“Karena Emak adalah seorang Istri yang pengen dapat ridho dari suami. Emak pengen dapat pahala agar selamat dunia dan akhirat karena ridho dari abahmu. Karena Emak mencintai Abahmu, mana mungkin Emak tega menyuruh Abah melakukan semuanya," emak terkekeh.
"Jika Abahmu orang berada, mungkin pembantu bisa jadi solusi. Seperti keluarga calon istrimu itu, kan. Tapi jika belum ada, ini adalah ladang pahala untuk Emak. Kan Emak juga pengen dong, dapat pahala dari jalan taat dan membantu suami mengerjakan urusan rumah tangga," Emak menyetil pipi Hadi yang hanya diam terpesona.
“Kamu pernah mendengar cerita Fatimah, Le? Yang meminta pembantu kepada Ayahnya, Nabi SAW, yang tangannya lebam menumbuk tepung? Tapi Nabi tidak mengabulkan permintaannya."
Hadi menggangguk perlahan.
"Atau pernah dengar juga saat Umar bin Khatab diomeli Istrinya?"
Pemuda itu tersenyum mengiyakan.
"Umar diam saja, kan? Karena beliau tahu betul bahwa wanita kecintaannya sudah melakukan berbagai macam tugas yang sebenarnya itu bukanlah tugas si Istri.”
"Nggeh, Mak."
Pemuda bagus itu mulai paham.
“Jadi, laki-Laki selama ini salah sangka ya, Mak? Seharusnya setiap lelaki berterimakasih pada kstrinya. Lebih sayang dan menghormati jerih payah Istri.”
Emak tersenyum, mencium kening anak semata wayangnya. Ia beranjak mendekati tungku, meniup kayu bakar agar kembali menyala terang untuk masakan berikutnya.