Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengeluh di Tempat Kerja: Penyebab, Dampak dan Solusi

14 Januari 2025   12:53 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:47 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi penulis

Pernahkah Anda merasa ingin berteriak frustrasi di tengah rapat karena beban kerja yang menumpuk? Atau mungkin Anda pernah mendengar rekan kerja mengeluh tentang atasan yang tidak adil? 

Mengeluh di tempat kerja adalah hal yang lumrah terjadi. Namun, di balik keluhan-keluhan tersebut, tersimpan potensi bahaya yang mengancam. Dalam tulisan ini, kita akan mengupas mengapa mengeluh menjadi masalah serius dan bagaimana kita dapat menemukan solusinya.

Penyebab Mengeluh di Tempat Kerja

Bayangkan Anda bekerja di sebuah kapal yang perlahan-lahan tenggelam. Setiap hari, Anda harus berjuang keras untuk tetap bertahan, tetapi upaya Anda terasa sia-sia. Frustasi dan putus asa mulai menghampiri, dan Anda pun tak kuasa menahan diri untuk tidak mengeluh. Metafora ini menggambarkan situasi yang sering dialami oleh banyak karyawan yang merasa terjebak dalam lingkungan kerja yang tidak kondusif. Apa yang menyebabkan kapal ini tenggelam? Ini gambaran dimana kondisi yang pada akhirnya karyawan ingin mengeluhkan kondisi yang mereka alami. 

Ada beberapa penyebab orang mengeluh, di antaranya sebagai berikut. 

1. Beban Kerja yang Berlebihan

Beban kerja yang berlebihan bagaikan kargo tambahan yang terus menumpuk di lambung kapal, membuat kapal semakin sulit bergerak. Ini juga seperti seorang desainer grafis yang harus merampungkan lima proyek besar dalam waktu seminggu, sementara atasannya terus menuntut hasil yang sempurna. Tekanan seperti ini bagaikan badai yang menghempas kapal. Karyawan sering merasa tertekan ketika mereka harus menyelesaikan tugas yang tidak realistis dalam waktu yang singkat.

Beban kerja yang berlebihan bagaikan jam pasir yang terus berputar, menghitung mundur waktu hingga detik terakhir. Seorang programmer di sebuah startup seringkali harus bergadang hingga larut malam untuk menyelesaikan kode program yang kompleks sebelum deadline yang sangat ketat. Tekanan untuk terus berinovasi dan memenuhi ekspektasi klien yang tinggi membuat ia merasa seperti mesin yang terus bekerja tanpa henti. Setiap kali ada bug atau kesalahan dalam program, ia merasa seperti gagal memenuhi harapan timnya.

Contoh lain misalnya seorang sekretaris yang harus mengelola jadwal rapat, menjawab telepon, membuat laporan, dan menerima tamu secara bersamaan. Beban kerja yang multitasking seperti ini bagaikan mencoba menari di atas tali sambil menyeimbangkan bola. Setiap kesalahan kecil dapat berakibat fatal dan menyebabkan kekacauan. Tekanan untuk melakukan semuanya dengan sempurna membuatnya merasa kewalahan dan frustasi.

Seorang guru di sekolah swasta yang kekurangan tenaga pengajar harus mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus dengan jumlah siswa yang banyak. Beban mengajar yang berat ini bagaikan mendaki gunung yang curam tanpa peralatan yang memadai. Ia harus membagi waktu dan perhatiannya untuk banyak siswa, sehingga kualitas pembelajaran menjadi terpengaruh. Selain itu, ia juga harus menghadapi tuntutan dari orang tua siswa yang menginginkan anaknya mendapatkan nilai yang tinggi.

2. Kurangnya Penghargaan

Kurangnya penghargaan bagaikan pupuk yang tidak pernah diberikan pada tanaman. Tanaman akan layu dan mati jika tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, begitu pula dengan semangat kerja karyawan. Ketika seseorang merasa bahwa usaha dan kontribusinya tidak diakui atau dihargai, motivasi mereka akan menurun drastis. 

Contohnya seorang guru yang telah bertahun-tahun mendidik murid-muridnya dengan penuh dedikasi, tetapi tidak pernah mendapatkan penghargaan atau kenaikan gaji. Rasa tidak dihargai ini akan membuatnya merasa bahwa pekerjaannya tidak berarti. Hal ini juga dapat terjadi pada seorang desainer grafis yang ide-idenya selalu digunakan tanpa adanya pengakuan atas kreativitasnya. Atau, seorang perawat yang bekerja keras merawat pasien namun tidak pernah mendapatkan ucapan terima kasih dari keluarga pasien juga akan merasa demotivasi. Bahkan, seorang karyawan startup yang bekerja lembur setiap hari untuk mencapai target perusahaan namun tidak mendapat bonus atau kenaikan jabatan akan merasa bahwa usahanya sia-sia. 

Kurangnya penghargaan tidak hanya berdampak pada motivasi individu, tetapi juga pada iklim kerja secara keseluruhan. Ketika karyawan merasa tidak dihargai, mereka cenderung menjadi apatis dan kurang peduli dengan pekerjaan mereka. Hal ini dapat berdampak negatif pada produktivitas dan kualitas kerja.

3. Lingkungan Kerja yang Negatif: 

Lingkungan kerja yang negatif bagaikan racun yang perlahan-lahan menggerogoti semangat kerja karyawan. Konflik antar rekan kerja, perlakuan tidak adil dari atasan, atau bahkan budaya kerja yang toxic dapat menciptakan suasana yang penuh tekanan dan membuat karyawan merasa tidak nyaman. 

Contohnya seorang karyawan baru yang harus bekerja sama dengan tim yang selalu saling menyalahkan. Suasana yang penuh permusuhan seperti ini akan membuatnya merasa terisolasi dan tidak memiliki semangat untuk berkontribusi. Atau, seorang karyawan yang selalu menjadi sasaran kritik dan ejekan dari atasannya. Perlakuan tidak adil seperti ini akan membuatnya merasa tidak dihargai dan kehilangan kepercayaan diri. Bahkan, budaya kerja yang terlalu kompetitif dan menekankan pada pencapaian individu dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan membuat karyawan merasa terasing. Ketika karyawan merasa tidak aman dan tidak nyaman di tempat kerja, mereka akan cenderung mengeluh dan mencari cara untuk keluar dari situasi tersebut.

Contoh-contoh lingkungan kerja negatif lain yang bisa direfleksikan di lingkungan kerja kita misalnya bullying di tempat kerja. Seorang karyawan junior yang sering menjadi sasaran bullying oleh rekan kerja seniornya. Implikasinya adalah korban bullying akan mengalami stres, penurunan produktivitas, dan bahkan masalah kesehatan mental. Mereka mungkin akan merasa takut untuk datang bekerja dan mencari pekerjaan baru. Lingkungan kerja yang toleran terhadap bullying akan menciptakan budaya yang toksik dan merusak moral karyawan lainnya.

Contoh lainnya yaitu seorang karyawan perempuan yang sering dilecehkan secara seksual oleh atasannya. Implikasinya adalah korban diskriminasi akan merasa tidak dihargai, tidak aman, dan tidak memiliki tempat untuk mengadu. Hal ini dapat menyebabkan penurunan motivasi, produktivitas, dan bahkan tindakan hukum terhadap perusahaan.

Contoh berikutnya misalnya perusahaan tidak terbuka mengenai kebijakan perusahaan, keputusan manajemen, atau informasi keuangan. Implikasinya Kurangnya transparansi dapat menimbulkan rasa tidak percaya di antara karyawan, memicu rumor, dan mengurangi keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan.

Beberapa karyawan selalu mendapatkan tugas yang lebih berat dibandingkan dengan rekan kerja lainnya. Implikasinya adalah karyawan yang merasa kelebihan beban kerja akan merasa tidak adil dan demotivasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas kerja dan peningkatan tingkat absensi.

Karyawan yang telah mencapai target namun tidak mendapatkan penghargaan atau pengakuan dari atasannya. Implikasinya adalah kurangnya apresiasi dapat membuat karyawan merasa tidak dihargai dan tidak berharga. Hal ini dapat menyebabkan penurunan motivasi dan produktivitas.

Adanya konflik kepentingan antara kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan di kalangan manajemen. Implikasinya adalah konflik kepentingan dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak objektif dan merugikan perusahaan. Hal ini juga dapat merusak kepercayaan karyawan terhadap manajemen.

4. Kurangnya Kesempatan untuk Berkembang

Kurangnya kesempatan untuk berkembang pun bagaikan tanaman yang tidak pernah dipupuk dan dirawat. Tanaman tersebut akan layu dan mati karena tidak mendapatkan nutrisi yang cukup. Begitu pula dengan karyawan, jika mereka tidak diberikan kesempatan untuk belajar dan tumbuh, semangat kerja mereka akan meredup. Bayangkan seorang karyawan yang telah bekerja di perusahaan yang sama selama bertahun-tahun, tetapi posisinya tidak pernah berubah. Ia merasa stagnan dan tidak memiliki motivasi untuk memberikan yang terbaik. Atau, seorang karyawan yang memiliki ide-ide inovatif namun tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengimplementasikannya. Rasa frustrasi dan kekecewaan akan terus tumbuh jika potensi mereka tidak diakui. Bahkan, seorang karyawan yang ingin meningkatkan keahliannya namun tidak diberikan pelatihan atau kesempatan untuk mengikuti seminar juga akan merasa tidak puas. Ketika karyawan merasa tidak ada ruang untuk berkembang, mereka akan mencari pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Beberapa contoh yang bisa direfleksikan lainnya misalnya seorang karyawan muda yang memiliki potensi besar tetapi selalu ditempatkan pada posisi yang monoton dan tidak menantang. Karyawan ini memiliki ambisi dan kemampuan untuk berkontribusi lebih banyak pada perusahaan. Namun, karena birokrasi yang kaku dan sistem promosi yang cenderung lambat di banyak BUMN, ia terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Kurangnya tantangan dalam pekerjaan membuat motivasi dan produktivitasnya menurun. Implikasinya, karyawan merasa stagnan, tidak termotivasi, dan akhirnya mencari peluang di tempat lain. Hal ini dapat menyebabkan brain drain bagi perusahaan dan menghambat inovasi.

Contoh lainnya misalnya seorang programmer yang ingin mempelajari teknologi baru tetapi tidak diberikan kesempatan untuk mengikuti kursus atau workshop. Dalam lingkungan startup yang dinamis, kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru sangat penting. Namun, jika perusahaan tidak menyediakan fasilitas atau dukungan untuk pengembangan karyawan, programmer tersebut akan kesulitan untuk meningkatkan kompetensinya. Implikasinya, perusahaan akan kehilangan daya saing karena tidak memiliki karyawan yang memiliki keterampilan terkini. Selain itu, karyawan akan merasa tidak diapresiasi dan mencari pekerjaan di perusahaan yang lebih mendukung pengembangan karier.

Contoh berikutnya misalnya seorang karyawan yang berharap bisa mendapatkan promosi jabatan tetapi selalu terkendala oleh kebijakan perusahaan yang memprioritaskan karyawan lokal. Meskipun karyawan ini memiliki kinerja yang baik dan potensi untuk memimpin, ia menghadapi kendala struktural dalam perusahaan multinasional yang seringkali memprioritaskan karyawan lokal untuk posisi manajemen. Implikasinya adalah karyawan merasa diskriminasi dan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Hal ini dapat merusak moral kerja dan menciptakan suasana kerja yang tidak sehat.

Dampak Mengeluh di Tempat Kerja

Mengeluh yang terus-menerus di lingkungan kerja dapat menjadi racun yang perlahan-lahan menggerogoti semangat dan motivasi karyawan. Seperti penyakit menular, kebiasaan mengeluh ini bisa dengan mudah menular ke rekan kerja lainnya, menciptakan suasana kerja yang negatif dan pesimistis. Ketika karyawan terus-menerus fokus pada hal-hal yang tidak berjalan sesuai harapan. Akibatnya, semangat kerja yang sebelumnya membara akan meredup, dan produktivitas pun ikut menurun.

Ada beberapa dampak dari mengeluh, di antaranya sebagai berikut. 

1. Menurunnya Moral Karyawan: 

Moral karyawan adalah semangat kerja, sikap positif, dan dedikasi yang dimiliki oleh seorang karyawan terhadap pekerjaannya dan perusahaan tempatnya bekerja. Moral yang tinggi akan mendorong karyawan untuk memberikan kinerja terbaiknya dan berkontribusi pada keberhasilan perusahaan. 

Pada sisi tertentu , kebiasaan mengeluh bisa mencerminkan kurangnya empati, karena individu tersebut cenderung terpaku pada masalah pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain. Selain itu, mengeluh terus-menerus dapat mengindikasikan kurangnya tanggung jawab, dengan individu lebih suka menyalahkan faktor eksternal daripada berusaha memperbaiki diri.

Mengeluh secara terus-menerus dapat menciptakan siklus negatif yang merusak moral seseorang. Semakin sering seseorang mengeluh, semakin negatif pula pikiran dan perasaannya, sehingga sulit untuk keluar dari situasi tersebut. Kebiasaan mengeluh yang berlebihan dapat membuat individu menjadi lebih pesimis, kurang percaya diri, dan kehilangan semangat hidup. Hal ini akan berdampak pada penurunan moral secara keseluruhan, sehingga individu tersebut cenderung menghindari tantangan dan sulit untuk mencapai potensi maksimalnya.

Mengeluh sepenuhnya tidak salah. Terkadang, mengeluh dapat menjadi cara yang sehat untuk melepaskan emosi negatif. Namun, penting untuk membedakan antara mengeluh yang konstruktif dan destruktif. Mengeluh yang konstruktif adalah mengeluh yang disertai dengan upaya untuk mencari solusi, sedangkan mengeluh yang destruktif hanya akan memperburuk situasi. 

2. Menurunnya Produktivitas: 

Ketika karyawan lebih fokus pada keluhan daripada menyelesaikan tugas, produktivitas mereka akan menurun. Ini dapat berdampak pada kinerja tim dan perusahaan secara keseluruhan.

Contohnya, tim pemasaran sebuah perusahaan teknologi selalu memulai rapat dengan mengeluhkan target penjualan yang tidak realistis dan kurangnya dukungan dari departemen lain. Suasana negatif ini membuat anggota tim merasa demotivasi dan kehilangan semangat untuk mencapai target. Akibatnya, produktivitas tim menurun drastis, ide-ide kreatif menjadi sedikit, dan target penjualan sulit tercapai.

Ketika karyawan terus-menerus mengeluh, fokus mereka beralih dari mencari solusi menjadi fokus pada masalah. Hal ini membuat mereka kehilangan energi dan semangat untuk bekerja. Selain itu, suasana negatif juga dapat menghambat kolaborasi dan kerja sama tim yang efektif.

Seorang karyawan di departemen produksi sering mengeluhkan beban kerja yang terlalu berat dan jam kerja yang panjang. Karena merasa tidak dihargai dan kelelahan, ia sering kali sakit atau mencari alasan untuk tidak masuk kerja. Tingkat absensi yang tinggi ini mengganggu kelancaran produksi dan memberikan beban tambahan kepada rekan kerja lainnya.

Mengeluh yang terus-menerus dapat menyebabkan stres dan kelelahan fisik maupun mental. Karyawan yang merasa tidak bahagia dan tidak puas dengan pekerjaan mereka cenderung mencari cara untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan, salah satunya dengan sering absen.

Karyawan di sebuah perusahaan startup sering mengeluhkan kurangnya kepastian karir dan ketidakstabilan perusahaan. Suasana yang tidak kondusif ini membuat banyak karyawan memilih untuk mencari pekerjaan lain. Tingginya tingkat turnover karyawan menyebabkan perusahaan kehilangan talenta-talenta terbaik dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk merekrut dan melatih karyawan baru.

Ketika karyawan merasa tidak memiliki masa depan yang cerah di perusahaan, mereka akan mencari peluang di tempat lain. Tingkat turnover yang tinggi dapat mengganggu kelancaran operasional perusahaan dan meningkatkan biaya rekrutmen.

3. Kesehatan Mental yang Buruk: Mengeluh dapat menjadi tanda stres atau ketidakpuasan yang lebih dalam. Jika tidak ditangani, hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Mengeluh, jika dilakukan secara berlebihan dan terus-menerus, dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental seseorang.

Ketika seseorang sering mengeluh, pikirannya cenderung terfokus pada hal-hal negatif. Hal ini dapat memperkuat pola pikir pesimistis dan memperburuk suasana hati. Semakin sering mengeluh, semakin sulit untuk melihat sisi positif dari suatu situasi, sehingga memicu kecemasan dan depresi.

Mengeluh yang berlebihan juga dapat memicu respons stres yang berkepanjangan. Hormon stres seperti kortisol akan terus diproduksi, yang pada akhirnya dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, mengganggu tidur, dan meningkatkan risiko berbagai penyakit fisik dan mental.

Dampak lainnya adalah orang yang sering mengeluh cenderung kurang disukai oleh orang lain. Hal ini dapat menyebabkan isolasi sosial yang pada gilirannya memperburuk perasaan kesepian, depresi, dan rendah diri.

Fokus yang berlebihan pada hal-hal negatif dapat mengurangi motivasi seseorang untuk melakukan perubahan positif dalam hidupnya. Mereka cenderung pasrah dan merasa tidak berdaya, sehingga sulit untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Mengeluh sebelum tidur dapat mengganggu kualitas tidur. Pikiran yang dipenuhi oleh kekhawatiran dan keluhan akan sulit untuk diredam, sehingga sulit untuk mencapai tidur nyenyak. Kurang tidur dapat memperburuk suasana hati dan meningkatkan risiko gangguan mental lainnya.

4. Tingkat Pergantian Karyawan yang Tinggi:

Mengeluh di tempat kerja seringkali dianggap sebagai indikator adanya masalah yang lebih dalam dalam suatu organisasi. Hubungan antara mengeluh dengan tingkat pergantian karyawan yang tinggi cukup kuat. Mari kita bahas lebih lanjut.

Keluhan yang sering muncul biasanya berkaitan dengan kondisi kerja, beban kerja, kebijakan perusahaan, atau hubungan antar karyawan. Ini menunjukkan adanya ketidakpuasan yang mendasar.

Keluhan yang diarahkan pada manajemen seringkali mengindikasikan kurangnya kepemimpinan yang efektif, komunikasi yang buruk, atau ketidakadilan dalam pengambilan keputusan.

Solusi untuk Mengatasi Keluhan di Tempat Kerja

Tidak semua keluhan merupakan tanda masalah kesehatan mental. Mengeluh juga bisa menjadi cara untuk melepaskan emosi negatif dan mencari dukungan dari orang lain. Namun, mengeluh bisa menjadi persoalan yang serius manaka dilakukan dan telah menjadi kebiasaan dan sifatnya berlebihan. 

Bagi individu ada beberapa yang bisa kita lakukan, di antaranya sebagai berikut.

  • Cobalah untuk memperhatikan kapan dan mengapa Anda sering mengeluh.
  • Latih diri untuk fokus pada hal-hal positif dalam hidup.
  • Bicaralah dengan teman, keluarga, atau terapis tentang perasaan Anda.
  • Alihkan perhatian dari hal-hal negatif dengan melakukan hobi atau aktivitas yang Anda nikmati.
  • Tidak semua hal dalam hidup akan berjalan sesuai rencana. Belajar untuk menerima ketidaksempurnaan adalah bagian penting dari kesehatan mental.

Sementara itu, di tempat kerja, bagi sebuah organisasi, beberapa poin yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut. 

  • Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif. Manajemen perlu berusaha menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, di mana karyawan merasa dihargai dan didengar. Ini termasuk memberikan umpan balik yang konstruktif dan mengakui pencapaian karyawan.
  • Mendengarkan Keluhan dengan Serius.  Penting bagi manajemen untuk mendengarkan keluhan karyawan dengan serius. Dengan melakukan survei atau sesi diskusi, perusahaan dapat memahami masalah yang dihadapi karyawan dan mencari solusi yang tepat.
  • Memberikan Kesempatan untuk Berkembang. Perusahaan harus menyediakan pelatihan dan pengembangan karir bagi karyawan. Dengan memberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang, karyawan akan merasa lebih puas dan termotivasi.
  • Mendorong Komunikasi Terbuka. Membangun budaya komunikasi yang terbuka dapat membantu karyawan merasa lebih nyaman untuk menyampaikan keluhan mereka. Ini juga dapat membantu mencegah masalah kecil menjadi besar.
  • Mengelola Beban Kerja dengan Baik. Manajemen perlu memastikan bahwa beban kerja karyawan seimbang dan realistis. Penjadwalan yang baik dan pembagian tugas yang adil dapat membantu mengurangi stres dan keluhan.

 Refleksi Penutup: 

Mengeluh sepenuhnya tidak salah. Terkadang, mengeluh dapat menjadi cara yang sehat untuk melepaskan emosi negatif. Namun, penting untuk membedakan antara mengeluh yang konstruktif dan destruktif. Mengeluh yang konstruktif adalah mengeluh yang disertai dengan upaya untuk mencari solusi, sedangkan mengeluh yang destruktif hanya akan memperburuk situasi. Bagaimana dengan keluhan yang sering kali mungkin kita lakukan? Apakah konstruktif atau kah destruktif? 

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun