Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Jelang Subuh

9 September 2022   11:32 Diperbarui: 9 September 2022   17:57 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://id.quora.com/Apakah-kamu-pernah-memasak-dengan-selain-kompor-gas-kompor-minyak-tungku-dll

Perkampungan sederhana di perbatasan dusun terkesan sunyi berselimut kabut tipis. Hawa dingin melingkupi para penghuni. Lampu templek dan petromak yang meredup, tampak menari kecil di balik dinding kayu rumah-rumah warga.

Pada satu sudut rumah, seorang ibu berusia separuh abad tengah bersibuk diri menyiapkan perapian. Tungku telah disiapkan, berikut alat masak, bumbu dan lauk yang akan segera menjadi panganan sarapan pagi. Padahal jam masih menunjukkan waktu dini hari.

“Emak masak apa? Bisa kubantu?” Pemuda berparas bagus mendekatinya.

"Lho, sudah bangun, Le?" Emak terkejut mendengar sapaan anak lelaki semata wayang.

"Terbangun karena bunyi klemethik kayu bakar, Mak. Tadi sekalian ambil wudhu dan sholat tahajud sebentar," Pemuda itu duduk di atas dingklik kayu sembari meniup api tungku agar terus menyala. 

Ruang dapur berdinding gedhek, berukuran seadanya, terasa hangat dengan perapian.

“Ini, Emak masak ikan patin kuah kuning, terus mau nggoreng tahu tempe, sama nanti bikin sambal tomat kesukaan Abah,” sahutnya.

Alhamdulillah. Mantab pasti rasanya," senyum pemuda itu mengembang, membayangkan sedapnya masakan dari tangan Emak.

Baca juga: Cermin Kehidupan

“Eh, Mak, calon istriku kayaknya gak bisa masak, lho”.

“Iya, terus kenapa?” Sahut Emak sembari mengiris tempe dan tahu.

“Ya, gak kenapa-kenapa sih, Mak." Ia meringis memandang wajah Emaknya yang masih asyik menyiapkan bahan membuat sambal. 

"Cuma mau cerita saja, biar Emak nggak kecewa kalau nanti punya mantu." Pemuda itu menyeringai malu.

Emak tersenyum simpul. Tangannya gesit menggerus bumbu di atas cobek. Sesekali ia memeriksa masakan di wajan.

“Apa kamu pikir, kalau segala urusan seperti masak, nyuci, nyapu, ngurus rumah, dan tetek bengek begini, itu kewajiban perempuan, Le?" Emak bertanya lembut namun tegas penuh arti.

Pemuda bagus itu memandang Emak dengan tatapan tak paham.

"Ngene, lho, Le. Perlu kamu ketahui bahwa urusan yang Emak sebutkan tadi adalah kewajiban lelaki. Kewajibanmu nanti kelak saat kamu beristri dan berumah tangga." Lagi-lagi Emak pasang senyum manis dengan kerling mata sayang. 

Tangannya sigap memcelupkan tahu dan tempe ke dalam adonan bumbu dan memasukkan ke dalam minyak penggorengan.

“Lho, bukannya Emak tiap hari melakukannya?” Mengernyit kening pemuda bagus, masih belum paham.

Le, kewajiban Istri itu adalah taat dan mendapatkan kerelaan suami. Ndapetin ridhonya suami.” kata Emak mantap. “Karena Abahmu mungkin nggak bisa mengurusi rumah, maka Emak bantu mengurusi semuanya. Ya masak, ya nyuci, ya ngepel, ya ya ya lainnya," sambung Emak yang terus cekatan mengurus masakan di pagi yang masih berselimut kabut.

"Bukan atas nama kewajiban, Le, tetapi sebagai wujud cinta Emak sebagai Ibumu, juga wujud sayang Emak sebagai Istri yang mencari ridho suami. Ridho abahmu.” Emak melempar pandang pada anak lelakinya yang nampak serius menyimak tuturannya.

"Aku makin bingung, Mak." Pemuda berhidung mbangir menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Emak tertawa renyah. Tahu tempe goreng sudah berpindah di atas piring, tertata rapi di meja dapur. Ikan berbumbu yang sudah dimarinasi, dibiarkan sejenak untuk.olahan masak berikutnya.

“Begini, Cah Bagus. Ini ilmu buat kamu yang mau sudah punya calon istri dan pengen menikah.” Emak menyeret diklik plastik, duduk bersebelah dengan anak lelakinya, menikmati semilir angin dari celah-celah dinding kayu dapur.

Sejenak wanita yang belum terlalu sepuh itu berbalik menatap mata anak lelaki semata wayangnya.


“Menurutmu, pengertian nafkah itu seperti apa?" Pertanyaan yang membuat kening pemuda bagus terlipat lagi. 

"Bukankah kewajiban lelaki itu adalah untuk menafkahi Istri? Ya sandang, ya pangan,  ya papan?” Tambah Emak.

“Ya, tentu saja, Mak," jawab pemuda bagus sekenanya.

Le, pakaian yang bersih adalah nafkah, sehingga mecuci baju adalah kewajiban suami. Makanan itu juga nafkah. Kalau masih berupa beras, itu masih setengah nafkah. Apalagi kok masih berupa uang yang belum dibelikan makanan apa-apa. Karena berasnya belum bisa dimakan. Sehingga memasak bahan makanan dan menyuapkan ke mulut istri itu juga kewajiban suami." Emak tersenyum.

"Lalu, menyiapkan rumah temlat tinggal untuk keluarga kecilnya adalah kewajiban suami, termasuk di dalamnya perihal kebersihan, ketentraman dan kenyamanan isi rumah juga kewajiban suami." Tambah Emak dengan suara lembutnya.

Mata pemuda ganteng membelalak mendengar tuturan Emak di pagi buta jelang subuh.

“Segitunya, Mak? Beneran, nanti Hadi harus lakuin itu semua kelak sebagai suami?"
Emak mengangguk mantap tetap dengan menyematkan senyum kasih sayangnya.

"Lalu, kalau emang itu semua kewajiban suami, kenapa Emak tetap melakukan ini semuanya tanpa menuntut Abah? Sepagi ini aja Emak sudah masak buat kami.” Hadi memandang Emak sembari memeluk pundaknya.

“Karena Emak adalah seorang Istri yang pengen dapat ridho dari suami. Emak pengen dapat pahala agar selamat dunia dan akhirat karena ridho dari abahmu. Karena Emak mencintai Abahmu, mana mungkin Emak tega menyuruh Abah melakukan semuanya," emak terkekeh.

"Jika Abahmu orang berada,  mungkin pembantu bisa jadi solusi. Seperti keluarga calon istrimu itu, kan. Tapi jika belum ada, ini adalah ladang pahala untuk Emak. Kan Emak juga pengen dong, dapat pahala dari jalan taat dan membantu suami mengerjakan urusan rumah tangga," Emak menyetil pipi Hadi yang hanya diam terpesona.

“Kamu pernah mendengar cerita Fatimah, Le? Yang meminta pembantu kepada Ayahnya, Nabi SAW, yang tangannya lebam menumbuk tepung? Tapi Nabi tidak mengabulkan permintaannya."

Hadi menggangguk perlahan.

"Atau pernah dengar juga saat Umar bin Khatab diomeli Istrinya?"

Pemuda itu tersenyum mengiyakan.

"Umar diam saja, kan? Karena beliau tahu betul bahwa wanita kecintaannya sudah melakukan berbagai macam tugas yang sebenarnya itu bukanlah tugas si Istri.”

"Nggeh, Mak."

Pemuda bagus itu mulai paham.

“Jadi, laki-Laki selama ini salah sangka ya, Mak? Seharusnya setiap lelaki berterimakasih pada kstrinya. Lebih sayang dan menghormati jerih payah Istri.”

Emak tersenyum, mencium kening anak semata wayangnya. Ia beranjak mendekati tungku, meniup kayu bakar agar kembali menyala terang untuk masakan berikutnya.

“Eh. Pertanyaanku lagi, Mak. Kenapa Emak tetap mau melakukan semuanya? Padahal itu bukan kewajiban Emak, kan?"

“Menikah bukan hanya soal menuntut hak kita, Le. Istri menuntut suami, atau sebaliknya.Tapi banyak hal lain. Seperti menurunkan ego, menjaga keharmonisan, masing-masing mau mengalah, bekerjasama dalam berkasih sayang, meluaskan cinta dan saling menghargai posisi sebagai istri dan ibu, sebagai suami dan ayah," Emak bertutur penuh wejangan.

"Menikah itu bagaikan perlombaan untuk berusaha melakukan yang terbaik satu sama lain. Yang Wanita sebaik mungkin membantu suaminya. Yang Lelaki sebaik mungkin membantu Istrinya. Toh impian membangun rumah tangga tak hanya di dunia, tapi sampai di Surga. Kan kepengen langgeng dengan keadaan yang sakinah, mawaddah, warrahmah," tambah Emak yang membuat pemuda ganteng makin kagum padanya.


MasyaAllah, Mak! Egh, kalo calon istriku tahu hal ini lalu dia jadi malas ngapa-ngapain, gimana, Mak?”

“Wanita beragama yang baik, in syaa Allah tahu bahwa ia harus mencari keridhoan suaminya, sehingga ia tidak mungkin setega itu membiarkan kamu melakukan sendiri dalam mengurus rumah tangga kelak. Sedang lelaki beragama yang baik tentu tahu bahwa Istrinya telah membantu sedemikian rupa, mendukung segala urusannya  sehingga tidak ada cara lain selain lebih dan makin mencintainya.”


Hening.


Masing-masing hanyut dalam mencerna segala obrolan yang tak sengaja diperbincagkan jelang subuh.

Sayup-sayup suara tilawah bergaung dari surau di sudut dusun, seiring bunyi gemelutuk kuah ikan patin masak kuning. Aromanya menguar harum di dapur kecil, menyelimuti kebahagiaan hati Emak dan anak semata wayangnya.

Hadi meraih dan menggengam tangan Emal. Mencium punggung tangannya, bergegas menuju surau. Sebentar lagi panggilan sholat Subuh menggema mengajak pada kemenangan.

***

Terinspirasi dari sebuah nasehat agama tentang arti nafkah dan disampailan melalui grup perpesanan beberapa tahun lalu. Tulisan ini menjadi nasehat dan pengingat bagi diri pribadi, semoga bermanfaat.

***

Artikel 104

#Tulisanke-404
#CerpenSiskaArtati
#ObrolanJelangSubuh
#Nafkah
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun