“Eh. Pertanyaanku lagi, Mak. Kenapa Emak tetap mau melakukan semuanya? Padahal itu bukan kewajiban Emak, kan?"
“Menikah bukan hanya soal menuntut hak kita, Le. Istri menuntut suami, atau sebaliknya.Tapi banyak hal lain. Seperti menurunkan ego, menjaga keharmonisan, masing-masing mau mengalah, bekerjasama dalam berkasih sayang, meluaskan cinta dan saling menghargai posisi sebagai istri dan ibu, sebagai suami dan ayah," Emak bertutur penuh wejangan.
"Menikah itu bagaikan perlombaan untuk berusaha melakukan yang terbaik satu sama lain. Yang Wanita sebaik mungkin membantu suaminya. Yang Lelaki sebaik mungkin membantu Istrinya. Toh impian membangun rumah tangga tak hanya di dunia, tapi sampai di Surga. Kan kepengen langgeng dengan keadaan yang sakinah, mawaddah, warrahmah," tambah Emak yang membuat pemuda ganteng makin kagum padanya.
“MasyaAllah, Mak! Egh, kalo calon istriku tahu hal ini lalu dia jadi malas ngapa-ngapain, gimana, Mak?”
“Wanita beragama yang baik, in syaa Allah tahu bahwa ia harus mencari keridhoan suaminya, sehingga ia tidak mungkin setega itu membiarkan kamu melakukan sendiri dalam mengurus rumah tangga kelak. Sedang lelaki beragama yang baik tentu tahu bahwa Istrinya telah membantu sedemikian rupa, mendukung segala urusannya sehingga tidak ada cara lain selain lebih dan makin mencintainya.”
Hening.
Masing-masing hanyut dalam mencerna segala obrolan yang tak sengaja diperbincagkan jelang subuh.
Sayup-sayup suara tilawah bergaung dari surau di sudut dusun, seiring bunyi gemelutuk kuah ikan patin masak kuning. Aromanya menguar harum di dapur kecil, menyelimuti kebahagiaan hati Emak dan anak semata wayangnya.
Hadi meraih dan menggengam tangan Emal. Mencium punggung tangannya, bergegas menuju surau. Sebentar lagi panggilan sholat Subuh menggema mengajak pada kemenangan.
***
Terinspirasi dari sebuah nasehat agama tentang arti nafkah dan disampailan melalui grup perpesanan beberapa tahun lalu. Tulisan ini menjadi nasehat dan pengingat bagi diri pribadi, semoga bermanfaat.
***