Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stuart Hall dan Eksposur Pangan: Sebuah Tinjauan

23 Januari 2025   15:39 Diperbarui: 24 Januari 2025   09:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stuart Hall, seorang tokoh penting dalam studi budaya, menawarkan perspektif yang kaya tentang bagaimana media, negara, dan pangan saling terkait dan membentuk makna dalam masyarakat. Konsep eksposur, dalam konteks pemikiran Hall, mengacu pada bagaimana pesan-pesan media diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh audiens.

Teori Encoding-Decoding Stuart Hall

Salah satu kontribusi utama Hall adalah model encoding-decoding. Model encoding-decoding Stuart Hall adalah sebuah kerangka kerja analisis yang sangat berguna untuk memahami bagaimana pesan media diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh audiens. Model ini menekankan bahwa makna tidaklah pasif diterima oleh audiens, tetapi justru aktif dikonstruksi dalam proses interaksi antara teks media dan konteks sosial budaya audiens.

Encoding

Dalam teori komunikasi, encoding adalah proses mengubah ide atau pesan menjadi bentuk yang dapat dipahami oleh penerima. Proses ini melibatkan pemilihan kata, gambar, suara, atau simbol-simbol lain yang sesuai dengan konteks dan tujuan pesan. Stuart Hall, seorang ahli budaya populer, memberikan sumbangan besar dalam memahami bagaimana proses encoding ini bekerja dalam konteks media.

Menurut Hall, proses encoding tidaklah netral. Produsen media, seperti pembuat film, penulis berita, atau pembuat iklan, memiliki kepentingan dan ideologi tertentu yang akan mereka sematkan dalam pesan yang mereka produksi. Dengan kata lain, pesan media tidak hanya sekadar informasi, tetapi juga merupakan konstruksi sosial yang mengandung makna-makna tertentu.

Hall mengusulkan model encoding-decoding untuk menjelaskan bagaimana pesan media diproduksi dan diterima. Dalam model ini, produsen media menyediakan pesan dengan nilai-nilai, ideologi, dan asumsi mereka. Pesan ini kemudian didekode oleh audiens. Namun, proses decoding tidak selalu berjalan satu arah. Audiens tidak selalu menerima pesan secara pasif. Mereka dapat menafsirkan pesan sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman pribadi mereka.

Ilustrasi gagasan Hall terkait encoding misalnya bayangkan Anda sedang berjalan di pusat perbelanjaan yang ramai. Aroma menggugah selera tiba-tiba menggelitik indra penciuman Anda. Mata Anda tertuju pada sebuah gerai makanan cepat saji dengan desain yang ceria dan lampu-lampu terang. Tanpa sadar, langkah kaki Anda terhenti dan Anda merasa tertarik untuk masuk. Tahukah Anda? Di balik semua itu, ada sebuah sihir yang bekerja keras: encoding.

Encoding dalam dunia makanan cepat saji adalah seni merangkai berbagai elemen untuk menciptakan pengalaman yang menggugah selera dan sulit dilupakan. Setiap detail, mulai dari warna kemasan hingga musik yang diputar, dirancang dengan cermat untuk membuai indra dan membujuk Anda untuk membeli.

Ilustrasi gagasan Hall misalnya, perhatikan warna-warna cerah yang mendominasi kemasan makanan cepat saji. Merah menyala, kuning cerah, dan hijau segar bukanlah pilihan yang kebetulan, tetapi strategi pemasaran yang cermat. Warna-warna ini secara psikologis merangsang nafsu makan dan menciptakan kesan ceria. Bayangkan saja, ketika Anda melihat kotak burger berwarna merah menyala dengan logo yang menggugah selera, otak Anda langsung mengirimkan sinyal bahwa makanan di dalamnya pasti lezat.

Selain itu, aroma adalah salah satu indera yang paling kuat dalam mempengaruhi selera makan. Saat Anda memasuki gerai makanan cepat saji, aroma harum kentang goreng yang baru digoreng atau aroma daging yang membahana langsung menggelitik indra penciuman Anda. Ini bukanlah kebetulan, aroma ini sengaja disebar untuk menciptakan kesan bahwa makanan yang disajikan sangat segar dan menggugah selera.

