"Kamu bisa loh donorin ginjal kamu, toh golongan darah kalian juga sama." Ucap Ayah sembari membenarkan bantal yang dipakai Silmi.
Seolah sudah menyiapkan semuanya, Ibu mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap Salma.
"Tapi nanti gimana sama hidupku. Ibu dan Ayah kan tahu aku seperti apa."
"Kenapa harus aku? Nggak bisa cari donor dari orang lain dulu? Setelah apa yang aku lalui, nggak ada rasa iba sedikit pun dari kalian? Dengan semua keterbatasan yang aku punya, aku masih bisa loh bantu kalian." Isaknya.
"Kamu itu udah cacat, hidup yang kamu jalani udah nggak berguna. Nggak ada untungnya saya kasih kehidupan yang layak buat kamu." Tegas Ayah Salma.
Sakit rasanya mendengar ucapan dari orang terkasih yang memintanya untuk mati.
"Kenapa harus aku? Kenapa kalian nggak bisa sedikit aja kasih kebahagiaan? Dengan aku donorin ginjalku bakal bikin kalian bahagia?."
Rasa marah, kecewa, benci mengiringi kepergian Salma dari ruangan tersebut. Apakah aku masih pantas hidup? Apakah aku memang pantas mati? Apakah akhir hidupku harus seperti?
Beribu-ribu pertanyaan meliputi hati dan pikirannya saat ini. Haruskah aku memilih menyelamatkan orang lain dan membuat diriku semakin menderita? Atau sebaliknya?.
Saat ini, tak ada tempat yang bisa Salma datangi untuk sekedar melepas keluh kesahnya. Kalian ingat Tara? Teman sekolah sekaligus rekan kerja Salma?. Sempat terpikir olehnya untuk mengunjungi tempat Tara. Namun, ia ingat bahwa Tara bukanlah teman yang baik bagi Salma. Tara sering kali memberikan perlakukan yang kurang baik kepada Salma, baik dulu saat sekolah maupun saat di tempat kerja.
Sekian lama ia menimang-nimang. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumah sakit untuk menemui keluarga.