Burger ada di tangan kanannya. Roti isi itu sisa setengah. Minuman cola diseruputnya untuk melegakan sesak di tenggorokan. Sepatu heels tujuh centi berbunyi mengetuk lantai. Langkahnya cepat dengan orang di sampingnya yang sedang membacakan roundown. Ya... Dia makan sambil berjalan.
      "Mbak, take pertama bacakan berita mengenai ijin KPU yang memperbolehkan kampanye pilkada mengadakan konser. Ini naskahnya." kata seorang Program Director berkacamata.
      Dia sudah bersiap di balik meja menyampaikan berita dari depan kamera. Suaranya yang tegas, tapi mampu memainkan irama. Wajahnya yang manis dengan dimples di sudut bibir kanan dan kirinya ketika tersenyum. Dialah Senja. Public figure yang mempunyai jam terbang tinggi. Karirnya sedang naik daun.
      "Senja nanti jam 7, dubbing di kantor sebelah buat acara lusa." ucap Manager-nya.
      Dia mengangguk.
      Beginilah jika kerja di dunia intertaiment. Tidak mengenal waktu. Hidupnya digunakan untuk berada di jalan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bersyukurnya tidak kepanasan, karena menyiarkannya di ruangan.
      "Tolong belikan saya kopi di cafe bawah," perintahnya pada assistant-nya
       Badannya sedikit tidak enak. Rasanya lemas. Mungkin karena kurang tidur. Tadi malam sibuk  lembur membuat naskah dan menghafalkan. Biasanya jika seperti itu, ia membutuhkan cafein agar tetap terjaga dan kembali segar.
       Senja meraba lehernya. Menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Benjolan di lehernya sedikit nyeri. Memang udara di luar sedang tidak menentu. Panasnya begitu menyengat, mendung juga kadang datang tapi tidak hujan. Membuat anginnya begitu dingin menembus kulit.
       Assistant-nya kembali dengan membawa satu cup cappuccino, "Ini mbak."
      "Kamu punya jaket, Di?"
      "Mbak kedinginan?"
       Senja mengangguk, "Kayaknya AC-nya kekecilan suhunya."
      "Bentar mbak, aku ambilkan," Dia meraih remot AC, mengatur suhunya. Lalu mengambilkan jaket di ujung ruangan miliknya.
      Senja merentangkan tangannya. Memasukkan lengan jaketnya pada lenganku.
      "Kok basah, Mbak?"
      "Rasanya dingin tapi keringetan, Di." jawab Senja.
      "Mbak gak pa-pa?"
      "Kayaknya cuma masuk angin," Senja merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi.
      "Yaudah mbak istirahat aja dulu, masih ada waktu 2 jam lagi. Nanti saya bangunkan."
      Senja mengangguk. Perlahan memejamkan mata.
                                                                           *****
      "Mbak boleh nanti saya ijin sebentar?" tanya Senja pada sang manager.
      "Saya ada urusan sebentar." tambahnya.
      "Oke... ada selang waktu 3 jam bisa kamu manfaatkan."
      "Terima kasih."
      Setelah beberapa hari, merasa badannya tidak ada perubahan. Padahal obat penangkal masuk angin seperti iklan di televisi sudah diminumnya. Senja memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Menekan rasa khawatirnya pada tubuh yang dititipkan oleh Sang Pencipta padanya.
      Memasuki ruangan berbau obat-obatan. Ia membuka kacamata hitamnya. Memberikan senyum ramah pada dokter perempuan di hadapannya. Menjelaskan secara terperinci yang dia rasakan. Menyibak rambutnya dan menunjukkan benjolan yang ada di lehernya. Dokter itu menyentuh benjolan tersebut dengan berkata maaf sebelumnya.
      "Kita lakukan cek laboratorium ya, Mbak Senja," ucapnya sambil menuliskan rujukan.
      "Apakah parah dok?"
      "Ini masih perkiraan saya saja. Lebih jelasnya kita perlu melakukan cek lab. Nanti setelah keluar hasilnya, saya jelaskan,"  Dokter perempuan itu tersenyum.
      Ketika hasilnya tidak bisa dilihat hari itu juga. Senja beranjak kembali ke studio.
                                                                               *****
       Senja menghela nafas. Sudah dua bulan ia berada di sini. Mengikuti cara dokter mengobati penyakitnya. Menyendiri di rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasnya. Di lereng pegunungan. Hawanya sejuk. Pepohonan masih hijau. Embun juga masih nampak jelas. Kabut pun ikut berperan menghalangi penglihatan.
       Amplop putih berlogo rumah sakit yang ia kunjungi tempo lalu sudah di tangannya. Selembar kertas di dalamnya diambil. Menekuni setiap hasil cek kemarin. Tidak mengerti. Namun, penjelasan dokter kemarin membuatnya begitu paham 100%.
      "Cancer Limfoma stadium 4. Ada beberapa metode penyembuhan. Kemoterapi, radiologi dan operasi. Berhubung cancer sudah pada stadium lanjut, jalan operasi tidak efektif. Jalan satu-satunya dengan kemoterapi. Ini untuk menekan penyebaran kanker ke bagian tubuh lain."
      "Nanti saya akan memberikan obat pereda nyeri dan peningkatan kekebalan tubuh. Kurangin beraktivitas dan banyak istirahat."Â
      Lamunannya buyar. Suara televise mengagetkannya. Menampilkan iklan yang pernah menggaetnya menjadi tokoh utamanya memamerkan produk. Tampil gesit dengan rambut yang selalu di gerai lurus sebahu. Setitik air mata luruh ke pipi. Ia meraba kepalanya. Sudah tandus.
      Air mata berderai tanpa henti. Lama-kelamaan menjadi isakan kepiluan. Ia memutuskan meninggalkan semuanya. Karir yang sedang beranjak naik. Cita-citanya yang ingin berkeliling dunia karena prestasi yang didapat. Â
      Keluarganya puni tidak dihubunginya. Berdalih ingin liburan karena kegiatan yang begitu padat. Itulah jawaban saat ada orang sekitar yang bertanya. Ia tidak ingin merepotkan dan membuat khawatir orang-orang.
      Tempat ini cukup sunyi. Langit berwarna biru laut. Awan tampak seperti serpihan kapas di atas sana. Burung terbang bersama kawan-kawannya. Seperti sedang bercengkrama. Berbaris abstrak, kemudian kembali rapi.
      Bunga jambu berjatuhan tertiup angin. Daun bergoyang-goyang membentuk tarian. Cahaya turun menerpa muka. Bayangannya bermain di sela pipi. Bulu mata basah. Kelopaknya merah. Pandangannya melamun lurus menatap langit. Kursi anyaman bambu berderit. Seseorang duduk.
      Matahari turun. Beristirahat. Karena seharian sudah bertugas memberikan seluruh jiwanya menerangi tempat untuk manusia berpenghuni. Tabir langit sedang memainkan atraksi. Gradasi warna yang elok dinikmati.
      "Bukankah itu indah?" tanyanya.
      Senja mengangguk. Tatapannya masih terpaku,
      "Tempatku sebentar lagi." kata Senja.
      "Kamu yakin?" tanyanya lagi.
      "Semua orang mati akan kembali ke langit."
      Pria itu mengangguk
      "Tapi Tuhan-mu tidak mengijinkan langitnya di huni orang sepertimu."
      "Kenapa? Aku sudah berusaha. Berdoa. Berserah kepada-Nya untuk hidup dan matiku. Apa kurang?"
      "Kau putus asa."
      "Aku tidak putus asa!"
      "Kau putus asa." katanya lagi.
      "Aku tidak putus asa! Aku sudah berusaha mengobati penyakitku. Sudah aku lakukan kemoterapi sampai rambutku habis. Meminum kapsul setiap hari sampai lidahku mati rasa. Menghabiskan jamu tumbuh-tumbuhan yang baunya mematikan penciuman." serang Senja.
      "Aku sudah berdoa meminta kesembuhan."
      "Sisanya, aku berserah kepada-Nya."
      "Tidak ada orang yang berserah sepertimu..." ucapnya.
      Giginya gemelatuk. Tangan saling meremas. Senja geram. Menahan marah. Sangking geramnya air matanya hampir luruh lagi. Kenapa dia bicara seperti itu? Bukankah itu yang diajarkan?
      Kekehannya lirih terdengar, "Kau tidak pernah berserah. Berserah tidak mengorbankan kebahagiaan."
      Apa maksudnya? Pikir Senja dalam hati.
      "Kau lihat?" Tunjuknya.
      Kumpulan warna memenuhi langit. Matahari sudah benar-benar hilang. Hanya tersisa semburat warna jingga yang muncul di balik awan putih.
      "Kau tau matahari tenggelam di langit barat?"
      Aku mengangguk.
      "Itu sudah paten. Lain halnya jika kiamat datang,"
      Benar.
      "Apakah artinya mustahil jika senja tenggelam di langit selatan?"
      Ya
      "Tapi semburat jingganya menyebar menghiasi langit dengan indah,"
      "Bahkan warna jingga bisa sampai di langit selatan,"
      Aku lagi-lagi mengernyit.
      "Kau masih punya kesempatan,"
      "Masih ada warna meskipun matahari sudah menghilang di barat,"
      "Kau bukan warna hitam yang jika dicampurkan dengan warna lain, gelap yang didapatkan,"
      "Allah sedang memberimu cobaan untuk diselesaikan. Bukan diakhiri dengan kata berserah,"
      "Meskipun dunia mengatakan mustahil. Kau masih punya Tuhan yang Maha Esa. Satu-satunya solusi,"
      "Kau hanya bisa memprediksi, Tuhan yang memegang kendali,"
      "Yang hidup pasti akan mati. Namun, sebelum bersatu dengan tanah kau masih punya kesempatan. Jangan suka mengandai negatif. Kau bukan Tuhan yang mengetahui hidup mati hamba-Nya. Mengorbankan seluruh impianmu. Cita-citamu. Kebahagiaanmu. Dan seolah-olah kau akan mati esok,"
      "Aku tidak suka pemikiranmu, apalagi Tuhan-mu," tegasnya.
      Senja menengok padanya. Bajunya putih bersih. Sorban dipakai sebagai penutup kepala. Matanya teduh meskipun berkata tegas.
      "Bangkitlah... Dirimu menanti semangatnya kembali." ucapnya sambil tersenyum.
      Mukanya bercahaya. Senyumnya tulus.
      Semakin lama cahaya itu berpendar. Sayup-sayup terasa membayang. Pandangan terasa kabur. Tangan menekan ujung kursi mencari pegangan. Mata terus-terusan mengerjap. Menetralkan penglihatan.
      Tempat duduk di sebelah Senja kosong.
      Kemana perginya bapak tua itu?
      Senja memutar kepalanya sembilan puluh derajat. Celingak-celinguk. Hembusan udara lewat kuping. Persis seperti tiupan halus.
      Senja membuka mata sempurna. Keringat membanjiri pelipis. Badannya terbangun di atas ranjang. Korden masih terbuka, sorot lampu dari seberang yang menerangi. Suara jangkrik bernyanyi.
      Tadi hanya mimpi? Mengapa terasa nyata sekali? Tanyanya pada diri sendiri
      Menengok jam yang tersampir di dinding. Senja menormalkan nafasnya. Kepalanya sedikit menunduk. Pikirannya penuh. Ucapan dari bapak tua yang datang menemuinya di mimpi. Semua yang dikatakannya. Terus terngiang-ngiang. Berputar bagai playlist. Urut.
      Senja memijat pangkal hidungnya. Menyibak selimut. Turun dari ranjang. Mengambil air wudhu. Terdengar azan yang sudah berkumandang di masjid terdekat. Memilih shalat magrib untuk menenangkan pikirannya.
Siti Hartinah
Semarang, 16 Januari 2021
(Foto hasil jepretan sendiri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H