Tidak hanya itu, musik yang diputar di dalam gerai makanan cepat saji juga memiliki peran yang penting. Musik yang ceria dan bertempo cepat dapat membuat Anda merasa lebih bersemangat dan cenderung menghabiskan waktu lebih lama di dalam restoran. Selain menciptakan suasana yang menyenangkan, musik juga dapat membuat Anda merasa lebih santai.

Lebih lanjut, gambar makanan yang ditampilkan pada menu atau kemasan selalu terlihat lebih besar, lebih mengilap, dan lebih lezat dari aslinya. Ini adalah salah satu trik encoding yang paling umum digunakan. Dengan melihat gambar makanan yang menarik, Anda akan membayangkan betapa nikmatnya rasanya dan tidak sabar untuk mencobanya.

Tidak hanya visual dan aroma, tetapi juga kata-kata yang digunakan dalam menu atau iklan makanan cepat saji sangat diperhatikan. Kata-kata seperti "lezat", "nikmat", "sempurna", dan "menggugah selera" sering digunakan untuk menggambarkan produk. Kata-kata ini menciptakan kesan positif di benak konsumen dan membuat mereka semakin tertarik untuk membeli.

Terakhir, iklan makanan cepat saji seringkali mengaitkan produk mereka dengan gaya hidup yang diinginkan oleh konsumen. Misalnya, iklan burger seringkali menampilkan orang-orang muda yang aktif dan energik. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesan bahwa dengan mengonsumsi burger tersebut, konsumen akan merasa lebih muda dan berenergi.

Proses encoding, atau penyandian pesan, memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam membentuk opini publik. Melalui pemilihan kata, gambar, dan sudut pandang yang cermat, media dapat mengarahkan persepsi masyarakat terhadap suatu isu. Agenda setting, misalnya, memungkinkan media untuk menentukan isu mana yang dianggap penting dan layak diberitakan. Dengan terus-menerus menyoroti isu tertentu, media secara tidak langsung membentuk opini publik bahwa isu tersebut adalah masalah yang mendesak. Selain itu, framing juga memainkan peran penting dalam membentuk opini. Media dapat membingkai suatu peristiwa dengan cara yang positif atau negatif, tergantung pada tujuan yang ingin mereka capai. Priming, di sisi lain, adalah teknik yang digunakan untuk menghubungkan suatu ide atau produk dengan nilai-nilai tertentu, sehingga dapat memicu respons emosional yang positif atau negatif pada audiens. Stereotipe juga sering dimanfaatkan dalam proses encoding untuk memperkuat atau menantang pandangan masyarakat terhadap kelompok sosial tertentu. Terakhir, emosi menjadi alat yang ampuh untuk mempengaruhi opini publik. Iklan yang menyentuh hati atau kampanye politik yang menggugah semangat dapat dengan mudah membujuk orang untuk mengambil tindakan tertentu. Dengan demikian, encoding menjadi sebuah alat yang sangat kuat dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat.

Berdasarkan gagasan Stuart Hall, memahami proses encoding adalah kunci untuk mengungkap lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di balik pesan media. Encoding, sebagai proses penyusunan pesan, tidaklah netral. Produsen media, dengan segala kepentingan dan ideologinya, menyisipkan makna-makna tertentu ke dalam pesan yang mereka produksi. Dengan kata lain, apa yang kita lihat, dengar, dan baca di media bukanlah cerminan objektif dari realitas, melainkan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa peran pemahaman encoding di antaranya sebagai berikut. 

Memahami proses encoding memungkinkan kita untuk menjadi konsumen media yang lebih kritis. Kita tidak lagi menerima pesan media secara mentah, melainkan berusaha menggali lebih dalam untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Siapa yang diuntungkan dengan pesan ini?", "Adakah sudut pandang lain yang tidak disampaikan?", dan "Nilai apa yang coba ditanamkan?" menjadi hal yang wajar untuk kita tanyakan.

Dengan memahami encoding, kita dapat mengembangkan kemampuan literasi media yang kuat. Kita dapat mengidentifikasi bias, stereotipe, dan propaganda yang seringkali disisipkan dalam pesan media. Kemampuan ini sangat penting dalam era informasi yang serba cepat seperti sekarang, di mana kita dibombardir dengan berbagai jenis pesan setiap hari.

Memahami encoding tidak hanya membuat kita menjadi konsumen yang cerdas, tetapi juga mendorong kita untuk menjadi produsen media yang lebih bertanggung jawab. Dengan kesadaran bahwa setiap pesan yang kita produksi mengandung makna tertentu, kita dapat menggunakan media untuk menyampaikan pesan-pesan positif dan konstruktif. Kita dapat menjadi bagian dari perubahan sosial dengan menciptakan konten yang inklusif, beragam, dan bermakna.

Decoding

Stuart Hall menggambarkan proses komunikasi sebagai interaksi dinamis antara produsen pesan (encoder) dan penerima pesan (decoder). Produsen pesan, seperti perusahaan makanan cepat saji, menciptakan pesan melalui berbagai media (iklan, kemasan, dll.) dengan tujuan tertentu. Pesan ini kemudian diinterpretasikan oleh penerima pesan (konsumen) berdasarkan kerangka referensi, pengalaman, dan pengetahuan mereka.

Dalam tiga posisi decoding dalam gagasan Hall, dalam konteks masukan cepat saji, Hall mengidentifikasi tiga posisi decoding yang mungkin dilakukan oleh penerima pesan. 

Posisi Dominan-Hegemonik atau Preferred Reading

Audiens sepenuhnya menerima makna yang dimaksudkan oleh produsen pesan. Mereka memahami dan menginterpretasikan pesan sesuai dengan cara yang diinginkan oleh pembuat pesan.

Pada posisi ini, penerima pesan sepenuhnya menerima dan memahami pesan sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh produsen pesan. Dalam konteks makanan cepat saji, konsumen yang berada pada posisi ini akan melihat iklan burger dengan daging tebal dan keju yang meleleh sebagai representasi dari makanan yang lezat, modern, dan sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan. Mereka akan membeli produk tersebut tanpa mempertanyakan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Posisi Negosiasi atau Negotiated Reading

Audiens sebagian menerima makna yang dimaksudkan, tetapi juga melakukan negosiasi dengan nilai dan pengalaman mereka sendiri. Mereka mungkin setuju dengan sebagian pesan, tetapi juga

Pada posisi ini, penerima pesan sebagian menerima dan sebagian menolak pesan yang disampaikan. Konsumen yang berada pada posisi ini mungkin mengakui kelezatan makanan cepat saji, tetapi juga menyadari dampak negatifnya terhadap kesehatan. Mereka mungkin akan memilih untuk mengonsumsi makanan cepat saji hanya sesekali atau mencari alternatif yang lebih sehat.

Posisi Oposisi atau Oppositional Reading: 

Audiens menolak makna yang dimaksudkan dan menciptakan makna alternatif. Mereka mungkin membaca pesan media secara berlawanan dengan maksud yang dimaksudkan oleh produsen. Pada posisi ini, konsumen yang berada pada posisi ini mungkin melihat iklan makanan cepat saji sebagai bentuk manipulasi dan eksploitasi. Mereka mungkin akan mengkampanyekan gaya hidup sehat dan mendorong orang lain untuk menghindari makanan cepat saji.

Contoh untuk memahaminya adalah sebuah iklan burger menampilkan sekelompok teman muda yang tertawa bahagia sambil menikmati burger. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa mengonsumsi burger akan membuat kita merasa senang dan diterima dalam kelompok. Konsumen yang berada pada posisi dominan-hegemonik akan langsung membeli burger tersebut tanpa mempertanyakan kandungan gizinya. Namun, konsumen yang berada pada posisi negosiasi mungkin akan berpikir, "Saya ingin makan burger, tapi saya juga harus menjaga kesehatan." Sedangkan konsumen yang berada pada posisi oposisi mungkin akan mengkritik iklan tersebut karena dianggap mempromosikan gaya hidup yang tidak sehat.

