Bu, membicarakan tentang dirimu 'kan tiada habisnya. Selalu saja ada topik dan kisah menarik yang terlontar dari bibir anakmu ini. Baik cerita yang mengharu biru saat kita masih bersama, kenangan kesal hati saat engkau sedang marah padaku, Â juga kerinduan saat tanganmu mengusap kepala seraya khusyu berdoa untuk belahan jiwamu yang selalu engkau sayangi ini.
Tapi semarah apapun yang pernah datang darimu, itu adalah bentuk caramu mengasihi dan menyayangiku agar lebih disiplin, lebih paham mengatur waktu, lebih menghargai pekerjaan dan lain-lain hal yang kulalui dalam kehidupan saat masa tumbuh kembangku meremaja hingga dewasa.
Itulah sebab mengapa berkisah tentang dirimu tiada habisnya, apalagi jika teringat saat kita sedang duduk bersantai berduaan menikmati suasana malam tanpa suara radio atau siaran televisi. Obrolan kita hanya berlatar suara jengkerik dikejauhan, atau desau angin yang mengombak padi di sawah, atau suara peluit kereta api yang lewat di tengah kesunyian kampung kita.
Derai tawa kita melebur saat berceloteh hal yang lucu atau nyamblek nyamuk yang nakal dengan selendang gegara mereka nimbrung mendengarkan obrolan seru di ruang tamu. Denging mereka sangat menggangu, bukan?
Bu, aku kangen dengan binar matamu saat mengenang bapak. Beliau telah lama berpulang ke hadapan Illaahi Rabbi, tetapi dirimu tetap setia tak menikah lagi hingga akhir hayatmu. Binar mata yang penuh rindu, sebagaimana aku merindukanmu pula saat ini.
Memandang foto Ibu dan Bapak, teringat ceritamu saat pertama kali berjumpa dengan Bapak dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak peduli perbedaan suku dan adat, getaran cinta itu menyatukan kalian berdua.
***
Awal kisah, sependek ingatanku, Bu.
Bahwa semasa gadis, Ibu bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor kawedanan yang mencatat data para pendatang yang bekerja di wilayah tempat tinggal Ibu. Sebuah wilayah di sebuah kepulauan Suku Melayu.
Cuaca cerah hari itu menemani kesibukan Ibu di depan mesin ketik dan buku data penduduk pendatang. Satu per satu pemuda yang datang dari pelosok daerah melaporkan data diri masing-masing di kantor ini.
Singkat cerita, ketika duduk pemuda berambut klimis berbelah kanan dengan tampilan rapi berkemeja putih, bercelana panjang hitam, bersepatu vantovel hitam, menjulurkan surat-surat yang dibawanya kepada Ibu, menyapa dengan sopan seiring senyum manis tersemat.
Mata kalian saling beradu, canggung dan malu-malu.Â
"Ibu kok ngrasa ada sesuatu yang piyeeee, gitu, Nduk."
Aku tersenyum simpul dan beringsut makin mendekat memelukmu, Bu.
Cerita pun mengalir.
Saling mengenal nama, saling mengetahui alamat tinggal. Ternyata, pemuda itu tinggal di mess karyawan yang tidak jauh dari rumah Ibu.
Setiap pagi bila hendak menuju ke kantor kawedanan, jalan satu-satunya menuju kantor selalu melewati mess tersebut.
"Kamar mess bapakmu itu, jendelanya menghadap ke jalan besar. Jadi tiap Ibu dan teman-teman lewat, Bapakmu selalu melambaikan tangannya dari jendela. Perasaan Ibu ya seneng, ya malu, yaaa, gitulaah." Tawa ibu kembali berderai membuatku ikut cekikan.
 "Ih, Ibu gede rasa!" Kugelitik pinggang Ibu.
Seiring waktu, pemuda dari tanah Jawa itu bersilaturahim ke rumah Ibu, berjumpa dan berkenalan dengan Nyai dan Atuk -- kedua orang tua Ibu.
Setiap kali bertamu, pemuda itu duduk berseberangan dengan ibu, terpisah jarak dengan meja. Adik-adik Ibu yang perempuan sering berebut kesempatan untuk menyuguhkan minum dan kudapan ke ruang tamu demi bisa mencuri pandang wajah pemuda ganteng.
"Kalau Ibu pas memandang wajah Bapakmu, dia menunduk. Pas Bapak yang gantian memandang wajah Ibu, eh, Ibu nunduk juga. Gak kuat, Nduk." Tawa kami kembali pecah.
Diam-diam, adik-adik ibu mengintip dari balik tirai sembari senyum-senyum saat memergoki adegan itu.
***
Bulan demi bulan berlalu, tanpa saling menyatakan suka atau cinta, hati Ibu terpaut pada pemuda Jawa yang halus tutur katanya itu.
"Bapakmu itu romantis, Nduk. Suka berkesenian dan tampil di acara-acara Kawedanan atau pesta rakyat yang digelar oleh pabrik tempat bapak kerja."
Ibu juga bercerita, terkadang pemuda romantis itu menghibur Nyai dan Atuk dengan petikan gitar yang dibawanya ke rumah panggung. Melantunkan tembang Jawa atau Melayu, sesekali lagu barat yang sedang populer di zaman mereka muda.
Tibalah saat pemuda Jawa dengan niat baik dan tulus menghadap Nyai dan Atuk, mengutarakan maksud untuk melamar Ibu.
Nyai dan Atuk meminta waktu sebelum mengiyakan untuk menerima pinangan atas anak gadis mereka.
"Rupanya, tanpa sepengetahuan Ibu, Nyai telah menerima pinangan pemuda asal para pelaut dari tanah seberang yang merantau juga di kota Ibu. Bahkan telah menerima sekotak perhiasan emas."
Aku terbangun dari rebahan di pangkuan Ibu, memandang wajahnya dengan mulut ternganga. "Lho, terus piye, Bu?"
Nyai dan Atuk sempat bersitegang beberapa hari. Atuk sangat tidak setuju dengan sikal Nyai yang menerima begitu saja pinangan pemuda asal para pelaut tanpa bertanya pada Atuk mapun Ibu. Nyai tergiur dengan pemberian dari pemuda itu.
"Atukmu bilang agar sekotak emas itu harus dikembalikan. Karena Atuk juga tidak menyukai pemuda itu, Nduk. Ia lebih suka dengan Bapakmu." Senyum Ibu mengembang. Pipinya merona, matanya berbinar di keremangan malam.
"Apa yang membuat Atuk suka dan lebih memilih Bapak?"Â
"Karena Bapakmu santun, sopan, bicaranya halus, lembut, tertata. Layaknya pemuda Jawa yang alus gitu, Nduk. Juga karena berpendidikan. Terlihat dari cara bertutur dan isi obrolan bersama Atukmu."Â
Aku mengangguk kecil.
***
Dan aku masih mengingat ceritamu, Bu.Â
Bagaimana kemudian Allaah memudahkan jalan bagi Nyai untuk mengembalikan kotak berisi perhiasan emas kepada pemuda asal para pelaut. Pemuda itu pun menerima kembali tanpa protes dan keberatan lainnya.
Demikian pula saat Nyai meminta Ibu agar mengundang pemuda Jawa itu datang kembali ke rumah panggung untuk mendapatkan jawaban atas pinangannya. Semua berjalan lancar hingga akhirnya akad pernikahan itu berlangsung hikmad dan meriah.
Lalu saat tugas di Kepulauan Melayu telah usai, pemuda Jawa itu memboyong istrinya ke tempat asal, bertemu dan berkumpul.kembali bersama keluarga besarnya.
"Itulah pertama kalinya, Ibu merantau, keluar dari pulau tempat asal Ibu bersama dengan suami pilihan atas restu Nyai dan Atukmu, Nduk."
***
Bu, kembali kupandangi foto Bapak dan Ibu di album yang penuh kenangan. Kita berfoto bertiga dengan balutan baju kebaya dan gaun masa kecilku saat berlebaran.Â
Tentu Ibu dan Bapak sangat berbahagia kini telah berkumpul bersama dan surga-Nya.
Doamu senantiasa mengalir abadi untukku.
Selamat Hari Ibu, ya Bu.
Izinkan aku mengenangmu dengan caraku. Mengenang ketika Ibu -dulu- sedang jatuh cinta pada pandangan pertama, tertawan hati oleh pemuda Jawa.Â
Pemuda Jawa itu, Bapakku. Beliau memang romantis, bahkan pada anak perempuannya. Aku pun merindukan Bapak dengan pelukan dan kisah-kisah rakyat dan tembang Jawa yang dulu sering disenandungkannya.
Rindu usapan tangan lembut Ibu yang khusyu mendoakan diriku.
Kota Tepian Mahakam, 23 Desember 2024, 19.24 WITA
***
Artikel ke-44 2024
#Tulisanke-594
#ArtikelFiksiana
#FiksianaRomansa
#KetikaIbuJatuhCinta
#SelamatHariIbu
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H