Hari ini, kalender di dinding menunjukkan tanggal di mana Nana dulu di lahirkan oleh seorang wanita cantik nan baik hati. Nana kini menginjak usia delapan belas tahun, di mana pergantian masa remaja menuju masa dewasa tengah di rasakannya.
Awan kelabu menyelimuti langit yang terbentang di atas sana. Nana merapatkan jaket merahnya yang tersibak oleh angin yang berhembus semakin kencang setiap detiknya. Nana mengusap buliran air mata yang terus berjatuhan di kedua pipinya secara bergantian.
Nana tersenyum paksa. "Nana pulang dulu ya, bu. Jangan lupa nanti malam datang ke mimpi Nana, ini hari ulang tahun Nana."
 Satu tangan Nana terulur, mengusap batu nisan yang tertulis nama ibunya di sana. Sekar Ningrum. Nama yang cantik, secantik wajah dan hatinya. Nama itu sudah mulai pudar karena sudah hampir sepuluh tahun wanita itu meninggalkan Nana dan terlelap dengan damai di bawah sana.
Ibunya meninggal karena sakit. Waktu itu Nana masih berusia sekitar delapan tahun. Ia masih ingat betul saat terakhir kali menyuapi ibunya dengan tangan mungilnya. Ibunya memeluknya sangat erat, pelukan yang sudah bisa Nana rasakan perbedaannya. Pelukan yang menyiratkan ketakukan untuk kehilangan. Namun nyatanya, Nana yang kehilangan ibunya.
Nana mendongak saat langit sudah semakin menggelap. Nana bergerak mengecup batu nisan itu sekilas kemudian ia beranjak dari makam ibunya tersebut. Nana berlarian kecil saat satu persatu rintik hujan mulai berjatuhan dari atas sana. Nana mengambil sepedanya dan segera mengayuhnya sebelum hujan turun semakin deras.
* * *
Nana memasukkan sepedanya ke dalam garasi, tepat di samping mobil mewah milik ayahnya. Tubuh Nana basah kuyup karena saat di perjalanan tadi hujan semakin deras dan Nana tidak menemukan tempat berteduh. Nana pun memutuskan untuk langsung pulang saja.
Nana masuk lewat pintu belakang. Ia berjalan mengendap, takut ada yang melihatnya pulang dalam keadaan basah kuyup seperti ini. Nana melewati dapur dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Namun baru saja sampai di depan pintu kamar mandi, sebuah suara mengagetkannya.
"Bagus. Terus saja kamu buat rumahku kotor. Dasar anak tidak tahu diri!"
Nana sontak menoleh. Raut wajahnya yang pucat terlihat ketakutan. "Ma-maaf, ibu. Nana akan membersihkannya setelah ini."
"Ibu, ibu, jangan panggil aku ibu! Aku bukan ibumu!"
Wanita itu terlihat murka. Dengan raut wajahnya yang sudah memerah, wanita itu pun langsung mendorong tubuh kurus Nana ke dalam kamar mandi dengan kasar.
Nana seketika terisak saat keningnya membentur pinggiran bak mandi hingga berdarah. Nana tidak bisa menolak saat dengan sadisnya wanita itu langsung memukuli punggung Nana dengan gantungan baju yang terbuat dari besi.
"Ampun, bu. Ampun." Nana menangis. Tubuhnya yang masih basah kuyup itupun menggigil, menahan sakit dari pukulan ibu tirinya itu secara bertubi-tubi.
"Rasakan ini! Anak kurang ajar!"
Keributan pun tak dapat di hindari lagi. Tangis Nana yang semakin keras seolah semakin menyulut kemarahan wanita itu. Hingga seorang pria datang dengan langkah tergopoh-gopoh dan melihat apa yang tengah terjadi di dalam kamar mandi itu.
"Ada apa ini?"
Wanita itu seketika menoleh dan menghentikan aksinya. "Lihat, Mas, kelakuan anakmu benar-benar membuatku naik darah!"
"Memangnya apa yang di perbuat Nana?"
"Kamu lihat itu!" Wanita itu menunjuk ke lantai dapur yang terlihat kotor bekas kaki Nana. "Anakmu ini baru pulang keluyuran dan pulang-pulang sudah basah kuyup dan mengotori rumahku. Dasar anak tidak tahu diri!"
"Sudah-sudah, hentikan. Biar aku yang memberinya pelajaran." Pria itu sontak menyahut saat wanita itu sudah mengangkat tangannya ke udara, bersiap menghajar Nana kembali.
Sambil menghela napas kasar, wanita itu pun melempar gantungan baju di tangannya ke pojokan dan melangkah keluar dari kamar mandi.
"Urusin tuh anakmu, aku sudah muak sama dia!" ujarnya sambil melangkah pergi dengan raut wajah penuh amarah.
Hendra, pria berusia empat puluh tahunan itu pun melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Kedua matanya berkaca-kaca saat mendapati anak gadisnya terisak sambil meringkuk di lantai yang basah itu. Hendra berjongkok, satu tangannya terulur mengusap punggung Nana yang bergetar.
"Sakit, Ayah." isak Nana.
"Maafkan Ayah, ya, Nak." Satu bulir air mata keluar dari sudut mata Hendra. Hati kecilnya tersayat, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Nana semakin terisak saat ayahnya mengucap kata 'maaf'. Kata 'maaf' yang sering Nana dengar hampir setiap harinya namun kata 'maaf' yang selalu ayahnya lontarkan itu seolah tak berdampak apapun, tak mengubah atau bahkan menghapus sedikit saja rasa sakitnya selama hampir empat tahun ini.
"Lain kali jangan buat ibumu marah. Ayah tidak mau melihat kamu terus seperti ini, Nak." Hendra mengelus puncak kepala Nana. "Maaf, Ayah tidak bisa berbuat apapun. Ayah tidak bisa membelamu, Nak."
Hendra beranjak mengambil handuk di depan kamar mandi dan menyodorkannya untuk Nana. "Bersihkan tubuhmu, setelah itu istirahat ya,"
Nana mengambil handuk itu dari tangan ayahnya. Hendra menatap tubuh putrinya itu dengan perasaan yang begitu sakit. Ia sadar, ia sangat egois. Tapi itu semua demi kebaikan Nana, anak gadis satu-satunya itu.
Sambil menyeka air matanya, Hendra pun melangkah keluar. Meninggalkan tubuh Nana yang ringkih dan terisak kesakitan itu.
Sekali lagi, maafkan Ayah, Nak.
   * * *
Nana sudah membersihkan tubuhnya, kini ia beranjak duduk di atas kasurnya dan menyelimuti tubuhnya yang masih menggigil itu. Tatapan matanya menerawang jauh, menatap langit malam dari jendela yang sengaja ia buka tirainya. Di luar masih gerimis, membuat malam Nana terasa semakin menyakitkan.
Nana meraih buku harian bersampul tosca dan bolpoin di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Nana duduk bersila dan menaruh bantal kecil di atas pangkuannya dan mulai menggoreskan kata demi kata di atas lembaran buku hariannya.
   Ayah, hari ini Nana ulang tahun.
   Nana sudah berusia delapan belas tahun, Yah.
   Anak Ayah yang dulu manja ini kini sudah dewasa.
   Sebenarnya tadi saat ibu memukul Nana, Nana tidak ingin menangis.Â
   Karena Ayah pernah bilang, Nana harus kuat. Nana tidak boleh cengeng.
   Tapi maaf, itu sangat menyakitkan dan Nana tidak bisa menahannya.
   Nana tidak ingin mendengar kata maaf dari Ayah lagi.
   Ayah tidak perlu mengatakannya, Ayah tidak salah.
   Ayah tidak salah menikah dengan ibu Desi.
   Nana yang salah karena tidak bisa menjadi anak yang baik.
   Nana janji tidak akan nakal lagi, Ayah.
   Nana sayang Ayah.
Nana pun menutup buku hariannya dan menaruh kembali di tempat semula. Nana merebahkan tubuhnya dan meringkuk menghadap ke jendela. Satu persatu bulir air matanya kembali berjatuhan.
Seperti inilah hidupnya sekarang. Semenjak ibunya meninggal, ayahnya menjadi sangat frustasi. Usaha rumah makannya bangkrut dan tidak terurus karena ayahnya tidak bisa fokus bekerja. Hingga keluarga Nana pun jatuh miskin.Â
Sekitar tiga tahun kemudian, ayahnya yang duda itupun bertemu dengan ibu Desi yang kini menjadi ibu tirinya. Ibu Desi seorang perawan tua dan di nikahi oleh ayah Nana. Rumah ini milik ibu Desi dan ibu Desi berkuasa di rumah ini. Ayah maupun Nana tidak berani melawan wanita itu karena wanita itu selalu mengancam akan mengusir mereka jika mereka berani melawan.
Nana tahu, ayahnya menikahi ibu Desi bukan karena cinta tapi karena tidak mau Nana terus hidup dalam kemiskinan. Ayahnya ingin Nana tumbuh seperti gadis seusianya.
Walau tahu keputusan ayahnya salah, tapi Nana tidak mau berkomentar apapun. Nana hanya ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya, meski itu menyakitkan.
"Sabar ya, Na, kamu pasti kuat kok." gumam Nana dengan suara parau.
"Kamu sudah dewasa sekarang, jadi jangan cengeng."
"Selamat ulang tahun ya, Na. Selamat berjuang melawan hari-hari yang menyakitkan ini."
Dalam kegelapan malam, Nana pun terisak.
   * * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H