Desain kemasan makanan cepat saji yang cerah dan menarik juga merupakan bentuk encoding. Kemasan yang menarik dapat membuat konsumen tergoda untuk membeli produk tanpa membaca label nutrisi. Konsumen yang berada pada posisi dominan-hegemonik akan langsung tertarik pada kemasan yang menarik, sedangkan konsumen yang berada pada posisi negosiasi mungkin akan lebih memperhatikan informasi nutrisi yang tertera pada kemasan.

Proses decoding atau penafsiran pesan oleh individu bukanlah hal yang sederhana dan seragam. Bagaimana seseorang memahami pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks. Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi posisi decoding seseorang. Pertama, latar belakang budaya. Pengalaman hidup, pendidikan, dan nilai-nilai yang dianut seseorang sejak kecil membentuk lensa kultural yang unik. Lensa inilah yang akan digunakan untuk menyaring dan menafsirkan pesan yang diterima. Misalnya, seseorang yang tumbuh di lingkungan pedesaan dengan tradisi pertanian yang kuat mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang makanan organik dibandingkan dengan seseorang yang tumbuh di perkotaan. Nilai-nilai seperti kesehatan, lingkungan, atau status sosial juga turut membentuk cara pandang seseorang terhadap suatu pesan. Kedua, konteks sosial. Situasi sosial, politik, dan ekonomi di mana pesan disampaikan juga memainkan peran penting. Misalnya, selama masa pandemi, pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan akan lebih mudah diterima masyarakat dibandingkan dengan kondisi normal. Demikian pula, kondisi ekonomi yang sulit dapat membuat konsumen lebih sensitif terhadap harga dan promosi. Ketiga, karakteristik teks media. Elemen-elemen visual, audio, dan linguistik dalam pesan media turut mempengaruhi cara pesan ditafsirkan. Gaya bahasa, pemilihan gambar, musik, dan warna dapat membangkitkan emosi tertentu dan mempengaruhi persepsi audiens. Misalnya, iklan makanan cepat saji yang menampilkan orang-orang muda yang ceria dan energik dapat menciptakan kesan bahwa mengonsumsi makanan tersebut akan membuat kita merasa lebih muda dan bahagia. Keempat, pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi seseorang sangat memengaruhi cara mereka menafsirkan pesan. Misalnya, konsumen yang pernah mengalami masalah kesehatan yang terkait dengan makanan olahan mungkin lebih terbuka terhadap pesan tentang makanan organik. Mereka mungkin percaya bahwa makanan organik lebih sehat dan aman dikonsumsi. Kelima, nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai yang dianut seseorang juga berperan penting. Konsumen yang peduli dengan lingkungan dan kesejahteraan hewan cenderung lebih menerima pesan tentang makanan organik. Mereka melihat konsumsi makanan organik sebagai cara untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan mengurangi penderitaan hewan. Keempat, informasi yang tersedia. Akses terhadap informasi yang akurat dan relevan juga mempengaruhi proses decoding. Semakin banyak informasi yang dimiliki seseorang tentang suatu topik, semakin kritis mereka dalam mengevaluasi pesan yang diterima. Misalnya, akses terhadap penelitian ilmiah tentang manfaat kesehatan makanan organik dapat memperkuat keyakinan seseorang terhadap makanan organik.

Eksposur, Media, Negara, dan Pangan dalam Perspektif Hall

Model encoding-decoding Stuart Hall memberikan kita kerangka kerja yang sangat berguna untuk menganalisis bagaimana pesan-pesan dalam iklan makanan organik diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh konsumen.

Model ini mempunyai implikasi pada studi media dan komunikasi. Model encoding-decoding menyoroti pentingnya melihat komunikasi sebagai proses yang aktif dan dinamis, bukan hanya transmisi informasi secara pasif. Model ini juga menunjukkan bahwa makna tidaklah tunggal atau tetap, tetapi selalu terbuka untuk negosiasi dan interpretasi.

Pemahaman terhadap konsep eksposur dalam perspektif Stuart Hall memiliki implikasi penting bagi studi media dan komunikasi, terutama dalam konteks pangan. Beberapa implikasi tersebut antara lain, pertama pentingnya analisis kritis. Kita perlu menganalisis secara kritis bagaimana media membingkai isu-isu pangan dan bagaimana pesan-pesan tersebut ditafsirkan oleh audiens. Kedua, peran aktif audiens. Audiens tidak hanya pasif menerima pesan media, tetapi juga aktif dalam menafsirkan dan menciptakan makna. Ketiga, hubungan antara media, kekuasaan, dan budaya. Media, negara, dan kekuatan ekonomi saling berinteraksi dalam membentuk produksi dan konsumsi pangan.

Hubungan media, negara dan pangan dalam analisis Stuart Hall dapat diilustrasikan misalnya media tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuknya. Melalui pemilihan berita, framing, dan narasi, media dapat membentuk persepsi publik tentang pangan, misalnya dengan mengkaitkan makanan tertentu dengan identitas budaya, status sosial, atau kesehatan. Sementara itu, Negara memiliki peran penting dalam mengatur produksi dan distribusi pangan, serta dalam membentuk kebijakan terkait pangan. Media seringkali menjadi alat bagi negara untuk menyampaikan pesan-pesan kebijakan dan mempengaruhi opini publik. Kemudian, pangan tidak hanya memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki makna budaya yang kuat. Media dapat memperkuat atau menantang makna-makna budaya yang terkait dengan pangan.

Misalnya iklan makanan seringkali menggunakan simbol-simbol budaya dan nilai-nilai sosial untuk menciptakan asosiasi positif dengan produk tertentu. Misalnya, iklan cokelat seringkali mengasosiasikan produk dengan kebahagiaan dan kenangan masa kecil. 

Lalu liputan media tentang krisis pangan dapat mempengaruhi persepsi publik tentang penyebab dan solusi masalah tersebut. Media dapat mempertanyakan peran individu, pemerintah, atau perusahaan tertentu, atau sebaliknya, menyoroti upaya-upaya untuk mengatasi masalah.

Tantangan dalam Mempromosikan Konsumsi Pangan Sehat melalui Media

Mengacu pada model encoding-decoding Hall, kita dapat mengidentifikasi beberapa tantangan utama dalam mempromosikan konsumsi pangan sehat melalui media:

  • Pluralitas Makna. Pesan tentang pangan sehat dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai audiens. Ada kemungkinan terjadi negotiated reading atau bahkan oppositional reading, di mana audiens tidak sepenuhnya menerima pesan yang dimaksudkan. Misalnya, iklan makanan sehat yang menekankan pada penurunan berat badan mungkin ditafsirkan sebagai promosi diet ekstrem oleh sebagian orang.
  • Persaingan dengan Pesan Lain. Pesan tentang pangan sehat harus bersaing dengan banyak pesan lain di media, seperti iklan makanan cepat saji yang menarik dan mudah diingat.
  • Peran Influencer. Influencer media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk tren konsumsi, termasuk makanan. Namun, tidak semua influencer memiliki pengetahuan yang akurat tentang gizi, sehingga pesan yang mereka sampaikan mungkin tidak selalu akurat.
  • Misinformasi. Informasi yang salah atau menyesatkan tentang makanan seringkali menyebar dengan cepat di media sosial. Hal ini dapat membingungkan konsumen dan menghambat upaya promosi pangan sehat.

Strategi untuk Mengatasi Tantangan

Untuk mengatasi tantangan dalam mempromosikan konsumsi pangan sehat melalui media, beberapa strategi yang dapat diterapkan adalah:

  • Menyesuaikan Pesan: Pesan tentang pangan sehat harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan minat target audiens.
  • Membangun Kepercayaan: Membangun hubungan yang kuat dengan audiens melalui komunikasi yang transparan dan jujur.
  • Menggandeng Influencer: Bekerja sama dengan influencer yang memiliki kredibilitas dan pengetahuan tentang gizi.
  • Melakukan Edukasi: Menyediakan informasi yang akurat dan mudah dipahami tentang gizi dan kesehatan.
  • Menggunakan Bahasa yang Positif: Fokus pada manfaat positif dari mengonsumsi makanan sehat, bukan hanya pada risiko dari makanan tidak sehat.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun