Elf arah Cirebon sudah terparkir di tempat biasa. Menantikan penumpangnya. Aku bergegas menaiki elf itu. Tanpa perlu panjang lebar menanyakan. Toh sudah terbiasa pulang ke kampung halaman menggunakan elf yang bertujuan ke Cirebon.
Entah mengapa hari itu aku memilih duduk di bangku kedua. Tepat di belakang supir. Biasanya duduk di bangku belakang agar tak banyak yang berlalu lalang. Khususnya terganggu akan kehadiran pengamen jalanan.
Mata ini melihat seisi elf. Ternyata, ini elf ekslusif yang mewah. Fasilitasnya terbilang lengkap. Sangat berbeda dengan elf yang biasa aku tumpangi.
"Hmm, sepertinya tarifnya akan berbeda dari biasanya,"Â pikirku dalam hati.
Benar saja. Sang supir mulai menagih ongkos pada setiap penumpang sebelum berangkat. Tarif naik sepuluh ribu dari biasanya. Aku tak banyak protes karena memang sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Tidak seperti kedua Mbak-mbak yang duduk di sebelah sang supir.
Elf perlahan melaju. Berjalan merayap karena sepanjang jalan Cibiru sampai Cileunyi begitu padat.Â
Sesekali elf itu berhenti ketika terlihat calon penumpang menantikan di trotoar jalan. Pengamen dan penjual makanan juga silih berganti menaiki elf. Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengais rezeki.
Entah mengapa hari itu sang supir memutuskan untuk memasuki tol. Biasanya elf tersebut tak masuk ke jalan tol. Memilih melintasi Jatinangor, Tanjungsari, Cadas Pangeran, dan Kabupaten Sumedang.
Pikirku saat itu mungkin karena menghindari kemungkinan berpapasan dengan para suporter bola yang hendak konvoi.Â
Tak ada satupun penumpang yang protes. Semuanya hening dengan kegiatan masing-masing. Ada yang memainkan ponsel, bersandar ke jendela, atau sekadar melihat jalanan saja.
Di tengah-tengah perjalanan, mata ini melihat terus ke arah jendela sebelah kanan. Melihat elf yang melaju di lajur sebelah kanan dengan kecepatan tinggi.Â