Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesempatan Kedua

2 Juni 2024   20:00 Diperbarui: 2 Juni 2024   20:44 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: Unsplash/Anderson Rian via kompas.com) 

Pagi itu rasanya begitu malas untuk beranjak dari kasur. Satu bulan full aktivitas membuat badan selalu lelah dan meminta beristirahat setiap akhir pekan. Namun rasanya ingin segera pulang ke kampung halaman. Melepaskan rindu pada keluarga yang selalu menantikan kepulangan.

Sudah dari minggu lalu merencanakan untuk mudik ke kampung halaman. Tentunya bukan tanpa alasan. Mumpung ada kesempatan pulang karena ada libur dua hari. Kapan lagi bisa mendapatkan tanggal merah dalam dua hari berturut-turut?

Namun sayangnya pagi itu begitu malas untuk memulai aktivitas. Tepatnya melaksanakan perencanaan yang sudah dirumuskan pada malam hari.

Alhasil, agak molor waktu karena badan ini tak kunjung mau beranjak dari kasur tipis ini. Seperti tak mau kehilangan tuannya meski hanya dua hari saja.

Sudah telat 2 jam lebih. Sembari mengemas barang-barang yang akan dibawa. Yang paling utama adalah cucian kotor yang rindu dengan mesin cuci di rumah. 

Tiba-tiba notifikasi dalam pesan singkat media sosial berbunyi. Aku beranjak membukanya. Seketika terbelalak saat mendapatkan kabar dari teman bahwa hari ini Bandung akan dipadati penggemar Persib yang melakukan konvoi.

Tak berpikir panjang, aku segera memesan ojek online ke arah terminal. Berharap mendapatkan bus atau elf ke arah kampung halaman yang biasanya beroperasi setiap satu jam sekali.

Jalanan cukup ramai. Terlihat kendaran roda dua yang bersiap ikut konvoi. Khas dengan kaos birunya. Sembari memegangi bendera kebanggaan.

Sialnya hari itu harus terjebak di palang pintu pembatas kereta api yang hendak melintas. Hati semakin was-was karena takut terjebak macet di kota.

Biasanya hanya menghabiskan waktu 20 menit saja untuk sampai di terminal. Hari itu malah memakan waktu 40 menit. Yang terpenting tidak terjebak macet dan tidak ketinggalan angkutan umum.

Elf arah Cirebon sudah terparkir di tempat biasa. Menantikan penumpangnya. Aku bergegas menaiki elf itu. Tanpa perlu panjang lebar menanyakan. Toh sudah terbiasa pulang ke kampung halaman menggunakan elf yang bertujuan ke Cirebon.

Entah mengapa hari itu aku memilih duduk di bangku kedua. Tepat di belakang supir. Biasanya duduk di bangku belakang agar tak banyak yang berlalu lalang. Khususnya terganggu akan kehadiran pengamen jalanan.

Mata ini melihat seisi elf. Ternyata, ini elf ekslusif yang mewah. Fasilitasnya terbilang lengkap. Sangat berbeda dengan elf yang biasa aku tumpangi.

"Hmm, sepertinya tarifnya akan berbeda dari biasanya," pikirku dalam hati.

Benar saja. Sang supir mulai menagih ongkos pada setiap penumpang sebelum berangkat. Tarif naik sepuluh ribu dari biasanya. Aku tak banyak protes karena memang sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Tidak seperti kedua Mbak-mbak yang duduk di sebelah sang supir.

Elf perlahan melaju. Berjalan merayap karena sepanjang jalan Cibiru sampai Cileunyi begitu padat. 

Sesekali elf itu berhenti ketika terlihat calon penumpang menantikan di trotoar jalan. Pengamen dan penjual makanan juga silih berganti menaiki elf. Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengais rezeki.

Entah mengapa hari itu sang supir memutuskan untuk memasuki tol. Biasanya elf tersebut tak masuk ke jalan tol. Memilih melintasi Jatinangor, Tanjungsari, Cadas Pangeran, dan Kabupaten Sumedang.

Pikirku saat itu mungkin karena menghindari kemungkinan berpapasan dengan para suporter bola yang hendak konvoi. 

Tak ada satupun penumpang yang protes. Semuanya hening dengan kegiatan masing-masing. Ada yang memainkan ponsel, bersandar ke jendela, atau sekadar melihat jalanan saja.

Di tengah-tengah perjalanan, mata ini melihat terus ke arah jendela sebelah kanan. Melihat elf yang melaju di lajur sebelah kanan dengan kecepatan tinggi. 

Sebenarnya sudah biasa dengan kecepatan tinggi ini. Memang elf dengan tujuan Cirebon via Sumedang terkenal dengan kecepatan tingginya. Sudah tidak aneh dan hal yang biasa bagi penumpang langganan.

Mata ini perlahan mengantuk. Mencoba mengalihkan perhatian pada layar ponsel. Namun sayangnya tak mempan.

Dalam perjalanan di angkutan umum, tak pernah dibiasakan untuk tidur. Apalagi sampai benar-benar terlelap.

Akhirnya pandangan terus menatap ke depan. Sembari berpegang pada pegangan tangan sebelah kanan dekat jendela.

Tiba-tiba elf yang saya tumpangi semakin ke kanan. Kecepatannya juga semakin tinggi. Dan berakhir menyerempet dan menabrak pembatas jalan tol sebelah kanan.

Mata ini terbelalak melihat langsung badan elf bersinggungan dengan pembatas jalan tol. Tangan ini sontak berpegangan semakin erat. Beruntungnya dalam keadaan siap dan penuh kewaspadaan.

Teriakan para penumpang terdengar. Melantunkan ayat-ayat dan menyebut nama Tuhan. 

Dalam sekejap saja elf yang kami tumpangi kecelakaan. Terbilang kecelakaan kecil yang hampir saja menjadi kecelakaan besar.

Untungnya sang supir yang tertidur sebentar itu langsung kembali mengontrol kemudi. Tentunya sembari diiringi teriakan para penumpang.

Penumpang terpukul dan tak ingin melanjutkan perjalanan. Namun dang supir terus melaju dengan berpindah ke ruas sebelah kiri.

Seketika aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa. Melafalkan syahadat karena merasa saat itu adalah hari terakhir hidup di bumi.

Sang supir tak berkicau sedikitpun. Menenangkan para penumpang ataupun meminta maaf.

Mayoritas penumpang sudah tak karuan pikirannya. Melontarkan protes dan meminta elf itu berhenti.

Di tengah-tengah kekacauan itu, salah satu penumpang laki-laki berpindah duduk tepat di sampingku. Lalu mencoba berbincang pada sang supir.

Meminta sang supir tenang, fokus, dan terus di lajur sebelah kiri dengan kecepatan rendah saja.

Saat itu tidak hanya penumpang yang terlihat panik. Sang Supir juga terlihat kaget dan bingung harus berbuat apa. Ia terlihat berusaha fokus pada kemudinya. 

Dua puluh menit menuju gerbang tol Sumedang, seperti dua tahun rasanya. Ketika sang supir menginjak pedal gas, yang tercipta hanyalah ketakutan. Suara gesekan badan elf dengan pembatas jalan tol itu masih terekam dalam ingatan. Termasuk saat melihat roda depan elf yang sudah melayang itu.

Keluar dari tol, aku segera meminta diturunkan. Berdalih akan mencari angkutan umum menuju kota.

Kaki ini segera turun dari elf. Sambil membawa barang bawaan yang cukup banyak. 

Perlahan, elf itu melaju lagi. Hilang dari pandanganku.

Seketika badan ini begitu lemas. Tangan masih gemetaran. Jantung yang rasanya masih tertinggal di jalanan tol itu.

Tak kuat menopang badan yang masih gemetaran ini. Lutut perlahan diturunkan. Bersentuhan dengan trotoar jalanan. 

Seketika menatap kedua telapak tangan. Memastikan apakah benar-benar masih hidup atau tidak. Apakah kaki ini masih menapak? Apakah masih bernapas? Apakah masih hidup? Apakah aku selamat?

Suara klakson angkutan umum membuyarkanku. Sahutan sang supir meneriaki, "Neng bade kamana? Hayu naek!"

Ternyata, aku benar-benar selamat. Seperti mimpi buruk semua yang terjadi hari ini. Dan ternyata, aku masih diberi keselamatan. Seperti diberi kesempatan kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun