Singkat cerita, ketika duduk pemuda berambut klimis berbelah kanan dengan tampilan rapi berkemeja putih, bercelana panjang hitam, bersepatu vantovel hitam, menjulurkan surat-surat yang dibawanya kepada Ibu, menyapa dengan sopan seiring senyum manis tersemat.
Mata kalian saling beradu, canggung dan malu-malu.Â
"Ibu kok ngrasa ada sesuatu yang piyeeee, gitu, Nduk."
Aku tersenyum simpul dan beringsut makin mendekat memelukmu, Bu.
Cerita pun mengalir.
Saling mengenal nama, saling mengetahui alamat tinggal. Ternyata, pemuda itu tinggal di mess karyawan yang tidak jauh dari rumah Ibu.
Setiap pagi bila hendak menuju ke kantor kawedanan, jalan satu-satunya menuju kantor selalu melewati mess tersebut.
"Kamar mess bapakmu itu, jendelanya menghadap ke jalan besar. Jadi tiap Ibu dan teman-teman lewat, Bapakmu selalu melambaikan tangannya dari jendela. Perasaan Ibu ya seneng, ya malu, yaaa, gitulaah." Tawa ibu kembali berderai membuatku ikut cekikan.
 "Ih, Ibu gede rasa!" Kugelitik pinggang Ibu.
Seiring waktu, pemuda dari tanah Jawa itu bersilaturahim ke rumah Ibu, berjumpa dan berkenalan dengan Nyai dan Atuk -- kedua orang tua Ibu.
Setiap kali bertamu, pemuda itu duduk berseberangan dengan ibu, terpisah jarak dengan meja. Adik-adik Ibu yang perempuan sering berebut kesempatan untuk menyuguhkan minum dan kudapan ke ruang tamu demi bisa mencuri pandang wajah pemuda ganteng.