"Iya, bu. Nanti Surti nyusul. Sebentar, baru berganti baju,"
Kembara pikiran Surti berlanjut. Ia hanya beralasan, untuk melanjutkan apa yang ada di kenangan pikirannya.
"Mas Bayu, apa kabarnya hari ini? Apakah ia ingat padaku? Aku rasa tidak. Mana mau ia ingat padaku, sedangkan aku bukan siapa-siapa buat dia. Hem."
Surti menarik nafas panjang. Sepertinya, ingatan kenangan akan berseri dan memanjang.Â
"Jika bukan karena ibu memanggilku untuk pulang, aku tak akan sampai ke rumah ini kembali hanya untuk serpihan kenangan yang tak bermuara."
***
Suara angin sepoi, mengiringi langkah kaki Surti. Di sampingnya, seorang laki-laki matang, tampak harmonis saat berjalan. Hening, tanpa ada suara. Masing-masing berada dalam pikirannya sendiri.
Tiba-tiba suara pelan memecah keheningan.
"Maafkan aku tak bisa meneruskannya, Dik,"
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji padaku?"
"Tetapi ini menyangkut baktiku pada ibu,"
Sudah bisa ditebak, bahwa laki-laki matang itu tidak ingin terikat apapun dengan Surti. Tetapi ia tak mau memaksakan kehendak. Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Misalnya ia memaksa, harga dirinya sebagai perempuan tidak bisa menerima. Apa jadinya?