Karena takut, Kakak segera membawaku pulang dan menyampaikan hal tersebut kepada Ibu.
"Wes meh maghrib kok ya masih dolanan ning njobo," (Sudah mau maghrib kok ya masih mainan di luar) demikian ibu menegur kakak. "Siska dereng rampung maem-e, Bu. Jangan-jangan adik lihat tuyul?" (Siska belum selesai makannya, Bu)
Entahlah, benar atau tidak, saya pun tak paham karena masih terlalu kecil. Ternyata dua kakak saya lainnya mengiyakan, bahwa beberapa kali mereka ajak jalan-jalan sore di depan area bermain, pandangan mata saya sering melihat ke pohon itu. Tapi tidak pernah bilang sedang melihat apa. Mereka berdua baru tahu setelah kejadian tersebut. Sejak saat itu, Ibu melarang kakak mengajak saya jalan-jalan sore.
***
Kejadian kedua, masih di rumah dinas Pabrik Gula di Kudus, tempat kami tinggal.
Suatu siang, saya tidak bisa tidur meski ibu berusaha menina-bobokan.
Ibu beranjak ke dapur, menutup pintu kamar, meninggalkan saya yang dikiranya sudah tidur. Diam-diam saya bangun, beranjak menuju jendela persis di sebelah tempat tidur. Jendela sengaja terbuka lebar agar angin semilir masuk ke kamar. Dilapis dengan bingkai teralis nyamuk. Pandangan mengarah ke halaman samping rumah.Â
Siapa sangka, pohon dengan buah jambu biji yang biasanya berwarna hijau segar, malah menampilkan tengkorak-tengkorak kecil yang berayun tersapu angin. Menggelayut di pohon, begitu banyak. Ada yang tersenyum, ada yang meringis, ada yang mengatup bibir dengan pandangan datar.
Saya hanya heran saja, kok buah jambunya tidak ada. Hanya terlihat tengkorak kecil berayun-bayun pada batangnya. Tak disangka, ibu kembali ke kamar, menegur saya yang sedang melamun di pinggir jendela.
"Bu, iku, boneka," (Bu, itu, boneka) saya menunjuk ke pohon.
Ibu hanya menoleh sesaat dan mengajakku tidur kembali.
Sore harinya, saya bilang ke Oom saya (adik ibu) yang tinggal di serumah dengan kami.
"Oom, ono boneka iki, ning wit jambu," (Oom, ada bomeka ini di pohon jambu) sembari saya menunjuk gambar tengkorak dan tulang bersilang, sticker yang menempel di salah satu lemari Oom saya.
Oom tersenyum, menggendong saya. "Ning endi?" (Dimana?) dengan nada memastikan.
"Ning wit jambu", celotehku.