Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Pray for Sumedang, Tahun Baru yang Mencekam untuk Warga Sumedang

2 Januari 2024   05:00 Diperbarui: 2 Januari 2024   22:39 4751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasien RSUD Sumedang dipindahkan ke Jalan Raya pascagempa bumi dengan magnitudo 4,8 (31/12/23). (Sumber: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi via kompas.com)

Suasana tahun baru yang berbeda daripada biasanya. Mungkin akan menjadi peristiwa tahun baru yang paling diingat. Bukan diingat karena paling berkesan. Justru karena menyimpan traumatis yang berkepanjangan bagi sebagian orang.

Menjelang libur tahun baru, tentunya untuk para perantau, mayoritas akan memilih untuk kembali ke kampung halaman. Mendambakan suasana pergantian tahun yang menyenangkan. Seperti tradisi makan-makan murah meriah. Hanya bermodal daging ayam atau sapi yang dibakar. Dicampur dengan bumbu BBQ yang sudah menggoda. 

Adapula yang memilih menyalakan petasan atau kembang api di halaman rumah. Berusaha menghibur dan memberikan pengalaman baru bagi anak-anak.

Adapula yang memilih untuk tetap duduk di atas sajadah. Memanjatkan doa-doa terbaiknya dengan harapan bisa tembus sampai ke langit-Nya.

Perayaan menyambut tahun baru sudah ada dalam ingatan. Dengan senyum sumringah, bergegas pulang ke kampung halaman. Sampai rela terkena macet sepanjang jalan Cibiru, Cinunuk, dan Cileunyi. Senyuman orang-orang tersayang yang ada di balik pintu rumah, sudah terbayangkan dalam ingatan sepanjang perjalanan pulang.

Mulanya semuanya nampak baik-baik saja. Tidak ada yang mengganjal ataupun hal-hal yang membuat was-was. 

Jalanan mulai ramai dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Tempat makan dipenuhi oleh para pengunjung. Ada yang bercengkrama dengan keluaraga, pasangan, ataupun teman-teman.

Pagi hari sampai sore hari, kami sekeluarga sepakat untuk menghabiskan waktu bersama di rumah saja. Tepatnya pagi sampai sore hari di tanggal 31 Desember 2023.

Kegiatannya memang tidak signifikan. Hanya berkumpul di ruang tengah. Berbincang kehidupan sehari-hari ataupun membahas capres dan cawapres yang memang sebentar lagi akan kami pilih dalam Pemilu.

Cemilan juga turut dihadirkan. Menambah kehangatan kebersamaan keluarga. Tepatnya orang tua yang merindukan ketiga anaknya beserta cucunya berkumpul bersama.

Kami semua sudah berencana, bahwa di malam hari akan menyambut perayaan malam tahun baru secara terpisah. Ada yang memilih kembali ke rumahnya. Ada pula yang berencana berkumpul dengan teman-teman dalam rangka temu kangen.

Sore itu turun hujan. Menjelang ashar, beberapa anggota keluarga mulai sibuk mempersiapkan diri. Ada yang sudah berpamitan. Ada juga yang masih siap-siap.

Saya sendiri sudah ada janji berkumpul di salah satu rumah teman. Kami akan berkumpul setelah sholat Ashar. Perkumpulan ini memang rutin dilakukan setiap menyambut tahun baru. Satu sama lain akan membawa perbekalan amunisi untuk mengisi perut sepanjang malam.

Menunggu adzan ashar, saya duduk di ruang tengah. Semuanya juga berkumpul di sana. Di luar sedang turun hujan, membuat kegiatan sore cukup terbatas. Hanya bisa beraktivitas di dalam rumah saja.

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar sangat kencang. Ini adalah peristiwa mencekam yang kami alami. Suara gemuruhnya sangat berbeda. Bukan seperti suara angin, ataupun suara petir karena hujan. 

Saya tidak bisa mendeskripsikan dengan pasti suara gemuruh itu. Yang saya rasa, suaranya seperti runtuhan bebatuan yang dari pegunungan. Atau kalau ingin lebih fantasi lagi, seperti ada raksasa berjalan di daerah rumah.

Suara gemuruh itu dibarengi dengan dorongan yang amat dahsyat. Dorongan itu dapat kami simpulkan sebagai gempa bumi. Semuanya berlari ke luar rumah. Sambil berteriak, "Aya lini!!!!" Kalimat itu menggunakan bahasa sunda. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah "Ada gempa!!!"

Bukan kali pertama bagi kami merasakan gempa bumi. Mulai dari gempa yang berpusat di Tasikmalaya, Garut, Pangandaran, Cianjur, Cilacap, Bandung, sampai Yogyakarta turut terasa juga sampai ke Sumedang. 

Namun gempa sore itu sangat berbeda sekali. Biasanya hanya terasa pusing seperti diombang-ambing di lautan. Tetapi kali ini berbeda. Seperti ada yang mendorong, lalu menarik kembali. Seperti orang yang sedang bermain yoyo. Guncangannya sangat berbeda. 

Tidak hanya rumah kami, seluruh rumah yang ada di daerah itu, para penghuninya berhamburan ke luar. Kami teringat pada gempa tadi pagi yang ada di Pangandaran. Pikir kami saat itu mungkin ini adalah gempa yang berasal dari Pangandaran.

Namun, prediksi itu terpatahkan ketika notifikasi dari BMKG muncul di layar ponsel. Pusat gempanya adalah di Sumedang dengan magnitudo 4,1. 

Tidak pernah terpikirkan oleh kami bahwa akan terjadi gempa bumi yang terpusat di Sumedang. Secara geografis, Sumedang dikelilingi pegunungan. Tidak ada pantai di Sumedang. Kami tak pernah menyangka akan mengalami peristiwa ini.

Gempa bumi di sore hari itu berlangsung dua kali dengan durasi yang cukup singkat. Tetap saja membuat kami was-was dan senam jantung.

Semuanya kembali normal saat cuaca mendukung untuk beraktivitas di luar. Menjelang malam hari, hujan berhenti. Para pedagang mulai memadati Alun-Alun Sumedang. Kendaraan bermotor mulai membunyikan klakson di setiap lampu merah.

Aku pun kembali pada rencana awal. Menghabiskan malam tahun baru di rumah teman. 

Kami masak makanan siap saji. Lalu berbincang sambil menyalakan televisi. Tak lupa sesekali mengabadikan momentum dengan memotret kebersamaan malam itu.

Namun semuanya berubah. Kembali mencekam. Suara gemuruh itu kembali terdengar, bahkan semakin terasa lebih keras dibandingkan sebelumnya. Guncangannya pun berbeda. Lebih keras daripada yang sore hari.

Alat dapur yang tersimpan di dalam lemari mulai berhamburan. Membuat suasana semakin mencekam. Belum lagi suara anjing tetangga yang tak hentinya menggonggong. 

Kami langsung ke luar rumah. Berpelukan dan saling melindungi kepala satu sama lain. Bertasbih menyebut nama-Nya. Tak terasa air mata pun mengalir. Malam tahun baru yang biasanya indah harus berubah menjadi peristiwa traumatis bagi kami semua.

Guncangan itu bukanlah yang terakhir. Setengah jam sebelum pergantian tahun, guncangan kembali terasa. Memang tidak dibarengi dengan suara gemuruh yang menyeramkan itu. Tetap saja membuat kami parno dan sangat tidak tenang.

Satu per satu secara bergantian berjaga dan beristirahat. Tidak boleh semuanya dalam keadaan tertidur pulas. Tetap harus ada yang berjaga untuk memastikan keadaan. 

Benar saja, sekitar pukul tiga subuh pada tanggal 1 Januari 2024, kami kembali diguncang oleh gempa bumi. Suara gonggongan anjing turut menemani kepanikan hari pertama di tahun 2024.

Perayaan tahun baru di Sumedang menjadi berbeda. Stasiun televisi terlihat memadati perkotaan. Bukan untuk meliput pesta kembang api, tetapi untuk meliput tenda darurat yang didirikan untuk pasien RSUD Sumedang.

Suasana RSUD Sumedang cukup terlihat panik. Apalagi bangunan RSUD Sumedang dilengkapi dengan ketinggian 8 lantai. Beberapa media juga memberitakan keretakan di area lantai 5 dan 7. 

Rumah warga juga turut menjadi korban. Genting yang pecah, atap yang roboh, tembok rumah yang ambruk. Sedih rasanya menyaksikan itu semua. Memang hanya sedikit korbannya, tetap saja membuat keadaan semakin panik.

Ditambah lagi potongan video yang beredar di group WhatssApp dan TikTok. Gambaran rumah yang rusak, fasilitas pendidikan yang terkena dampaknya, dan korban jiwa yang terkena reruntuhan.

Sungguh, tidak pernah terbayangkan keadaan seperti ini akan terjadi. Sampai artikel ini ditulis (02 Desember 2024 pukul 01.00 WIB), sudah ada 6 kali gempa yang mengguncang sejak tanggal 31 Desember 2023.

Pemerintah sudah mengimbau untuk menerapkan status waspada sampai 7 hari ke depan. Tentunya kami begitu tidak tenang dengan keadaan ini. Namun tetap saja harus dilalui dengan penuh ketenangan, kewaspadaan, dan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saya menulis tulisan ini di teras rumah. Seluruh anggota keluarga memilih untuk berjaga di teras rumah saja. Enggan untuk masuk ke rumah. Terakhir, kami merasakan gempa pukul setengah sembilan malam. 

Semoga tidak ada lagi gempa susulan. Semoga semuanya sehat dan selamat, tidak kurang apapun. Tidak ada hal-hal buruk terjadi. Selalu ada dalam lindungan-Nya.

Tulisan ini akan saya jadwalkan untuk ditayangkan di Kompasiana pada saat subuh. Sekitar jam lima pagi. Semoga, tidak ada lagi gempa susulan. Dan gempa yang kami rasakan terakhir itu, memang benar-benar gempa penutup di Sumedang.

Mohon doanya untuk kami warga Sumedang dan sekitarnya dari teman-teman pembaca setia di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun