Mohon tunggu...
Siswo Pro
Siswo Pro Mohon Tunggu... Nyangkul -

Aku anak gembala tapi tak punya kambing, kebo apalagi ayam dan bebek...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berandal Menggoda si Jilbab

20 Februari 2014   03:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hai Gadis berjilbab biru, senyummu slalu kutunggu”

Lantunan lirik lagu yang dinyanyikan dengan nada menggoda ditingkahi suara gitar plus tepukan tangan menyapu gendang telinga Sarah ketika ia berjalan menuju rumahnya. Ibu langsung menggamit lengannya dan menyeret Sarah agar segera bergegas.

“Berandalan! Ga ada kerjaan yang lebih bermanfaat apa ketimbang duduk-duduk tak jelas ganggu orang lewat??!”omel Ibu sambil membuka pagar rumah.

Sarah tersenyum simpul. Matanya melirik ke ujung gang yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. Ketika lelaki itu menoleh dan tersenyum padanya, cepat-cepat Sarah menunduk dan bergegas masuk ke rumah. Tak urung pipinya memerah dan jantungnya berdebar lebih kencang.

Sudah hampir sebulan ini tongkrongan anak muda di ujung gang bertambah satu anggota. Seorang pemuda yang sama sekali belum pernah dilihat Sarah sebelumnya. Entah kenapa, tapi Sarah merasakan ada yang berbeda dari pemuda itu. Tampangnya jauh dari tampang anak jalanan atau pengangguran. Cenderung putih bersih. Dan setiap kali Sarah ikut Bapak dan Ibu shalat maghrib ke mesjid, pemuda itu pasti sudah ada di mesjid, ikut shalat, bahkan terkadang mengumandangkan azan, yang membuat hati Sarah selalu berdebar kencang setiap kali mendengarnya.

“Ada apa sih, Bu? Kok pulang dari pasar marah-marah? Ga dapet yang dicari?” tanya Bapak sambil melipat koran yang baru dibacanya.

“Itu lho, Pak, anak-anak pengangguran di ujung gang itu, makin jadi aja kelakuannya! Sukanya godain gadis-gadis dan ibu-ibu yang lewat. Pak RT dan RW kok ga ada tindakan sih terhadap mereka. Udah mengganggu sekali kelakuan mereka itu,”dumel Ibu.

Sarah masuk ke kamar melepas jilbabnya yang berwarna biru. Ia memandang jilbabnya lalu tersenyum. Menyadari tiap kali ia lewat, lirik lagu pemuda itu selalu disesuaikan dengan warna jilbab yang ia kenakan.

“Ya, barangkali Pak RT dan RW merasa mereka tidak mengganggu keamanan disini. Lagipula mereka juga kan membantu ronda keliling setiap malam, Bu. Dan Bapak rasa, mereka juga bukan berandalan, kan kita sudah sering bertemu dan shalat bersama mereka di mesjid juga,”

“Iya, tapi Ibu tetap ga suka kalau mereka godain Sarah! Pokoknya Sarah ga boleh lagi keluar rumah sendirian. Ibu takut dia diapa-apakan sama mereka!”

“Astagfirullah, Ibu, kok menuduh yang bukan-bukan? Kan Ibu tidak tahu siapa mereka. Belum tentu mereka sejahat itu, Bu!”tegur Bapak.

“Ibu tidak mau tahu! Ibu tidak mau, nanti begitu putranya Pak Ridwan datang siap melamar Sarah, malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!”

“Astagfirullah, nyebut Ibu! Kok doanya jelek begitu! Lagipula, memangnya Bapak sudah setuju dengan perjodohan Sarah dan putra Pak Ridwan itu? Kita saja tidak tahu yang mana orangnya, kok main setuju saja. Kita harus pertimbangkan perasaan Sarah juga, Bu!”sekarang suara Bapak mulai meninggi.

Di kamarnya, Sarah menghela napas. Kembali diingatkan akan perjodohan sepihak antara dirinya dan putra Pak Ridwan, teman lama sekaligus mantan pimpinan Ibu di sebuah BUMN sewaktu Ibu masih bekerja.

“Apa lagi yang perlu dipertimbangkan, Pak? Si Firdaus, putra Pak Ridwan itu sekolah di luar negeri, Amerika, Pak! Pinter, saleh, ganteng pastinya!”

“Emangnya Ibu sudah pernah ketemu sama Firdaus itu?”

“Ya, belum pernah sih, tapi kan Pak Ridwan ga mungkin bohong sama Ibu! Apalagi istrinya Pak Ridwan itu kalau bercerita tentang putranya selalu baik,”

“Ya jelas dong, Bu! Ibu juga kalau bicara tentang Sarah kan selalu yang baik-baik saja, mana ada orang tua yang menjelek-jelekkan anaknya sendiri. Ah, Ibu ini ada-ada saja! Pokoknya, kecuali si Firdaus itu datang bersama orang tuanya untuk melamar Sarah secara serius, maka sampai saat itu Sarah bebas mau kemana saja dan menentukan pilihannya!” Bapak mengultimatum seraya ngeloyor ke kamar mandi mengambil wudhu. Adzan maghrib sudah terdengar. Dan hati Sarah kembali tergetar mendengar lantunan adzan nan indah dari suara seorang lelaki yang belakangan ini kerap menghiasi mimpinya.

###############

Sarah turun dari angkot dengan terburu-buru membawa beberapa kantong belanjaan di tangannya. Setengah berlari ia menuju ke rumah. Ibu sudah memperingatkan untuk tidak pulang kesorean karena malam ini keluarga Pak Ridwan termasuk Firdaus yang baru pulang dari Amerika itu akan datang berkunjung.

Kalau boleh memilih, Sarah sebenarnya enggan pulang. Ia tak mau dijodohkan dengan orang yang tak dikenalnya. Ia sayang pada Ibu, tapi terkadang Ibu terlalu memaksakan kehendaknya. Dan Sarah tak mau jadi anak yang melawan orang tua. Ibu sudah cukup berjuang keras membiayai sekolahnya ketika Bapak harus pensiun lebih cepat karena pengurangan pegawai di kantornya. Paling tidak, Bapak masih di pihaknya dan memberinya kebebasan untuk menolak bila ia memang tak sreg dengan Firdaus.

“Butuh bantuan?” sebuah suara menyapanya dari samping.

Sarah terkejut dan menoleh pada si pemilik suara. Pemuda itu!

“Eh, anu, ga, ga perlu, terima kasih!” ujar Sarah cepat-cepat. Lalu bergegas melangkah. Pemuda itu malah menjejeri langkahnya.

“Kok buru-buru sekali? Takut ya, sama saya? Jangan kuatir, saya bukan penjahat kok,” senyum pemuda itu.

“Bukan itu, saya ditunggu Ibu,” elak Sarah.

“Ibunya galak ya?” ledek pemuda itu. Sarah mendelik sebal. Cakep sih cakep, tapi kalau berani-berani ngatain Ibu, awas!

“Ibu saya galak kalau sama pemuda ga tau sopan santun aja!” ucap Sarah judes.

“Hehehe, maaf Neng, bukan bermaksud ga sopan, cuma pengen kenalan aja, boleh ga?”

“Maaf, saya buru-buru,”ujar Sarah mengabaikan pemuda di depannya. Bergegas ia menuju rumah yang tinggal beberapa langkah. Dilihatnya sebuah mobil mewah keluaran tahun terbaru parkir tepat di depan pagar rumahnya. Keluarga Pak Ridwan sudah datang rupanya. Sarah menghela napas bersiap menghadapi apapun itu yang akan mengubah jalan hidupnya.

Ketika ia membuka pagar, seorang lelaki seusia Bapak nampak keluar dari rumah.

“Ooo, ini pasti Nak Sarah, ya?” ujar lelaki itu. Sarah mengangguk dan tersenyum. Ia melihat Ibu dan Bapak keluar dari rumah bersama seorang wanita yang adalah istri Pak Ridwan. Tapi Sarah tak melihat sosok lelaki yang seharusnya adalah Firdaus.

“Mas, itu Firdaus kemana sih? Ini Nak Sarah sudah pulang, dia malah ngeluyur ga tau kemana!” seru istri Pak Ridwan seraya menghampiri Sarah, “Maaf ya, Nak Sarah, ini si Firdaus, kumat isengnya. Di suruh nunggu di dalam sama kita, tadi begitu sampai disini malah maunya jalan-jalan dulu. Dari tadi belum kembali,”

Dalam hati Sarah menggerutu,”Belum apa-apa sudah doyan ngeluyur!”

“Biar aku cari dulu si Firdaus, kalian masuk saja ke rumah,” ujar Pak Ridwan. Baru beberapa langkah, terdengar suaranya kembali.

“Naaah, ini dia orangnya! Kamu itu kemana sih, kami menunggu kamu dari tadi!”

Sarah menoleh ke pagar dan dilihatnya pemuda berandal itu berdiri di sana, tersenyum pada Pak Ridwan dan pada semuanya. Ketika matanya menangkap wajah Sarah yang penuh tanya, senyumnya makin lebar.

“Tadi Daus jemput bidadari hati Daus, Pa, tapi sayang, bidadarinya sedang terburu-buru,” ujarnya.

Sarah melongo di tempatnya berdiri. Jadi…jadi..pemuda yang kata Ibu berandalan itu ternyata si Firdaus??? Katanya dia sekolah di Amerika? Apa pula maksudnya bergabung dengan anak-anak di ujung gang itu setiap hari?

“Maaf ya, Bapak dan Ibu Hamid, memang Firdaus ini suka iseng. Dia maksa mau mengenal Sarah lebih dekat dulu sebelum melamar. Jadi sudah beberapa lama ini dia mondok di rumah temannya dekat sini sepulang dari Amerika. Kemarin katanya dia sudah mantap mau meminang Sarah, jadi kami ya kesini sekarang,” ungkap Pak Ridwan.

Sarah masih melongo. Tak percaya bahwa pemuda dengan suara indah saat melantunkan adzan itu adalah Firdaus. Lelaki yang sudah siap ditolaknya bila hatinya tak berkenan.

Tiba-tiba dari belakang mereka terdengar seruan Bapak. Sarah menoleh dan mendapati Ibu pingsan di pelukan Bapak!

##########

“Wahai Bidadari berjilbab ungu, dirimu pujaanku selalu

Senyummu selalu kutunggu, bagaikan pungguk yang merindu

Bahagia hatiku, karena kau kini milikku”

Pipi Sarah memerah mendengar lirik lagu yang dinyanyikan suaminya.

“Gombal!” serunya geli.

“Biar gombal, tapi kamu suka kaaaan? Berandal mana coba yang bisa nyiptain lagu seperti aku?”

“Banyak!”

“Biarpun banyak, tapi kan cuma aku yang menciptakan khusus untuk kamu, Bidadariku,” Firdaus tersenyum.

“Dan cuma kamu yang bisa bikin Ibu pingsan bolak balik,” Sarah tertawa geli. Firdaus ikut tertawa.

Hingga sekarang pun, ibu Sarah masih tak sepenuhnya percaya bahwa pemuda yang ia anggap berandal dan pengangguran itu adalah Firdaus putra Pak Ridwan yang selalu ia banggakan dan kini menjadi menantunya.

#########THE END########

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun