Dress bunga-bunga kuning pucat dipadukan dengan cardigan mocca. Tas kecil disampirkan ke samping kanan. Rambutnya tergerai. Kacamata persegi panjangnya tertempel di mukanya. Gadis itu sedang duduk di depanku.
Gadis itu mengambil minumannya. Memutar-mutar tepian gelas berisi cairan dengan telunjuknya. Â "Bukankah dunia ini tidak pernah baik? Selalu menghakimi dengan omongan tanpa pernah ingin bertanggung jawab. Tidak merasa bahwa omongan bisa menjadi pisau tajam yang menembus ulu. Meskipun itu sudah berada di zona pertemanan, bahkan keluarga sekalipun."
Minumannya diteguk. Matanya menyipit. Gadis itu berujar miris, "Semakin dekat hubungan, berbicara sesukanya tanpa memikirkan perasaan. Mereka malah cenderung mengabaikan itu terkadang."
Aku menatapnya lama. Melihatnya memainkan tepian gelasnya. Jarinya lentik. Kukunya terpotong rapi. Ada segaris putih yang menandakan kuku tersebut akan memanjang.
"Kenapa dengan kaca spion?" tebakku
"Untuk mengingatkan garis hitam di bawah mataku. Sangat kontras dengan kulitku yang pucat. Badanku juga berisi. Mirip seperti panda, hewan yang malas." Jawabnya.
"Siapa yang bilang?"
"Keluarga." Kata gadis itu
Aku mengernyit.
"Pertama kali kita mendapatkan pendidikan dini dari keluarga, kan? Orang yang paling dipercaya. Yang bertemu setiap hari dari bangun tidur sampai tidur lagi. Yang memberikan pengetahuan dini. Yang membentuk kepribadian diri."
"Justru omongan mereka yang begitu mengena di hati. Kadang orang niatnya ingin memotivasi, tapi malah menyakiti."