Aku memandangnya beberapa saat. Nafasnya mulai teratur, tapi giliran nafasku yang ngos-ngosan. Gara-gara menuruni banyak anak tangga dengan berlari.
"Mau lanjutin perjalanan atau cari penginapan aja bos?" Tanyaku
"Lanjut aja. Tanggung, kurang satu wisata," matanya masih sayu. "Nanti ambil fotonya kamu banyakin, gambar yang aku ambil buat cadangan aja. Nanti aku bantu buat jelasin saat presentasinya."
"Sorry udah ngerepotin."
 Apaan sih bos-nya ini? Seharusnya jadi bos itu cuma leyeh-leyeh. Pikir strategi meningkatkan kualitaas perusahaan di ruangan yang dingin AC. Tanda tangan berkas. Biar anak buahnya yang terjun ke lapangan. Memerintah itu merupakan hal wajar yang dilakukan bos ke karyawannya. Lalu ini? Memforsir tubuhnya dan bilang maaf?
Aku mendengus.
*****
      "Beneran gak apa apa, Bos? Mukanya masih pucat gitu."
      Kini dia yang mendengus. "Gak usah lebay."
      Dia terus berjalan. Menyusuri trotoar jalan. Mengarahkan kameranya pada gedung tua. Tabir langit sudah hampir menutup. Lampu kuning jalan mulai menyala satu-persatu.
      Dia menurunkan kameranya. Menghampiri seorang gadis yang sedang mengelus kepala kucing abu-abu. Rambutnya menutupi sebagian mukanya.