Sang supir tak berkicau sedikitpun. Menenangkan para penumpang ataupun meminta maaf.
Mayoritas penumpang sudah tak karuan pikirannya. Melontarkan protes dan meminta elf itu berhenti.
Di tengah-tengah kekacauan itu, salah satu penumpang laki-laki berpindah duduk tepat di sampingku. Lalu mencoba berbincang pada sang supir.
Meminta sang supir tenang, fokus, dan terus di lajur sebelah kiri dengan kecepatan rendah saja.
Saat itu tidak hanya penumpang yang terlihat panik. Sang Supir juga terlihat kaget dan bingung harus berbuat apa. Ia terlihat berusaha fokus pada kemudinya.Â
Dua puluh menit menuju gerbang tol Sumedang, seperti dua tahun rasanya. Ketika sang supir menginjak pedal gas, yang tercipta hanyalah ketakutan. Suara gesekan badan elf dengan pembatas jalan tol itu masih terekam dalam ingatan. Termasuk saat melihat roda depan elf yang sudah melayang itu.
Keluar dari tol, aku segera meminta diturunkan. Berdalih akan mencari angkutan umum menuju kota.
Kaki ini segera turun dari elf. Sambil membawa barang bawaan yang cukup banyak.Â
Perlahan, elf itu melaju lagi. Hilang dari pandanganku.
Seketika badan ini begitu lemas. Tangan masih gemetaran. Jantung yang rasanya masih tertinggal di jalanan tol itu.
Tak kuat menopang badan yang masih gemetaran ini. Lutut perlahan diturunkan. Bersentuhan dengan trotoar jalanan.Â