Mohon tunggu...
Siska Julianti
Siska Julianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Rintik Hujan

3 November 2023   22:23 Diperbarui: 6 November 2023   23:49 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katanya aku sempurna, tapi nyatanya tidak. Katanya aku selalu beruntung, tapi nyatanya selalu sial. Katanya aku akan bahagia, tapi nyatanya selalu menderita. Ucap orang-orang yang tidak mengetahui alur kehidupan ku.

Sepertinya, kebahagiaan tidak akan pernah dirasakan lagi oleh Salma. Kehilangan salah satu anggota tubuh menjadikannya menderita. Semua rasa cinta dan kasih sayang orang tuanya kini telah berganti dengan rasa benci.

Sakit rasanya ketika harus menerima takdir yang tidak di inginkan. Bukan salahnya, namun ia harus tetap menerimanya.

"Tadi Ibu bilang padaku bahwa Kakak harus membereskan rumah dulu sebelum bekerja." Ucap perempuan yang mirip dengan Salma.

Dia adalah Silmi, saudari kembar Salma yang kini menjadi anak kesayangan orang tuanya.

Salma hanya memiliki satu saudari kandung, yaitu Silmi. Keduanya lahir bersama dengan hanya selisih 5 menit. Salma lahir pertama disusul Silmi setelahnya.

Dahulu, keduanya menjadi kebanggaan Ibu dan Ayah. Kedua Kakak Beradik ini memiliki keahliannya masing-masing, Salma yang senang memasak dan Silmi yang senang melukis.

Sejak usia remaja, keduanya sudah bisa menghasilkan uang berkat kegemarannya. Salma sering mengikuti kontes memasak anak-anak, sedangkan Silmi sering ditunjuk untuk mewakili sekolahnya dalam ajang melukis.

Dari sekolah dasar, sampai masuk sekolah menengah atas keduanya selalu bersama.

Sampai pada akhirnya kejadian tak terduga menimpa Salma dan membuat hidupnya berubah 180 derajat.

Salma mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju kampusnya. Naas, kaki sebelah kanannya harus diamputasi karena sudah hancur akibat insiden yang menimpanya. Salma juga harus bisa menerima, bahwa ternyata mata sebelah kirinya mengalami kebutaan.

Sejak saat itu, seluruh keluarganya merasa malu memiliki anggota keluarga yang cacat seperti Salma. Apa lagi, orang terdekat dan orang sekitar Salma yang mulai menjauhinya.

"Iya tapi tolong bantu sedikit, soalnya Kakak kecapean kalau harus selesain semuanya sendiri, apa lagi Ibu lagi keluar".

"Yang disuruh beresin kan Kakak bukan aku." Ketus Silmi sambil berlalu meninggalkan Salma.

Helaan nafas mengiringi kegiatan yang selalu Salma lakukan setiap harinya.

Setelah menyelesaikan seluruh kegiatannya, ia bergegas untuk membersihkan diri lalu berangkat ke tempat kerja.

Salma bekerja dikedai kue sesuai dengan minatnya dulu. Beruntungnya, kedai kue itu mau menerima orang seperti Salma. Ia merasa jarang ada tempat bekerja yang mau menerima orang disabilitas sepertinya.

Sembari menunggu rekan bekerjanya, Salma mulai membersihkan etalase, membersihkan meja, menyapu bagian luar dan dalam kedai, dan melakukan kegiatan lainnya.

Setelah Tara yang merupakan teman SMA sekaligus rekan kerjanya sampai, keduanya langsung mulai membuat kue untuk dijual di hari itu. Walau dengan kekurangannya, Salma tetap bisa bekerja dengan sangat baik.

Satu persatu pengunjung mulai berdatangan membeli kue-kue di kedai tempat Salma bekerja. 

Ia terkejut melihat kedatangan Ayah dan Ibu yang terlihat khawatir dan terburu-buru. Tanpa menyapa Ibu langsung menarik Salma keluar kedai.

"Cepat izin kerja dan ikut Ibu ke rumah sakit." Tegasnya.

"Siapa yang sakit, jelasin dulu Bu." Bingung Salma.

"Jangan banyak tanya, cepat bereskan barang-barang kamu. Kalau kamu tidak mau izin biar Ibu yang bicara dengan atasanmu." Sambil berlalu meninggalkan Salma ke dalam kedai kuenya.

Tak berapa lama Ibu keluar dari ruangan atasan Salma. Ayah hanya berdiam diri sembari melihat Salma membereskan barang-barangnya.

Selang berapa lama, Salma berpamitan kepada Tara dan berlalu pergi meninggalkan kedai.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang memulai pembicaraan, hanya terdengar suara mesin mobil dan bising dari kendaraan lain.

Sesampainya di rumah sakit, Ayah, Ibu dan Salma bergegas mencari salah satu ruangan yang ia pun tidak tahu siapa yang sedang berada di sana.

Ketika memasuki ruangan, bau obat dan rasa dingin mulai menusuk kulitnya. Terlihat Silmi dengan wajah pucatnya terbaring di atas brankar. Kebingungan semakin meliputi Salma. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? 

"Silmi kenapa Bu?." Ujarnya khawatir.

"Kalau Ibu bilang penyakitnya, kamu mau bantu dia sembuh?."

Hening, tak ada jawaban dari Salma.

"Adik kamu kena gagal ginjal dan harus segera menemukan donor ginjal. Kalau tidak...dia tidak bisa selamat." Lirih Ibu.

"Kamu bisa loh donorin ginjal kamu, toh golongan darah kalian juga sama." Ucap Ayah sembari membenarkan bantal yang dipakai Silmi.

Seolah sudah menyiapkan semuanya, Ibu mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap Salma.

"Tapi nanti gimana sama hidupku. Ibu dan Ayah kan tahu aku seperti apa."

"Kenapa harus aku? Nggak bisa cari donor dari orang lain dulu? Setelah apa yang aku lalui, nggak ada rasa iba sedikit pun dari kalian? Dengan semua keterbatasan yang aku punya, aku masih bisa loh bantu kalian." Isaknya.

"Kamu itu udah cacat, hidup yang kamu jalani udah nggak berguna. Nggak ada untungnya saya kasih kehidupan yang layak buat kamu." Tegas Ayah Salma.

Sakit rasanya mendengar ucapan dari orang terkasih yang memintanya untuk mati.

"Kenapa harus aku? Kenapa kalian nggak bisa sedikit aja kasih kebahagiaan? Dengan aku donorin ginjalku bakal bikin kalian bahagia?."

Rasa marah, kecewa, benci mengiringi kepergian Salma dari ruangan tersebut. Apakah aku masih pantas hidup? Apakah aku memang pantas mati? Apakah akhir hidupku harus seperti?

Beribu-ribu pertanyaan meliputi hati dan pikirannya saat ini. Haruskah aku memilih menyelamatkan orang lain dan membuat diriku semakin menderita? Atau sebaliknya?.

Saat ini, tak ada tempat yang bisa Salma datangi untuk sekedar melepas keluh kesahnya. Kalian ingat Tara? Teman sekolah sekaligus rekan kerja Salma?. Sempat terpikir olehnya untuk mengunjungi tempat Tara. Namun, ia ingat bahwa Tara bukanlah teman yang baik bagi Salma. Tara sering kali memberikan perlakukan yang kurang baik kepada Salma, baik dulu saat sekolah maupun saat di tempat kerja.

Sekian lama ia menimang-nimang. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumah sakit untuk menemui keluarga.

"Ayah, Ibu aku mau donorin ginjalku buat Silmi."

Tak ada ucapan terima kasih yang keluar dari mulut Ayah maupun Ibunya. Salma sudah menduga hal itu, karena sepertinya hari ini menjadi akhir dari kehidupannya.

Keesokan paginya, operasi berjalan lancar dengan sebagai mana mestinya. Salma berhasil mendonorkan ginjal untuk saudari kandungnya. Meski diliputi rasa kecewa, ia tetap harus ikhlas.

Tak ada yang menanyakan bagaimana kabarnya pasca operasi. Ayah dan Ibunya pun memilih menemani Silmi dibanding dirinya.

Salma memilih untuk cepat-cepat meninggal rumah sakit tanpa diketahui petugas. Rasanya tidak sanggup harus merasakan pahitnya hidup di tengah rasa bahagia orang lain.

Hujan mulai turun seakan mengetahui rasa sakit yang ia alami. Dengan melihat ke sekeliling, ia memutuskan untuk sedikit berteduh di seberang jalan di tempat kedai kopi.

Sepertinya ini ajalnya...

Tanpa diketahui, ternyata ada mobil mini bus melaju kencang menabrak Salma. Ia terlempar sangat jauh, namun mobil mini bus tersebut tetap melaju meninggalkan dirinya.

Dengan sedikit kesadaran, Salma melihat banyak sekali orang yang mulai menghampirinya. 

Kegelapan mulai menghampirinya...

Di bawah rintik hujan, ia tersenyum dan memejamkan mata untuk menerima akhir kehidupannya.

"Jika saat ini aku tidak mendapatkan kebahagiaan didunia,

Izinkan aku untuk mendapatkan kebahagiaan di kehidupan selanjutnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun