Emak tertawa renyah. Tahu tempe goreng sudah berpindah di atas piring, tertata rapi di meja dapur. Ikan berbumbu yang sudah dimarinasi, dibiarkan sejenak untuk.olahan masak berikutnya.
“Begini, Cah Bagus. Ini ilmu buat kamu yang mau sudah punya calon istri dan pengen menikah.” Emak menyeret diklik plastik, duduk bersebelah dengan anak lelakinya, menikmati semilir angin dari celah-celah dinding kayu dapur.
Sejenak wanita yang belum terlalu sepuh itu berbalik menatap mata anak lelaki semata wayangnya.
“Menurutmu, pengertian nafkah itu seperti apa?" Pertanyaan yang membuat kening pemuda bagus terlipat lagi.
"Bukankah kewajiban lelaki itu adalah untuk menafkahi Istri? Ya sandang, ya pangan, ya papan?” Tambah Emak.
“Ya, tentu saja, Mak," jawab pemuda bagus sekenanya.
“Le, pakaian yang bersih adalah nafkah, sehingga mecuci baju adalah kewajiban suami. Makanan itu juga nafkah. Kalau masih berupa beras, itu masih setengah nafkah. Apalagi kok masih berupa uang yang belum dibelikan makanan apa-apa. Karena berasnya belum bisa dimakan. Sehingga memasak bahan makanan dan menyuapkan ke mulut istri itu juga kewajiban suami." Emak tersenyum.
"Lalu, menyiapkan rumah temlat tinggal untuk keluarga kecilnya adalah kewajiban suami, termasuk di dalamnya perihal kebersihan, ketentraman dan kenyamanan isi rumah juga kewajiban suami." Tambah Emak dengan suara lembutnya.
Mata pemuda ganteng membelalak mendengar tuturan Emak di pagi buta jelang subuh.
“Segitunya, Mak? Beneran, nanti Hadi harus lakuin itu semua kelak sebagai suami?"
Emak mengangguk mantap tetap dengan menyematkan senyum kasih sayangnya.
"Lalu, kalau emang itu semua kewajiban suami, kenapa Emak tetap melakukan ini semuanya tanpa menuntut Abah? Sepagi ini aja Emak sudah masak buat kami.” Hadi memandang Emak sembari memeluk pundaknya.