"Ibu nggak punya rindu untukku dan Simbah," tambahnya dengan suara getir.
"Ojo ngono, Rum. Gak apik omonganmu." Hamidah menyengol lengan sahabatnya yang mulai sesegukan. Juwita mengelus punggung sahabatnya.Â
"Tumpahkan kesalmu dengan menangis. Tapi jangan keterusan. Boleh kesal, tapi jangan ngomel tentang Ibumu. Nggak baik, Rum."
Remaja jelita itu mengusap pipinya yang membasah. Diambilnya sebungkus plastik berisi tisu kering dari saku seragam sekolahnya. Ditariknya selembar dan menghapus matanya dengan kertas lembut itu. Sejurus pula mengusap lubang hidung agar ingusnya tak ikutan meler.
"Sebentar lagi jam istirahat habis. Kita siap-siap kembali ke kelas." Juwita beranjak dari tempat duduk. Menggamit tangan sahabatnya.Â
"Tahan tangismu, simpan saja buat nanti kalau mau melanjutkan sedihmu."
"Hei, Wit. Kamu kok malah ngomong gitu. Mesakno Arum tho yaaa!" Hamidah berujar sambil beranjak dan menepuk-nepuk rok biru dari debu yang menempel.
Arum, remaja belia yang belum sempurna menumpahkan rasa kecewa tentang ibunya, pasrah kembali menuju ke kelas dengan menyisakan matanya yang sembab.
***
Bilik berukuran sedang dengan perabot seadanya menemani Arum seperti biasa kala merebahkan diri menuju ke alam mimpi. Tilam beralas seprai motif batik, cukup empuk untuk berat tubuhnya yang tak terlalu gemuk. Ia sudah merapikan buku dan alat tulis usai mengerjakan PR, menatanya kembali pada sudut meja.
Namun matanya tak jua terjepejam. Pelukan guling makin erat. Seiring tumpahan tangisnya yang sengaja ia benamkan pada bantal dan guling yang setia membungkus jeritan batinnya.Â