu akan padat. Lalu Lendra dan temannya? Tentu saja mereka bolos sejak tadi pagi. Mereka itu seperti magnet, ke mana-mana menempel. Mereka sekelas, sehati dan sama-sama gila.

"Lendra!"

Seruan beberapa perempuan yang baru tiba di kantin membuat kepala Lendra berdenyut, sedangkan Pijar dan Alan terkekeh geli. Mereka tahu, itu pasti pacar-pacar Lendra yang sudah lama tak diapel. 

"Jangan biarkan mereka datang ke sini, pusing gue liatnya." 

"Ssstt." Alan meletakkan telunjuknya di bibir, matanya memberi kode agar teman-temannya melihat arah masuk kantin. Seorang siswi dengan rambut pirang dan kulit putih bersih berjalan pelan dengan nampan berisi semangkuk bakso dan segelas jus jeruk. Tatapannya menyebar, seperti sedang mencari tempat duduk. 

"Bening bet dah." Pijar berbicara dengan dengan yang diletakkan di dagu.

Tanpa sepengetahuan temannya, Lendra menggeser kursinya pelan, kemudian menghampiri perempuan itu. "Halo, Cantik. Mau duduk bareng gue?"

Cewek itu mengangguk pelan. 

Lendra mendeham, lalu kembali berujar," Ayo, duduk di sana!" Dengan sigap ia membawakan nampan perempuan itu menuju meja mereka.

"Gila! Gila, gila! Tadi katanya pusing liat pacar-pacarnya, lah sekarang mau cari umpan baru." Pijar berucap takjub pada tindakan Lendra.

"Ye, lo kayak gak tau si Lendra aja."

Setelah tiba di meja Lendra dan kawanannya, perempuan itu menatap bingung ke arah kursi yang kosong. Hanya satu, sedangkan mereka berdua. Lendra yang seolah paham, langsung mengedipkan mata pada Pijar dan Alan. Kedua temannya saling berpandangan, kemudian bangkit dengan kasar. 

"Tenang aja, lo gak bakalan makan berdiri, Cantik." Lendra mempersilakan perempuan itu untuk duduk. 

Tak jauh dari mereka terdengar bisikan-bisikan. Siapa lagi kalau bukan barisan pacar Lendra. 

"Selalu teman yang jadi korbannya! Dasar buaya darat!" cecar Pijar setelah berjarak dua meter.

"Mereka gak apa-apa?" tanya perempuan itu. 

Lendra tersenyum. " Gak usah dipikirin, mereka emang gitu orangnya. Mau betah-betah duduk di sini padahal udah lama selesai makan." Entah dari mana alasan itu tiba, padahal jelas-jelas mereka belum makan apa pun sejak tadi. 

"By the way nama lo siapa? Gue Bhalendra, panggil aja Lendra." Lelaki itu mengulurkan tangan.

"Gue Cyra." Mereka pun berjabat agak lama, tentunya Lendra yang menggenggam tangannya. Dasar modus!

Perbincangan mereka berlanjut setelah Cyra selesai makan. Lendra akhirnya mendapatkan informasi kalau Cyra siswi kelas X pindahan dari London. Pantas saja wajahnya bening. 

"Berarti gue senior lo, dong. Gue kelas XI," ujar Lendra dengan senyuman manis. 

"Gue panggil Kakak?" tanya Cyra kikuk.

Lendra menggelengkan kepala. "Panggil sayang aja, karena mulai hari ini kita pacaran."

"Ha?" Tiba-tiba Cyra menekan dadanya dengan sebelah tangan, napasnya tak beraturan. Sebelah tangan lagi meraba-raba kantong rok sekolahnya dan mendapatkan sebuah benda melengkung yang biasa digunakan orang kalau asma kambuh. Cyra kemudian menghirupnya dengan cepat. 

"Ki-kita pac-caran?" tanya Cyra setelah napasnya kembali netral. 

"Lo sakit, ya? Udah berobat belum? Kayaknya kuping lo juga bermasalah, gue gak ada bilang pacaran." Lendra berucap santai, dan mengusap rambutnya ke atas.

Napas Cyra kembali tak beraturan, ia lagi-lagi mengambil benda tadi. Lendra berdecak, kemudian bangkit dari tempatnya duduk. 

"Cantik doang, penyakitan." Ia berujar saat meninggalkan kantin, dan lagi-lagi menimbulkan keributan di setiap sudut kantin. 

***

"Serius cewek tadi penyakitan? Terus lo tinggalin sendirian, gitu aja?" Alan membulatkan mata saat mendengar cerita Lendra setelah mereka pulang sekolah.

"Jangan bilang, lo udah ajak dia pacaran?" tanya Pijar dengan mata memicing.

Lendra mengangkat kedua bahunya. "Ya gitu, deh."

Tawa kedua temannya meledak, mereka sampai memegang perut karena kelamaan tertawa. Mereka mengatakan kalau ini adalah hari sial Lendra. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia salah sasaran.

"Eh, tapi ya, mungkin itu karma buat lo. Selama ini gak mau bagi cewek lo ke gue " Pijar semakin memanasi.

Alan menyetujui kalimat Pijar. "Bener, Bro. Kata si mbok gue karma it's real. Dia akan tiba pada waktunya. Kalau sekarang lo suka sakiti perasaan cewek, kelak lo juga akan tersakiti oleh cewek."

"Halah bacot! Karma itu gak ada dan gak bakal ada di hidup gue!" tegas Lendra, kemudian bergegas menuju garasi.

Pijar mengamit tangan Alan perlahan. "Beneran kayak gitu? Berarti kita juga bakal disakiti sama cewek, dong. Kan kita juga sering nyakitin perasaan cewek?" 

Krik ... krik.

"Gue mau tobat!" Keduanya berlari mengikuti jejak Lendra. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing. 

Part lengkap tersedia di Wattpad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun