Terinspirasi dari tulisan Mba Hennie beberapa waktu lalu tentang hantu, akhirnya saya menulis kisah ini. Bisa jadi, sewaktu kecil, saya bisa melihat hantu.
Hal tersebut saya alami ketika masih balita dan tinggal di perumahan dinas pabrik gula di Kota Kudus, Jawa Tengah. Cerita masa kanak-kanak yang disampaikan kakak saya dan semampu saya mengingat memori tentangnya.
Sudah menjadi kebiasaan di lingkungan perumahan, jika sore tba, kakak-kakak perempuan saya keluar rumah untuk bermain dengan teman sebaya sesama penghuni di lingkungan pabrik gula tersebut.Â
Ada sebuah taman bermain kecil di tengah komplek sebagai area berkumpul santai. Disanalah biasanya kakak menggendong saya sembari menyuapi makan sore.
Pernah kakak saya panik, gara-gara jelang senja, saat saya sedang disuapin, saya menunjuk-nunjuk ke pohon yang agak jauh dari tempat arena tersebut. Kakak saya bingung dengan arah telunjuk saya. "Kenapa, Nduk?" Saya tidak menjawab, hanya terus mengunyah sambil menunjuk ke pohon dan pandangan bertanya ke kakak saya.
Kakak berusaha mengarahkan pandangan sesuai arah jari telunjuk saya. "Opo sih?" (Apa sih?) Wajahnya masih bingung, memang ada apa disana.
"Adik" jawabku singkat. "Loro" (dua) kataku lagi.
"Apaan? Adik?" Kakak tidak mengerti.
Aku menggangguk. "Ono adik, loro. Iku," (ada adik, dua. Itu) tanganku mengarah menunju ke sebuah pohon - yang kata kakak - lumayan jauh posisinya, berada d belakang sebuah rumah dinas yang ada di depan area bermain.
"Endi adike?" (Mana adiknya?) tanya kakakku bingung. Ia merasa tak ada anak kecil selain aku dan kawan-kawannya yang sedang bermain di taman.
"Iku, loro" (Itu, dua) jawabku dengan masih menunjuk di pohon.
Karena takut, Kakak segera membawaku pulang dan menyampaikan hal tersebut kepada Ibu.
"Wes meh maghrib kok ya masih dolanan ning njobo," (Sudah mau maghrib kok ya masih mainan di luar) demikian ibu menegur kakak. "Siska dereng rampung maem-e, Bu. Jangan-jangan adik lihat tuyul?" (Siska belum selesai makannya, Bu)
Entahlah, benar atau tidak, saya pun tak paham karena masih terlalu kecil. Ternyata dua kakak saya lainnya mengiyakan, bahwa beberapa kali mereka ajak jalan-jalan sore di depan area bermain, pandangan mata saya sering melihat ke pohon itu. Tapi tidak pernah bilang sedang melihat apa. Mereka berdua baru tahu setelah kejadian tersebut. Sejak saat itu, Ibu melarang kakak mengajak saya jalan-jalan sore.
***
Kejadian kedua, masih di rumah dinas Pabrik Gula di Kudus, tempat kami tinggal.
Suatu siang, saya tidak bisa tidur meski ibu berusaha menina-bobokan.
Ibu beranjak ke dapur, menutup pintu kamar, meninggalkan saya yang dikiranya sudah tidur. Diam-diam saya bangun, beranjak menuju jendela persis di sebelah tempat tidur. Jendela sengaja terbuka lebar agar angin semilir masuk ke kamar. Dilapis dengan bingkai teralis nyamuk. Pandangan mengarah ke halaman samping rumah.Â
Siapa sangka, pohon dengan buah jambu biji yang biasanya berwarna hijau segar, malah menampilkan tengkorak-tengkorak kecil yang berayun tersapu angin. Menggelayut di pohon, begitu banyak. Ada yang tersenyum, ada yang meringis, ada yang mengatup bibir dengan pandangan datar.
Saya hanya heran saja, kok buah jambunya tidak ada. Hanya terlihat tengkorak kecil berayun-bayun pada batangnya. Tak disangka, ibu kembali ke kamar, menegur saya yang sedang melamun di pinggir jendela.
"Bu, iku, boneka," (Bu, itu, boneka) saya menunjuk ke pohon.
Ibu hanya menoleh sesaat dan mengajakku tidur kembali.
Sore harinya, saya bilang ke Oom saya (adik ibu) yang tinggal di serumah dengan kami.
"Oom, ono boneka iki, ning wit jambu," (Oom, ada bomeka ini di pohon jambu) sembari saya menunjuk gambar tengkorak dan tulang bersilang, sticker yang menempel di salah satu lemari Oom saya.
Oom tersenyum, menggendong saya. "Ning endi?" (Dimana?) dengan nada memastikan.
"Ning wit jambu", celotehku.
Oom mengajakku ke kamar ibu, jendela masih terbuka. Pandangan kami berdua mengarah ke pohon jambu. "Endi?" (Mana?) oom bertanya menyelidik. "Mau awan. Saiki ra ono" (tadi siang, sekarang gak ada) jawabku.
Oom tertawa, dianggapnya saya bercanda.
Namun sejak kejadian itu, oom saya rajin mengelus-ngelus tulang hidung dan kedua alis saya dengan dzikir, dan mengusap mata saya dengan Bacaan Surah Al-Fatihah, dengan maksud menghilangkan 'kemampuan' saya 'melihat' hal-hal aneh. Hal itu berlanjut sampai saya berusia sekitar 7 tahunan setelah pindah ke Pabrik Gula lainnya.
Hal itu oom lakukan, karena beliau sendiri ternyata juga pernah melihat hal yang sama dan bahkan pernah sholat sendirian, tapi di cermin lemari, terlihat ada yang ikut bermakmum dengannya. Ketika selesai salam, tak ada siapa-siapa di belakangnya.Â
Bahkan, pernah suatu malam, ia memperhatikan kantong celana panjang yang digantungnya bergerak-gerak sendiri, yang mana uang kertas bisa bergerak keluar sendiri. Lalu dengan santainya Oom menegur, "Awas kamu ya, berani-beraninya nyuri uangku! Tak masukkan neraka!" Tiba-tiba gerakan uang itu terhenti, menggantung begitu saja.
Oom tidak ingin saya bisa 'melihat' yang aneh-aneh.
Saya pun berdoa dan meminta kepada Allah, agar tidak lagi melihat yang begituan deh. Beneran ga mau lagi!
Percaya atau tidak, justru semakin dewasa bahkan sudah emak-emak begini, saya masih bisa 'merasakan' jika saya memasuki 'wilayah asing'.
Nantikan kisah berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H