Guci koleksi museum tersebut merupakan pemberian dari Drs. H.Said Safran yang pernah menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara pada tahun 1989 - 1994.
Beralih ke tas gendong bayi dengan motif khas dayak berupa manusia mirip bayi disebut dengan Bening Dayak. Biasa digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Suku Dayak yang ada di wilayah Kalimantan Utara, utamanya ibu-ibu dari Suku Dayak Kenyah dan Bahau.Â
Bening digunakan untuk menggendong bayi mereka pada saat awal usia 6 bulan sampai dengan 1,5 tahun. Cara menggunakannya seperti menggunakan tas ransel, berada di punggung sang ibu, dikaitkan dengan tali pengait ke lengan.Â
Posisi bayi digendong sang ibu menghadap ke depan sehingga seluruh tubuhnya menghadap punggung ibunya.
Berikutnya ada koleksi museum berupa hiasan kepala pada manekin pengantin laki-laki dan perempuan pada foto tersebut adalah Bluko.
Bluko merupakan penutup kepala yang dilengkapi dengan berbagai aksesoris khas Dayak, bentuknya bulat menutup berwarna kecoklatan dilapisi pernak pernik warna khas Dayak Kenyah. Tepat di depan Bluko serupa tengkorak bermata dua, dan dihiasi jambul bulu Burung Enggang dan Tebun menjulang tinggi.
Selain itu, museum juga menampilkan sejarah pemimpin Kota Samarinda dari masa ke masa, mulai dari Walikota Pertama Samarinda pada tahun 1960-an hingga Walikota terkini yang akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2024.
NakDis antuasias membaca isi sejarah walikota yang terpampang di tembok besar salah satu sudut museum, karena ada nama-nama yang dia tahu dari beberapa nama jalan di Samarinda. Melalui koleksi museum, kami berdua menjadi tahu wajahnya dan masa kepemimpinan mereka.
Berlanjut ke koleksi lainnya seperti foto-foto tempo doeloe dari tahun ke tahun, barang-barang kerajinan suku dayak, pedang atau mandau (alat tradisional perang khas Kalimantan), dan baju tradisional suku dayak yang sudah dimodifikasi. Serta foto-foto era 2000-an hingga sekarang yang menyajikan proses pembagunan Kota Samarinda.