Mohon tunggu...
Sisilia Yunita Ingutali
Sisilia Yunita Ingutali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana

NIM : 55522110010 Mata Kuliah : Pajak Internasional Dosen : Prof.Dr, Apollo, M.Si.Ak Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Semiotika de Saussure Untuk Memahami Special Purpose Vehicle

4 Desember 2023   00:58 Diperbarui: 4 Desember 2023   01:36 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semiotika De Saussure

Secara umum, semiotika berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata "semeion" yang berarti "tanda". Istilah semiotika pertama kali digunakan oleh John Locke pada abad ke-17, tetapi semiotika sebagai disiplin ilmu yang mapan dikembangkan lebih lanjut oleh seorang filsuf dan linguis Swiss bernama Ferdinand de Saussure pada akhir abad ke-19.

De Saussure mengembangkan teori semiotika dalam bidang linguistik, dengan menekankan pentingnya hubungan antara tanda (tanda linguistik) dengan makna yang diwakilinya. Namun, seiring perkembangan waktu, semiotika telah melampaui aspek bahasa dan mencakup studi tentang tanda dalam konteks yang lebih luas, termasuk dalam seni, budaya, media, dan berbagai bidang lainnya.

Semiotika Ferdinand de Saussure adalah teori yang mempelajari tanda dan makna dalam konteks bahasa. Saussure mengembangkan konsep dasar dalam studi semiotika yang membahas struktur bahasa dan hubungan antara penanda (signifier) dan penandaan (signified).

Poin-poin kunci dalam semiotika Saussure meliputi:

  • Tanda dan Struktur Bahasa: Saussure memandang bahasa sebagai sistem tanda yang terdiri dari dua komponen utama: penanda (signifier) dan penandaan (signified). Penanda adalah bentuk fisik atau kata yang kita gunakan untuk menyampaikan suatu ide, sementara penandaan adalah konsep atau makna yang terkait dengan tanda tersebut.
  • Hubungan Arbitrer Tanda: Saussure menyatakan bahwa hubungan antara penanda dan penandaan bersifat arbitrari, artinya tidak ada hubungan intrinsik antara kata dan maknanya. Misalnya, kata "kucing" dalam bahasa tidak memiliki hubungan langsung dengan makna atau gambaran tentang kucing; hubungan ini terbentuk melalui kesepakatan sosial dalam masyarakat.
  • Sintaksis dan Struktur Bahasa: Saussure juga menekankan pentingnya struktur dan relasi antara tanda dalam bahasa. Bahasa terdiri dari struktur sintaksis dan hubungan antara tanda yang membentuk makna yang lebih besar.

Pemahaman teori semiotika Saussure dapat diterapkan dalam berbagai konteks, tidak hanya dalam bahasa, tetapi juga dalam studi budaya, sastra, seni, dan bidang lainnya. Dalam konteks konsep seperti "Special Purpose Vehicle" (SPV), teori semiotika dapat membantu memahami bagaimana istilah ini dipahami, direpresentasikan, dan diterapkan dalam konteks hukum, keuangan, dan bisnis.

Diskursus semiotika dari Ferdinand de Saussure memfokuskan pada studi struktur bahasa dan makna, yang dapat diterapkan untuk memahami konsep seperti "Special Purpose Vehicle" (SPV). Saussure membagi tanda menjadi dua komponen penting: signifier (penanda) dan signified (penandaan). Konsep ini dapat diterapkan dalam memahami SPV:

  • Signifier (Penanda):

Dalam konteks SPV, signifier adalah entitas hukum yang dibentuk untuk tujuan tertentu, seperti struktur bisnis atau keuangan yang dimaksudkan untuk memisahkan risiko atau mengelola aset. SPV merupakan entitas yang terpisah secara hukum dari perusahaan induknya.

  • Signified (Penandaan):

Penandaan atau signified adalah makna atau konsep yang terkait dengan SPV. Ini melibatkan pemahaman tentang tujuan dibentuknya SPV, struktur keuangan yang terlibat, pengelolaan risiko atau aset, dan implikasinya terhadap perusahaan yang membentuknya.

  • Hubungan Antara Signifier dan Signified:

Saussure menekankan bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrari, artinya tidak ada hubungan alamiah antara kata atau tanda dengan konsep yang diwakilinya. Dalam konteks SPV, hubungan antara entitas hukum yang dibentuk (signifier) dan tujuan atau makna dari pembentukan SPV (signified) bersifat konseptual dan tergantung pada aturan hukum dan keuangan yang mengatur.

  • Struktur dan Interaksi Bahasa:

Saussure juga menekankan pentingnya struktur bahasa dan interaksi antara elemen-elemennya. Dalam memahami SPV, ini mencakup pemahaman tentang struktur hukum dan keuangan yang membentuk dasar pembentukan, operasi, dan implikasi SPV terhadap perusahaan yang terlibat.

Penerapan prinsip-prinsip semiotika Saussure dalam konteks SPV dapat membantu dalam memahami bagaimana entitas ini diciptakan, diatur, dan mempengaruhi entitas yang membentuknya, serta bagaimana konsep ini diwakili dalam kerangka hukum dan keuangan.

Berikut adalah penjelasan singkat tentang masing-masing prinsip semiotika yang ada :

  • Prinsip Struktural: Relasi Struktural

Prinsip struktural semiotika menyoroti hubungan antara elemen-elemen dalam suatu sistem. Ini berfokus pada bagaimana unsur-unsur yang berbeda dalam suatu struktur atau sistem saling terkait dan berkontribusi terhadap arti atau makna keseluruhan. Dalam konteks semiotika, prinsip struktural mengacu pada cara di mana tanda-tanda berinteraksi dan saling berhubungan untuk membentuk sistem yang memiliki struktur tertentu untuk menyampaikan pesan atau makna.

  • Prinsip Unity: Penanda dan Petanda

Prinsip unity semiotika membedakan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah wujud fisik dari tanda, seperti suara, gambar, atau kata-kata. Sementara petanda adalah konsep, ide, atau makna yang diasosiasikan dengan penanda tersebut. Prinsip ini menekankan hubungan antara aspek fisik tanda (penanda) dan maknanya (petanda).

  • Prinsip Konvensional: Kesepakatan Sosial tentang Bahasa

Prinsip konvensional dalam semiotika menyoroti bahwa tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa adalah hasil dari kesepakatan sosial atau konvensi. Artinya, makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa tidak bersifat alami, melainkan dipahami dan disepakati oleh komunitas yang menggunakan bahasa tersebut.

  • Prinsip Sinkronik: Tanda sebagai Sistem Ajeg pada RW

Prinsip sinkronik dalam semiotika mengacu pada pengamatan tanda-tanda pada suatu waktu tertentu. Ini menyoroti bagaimana tanda-tanda dilihat sebagai bagian dari sistem yang ada dalam suatu konteks waktu tertentu. Dalam semiotika, prinsip ini menekankan pengamatan terhadap tanda-tanda pada satu titik waktu tertentu tanpa mempertimbangkan perkembangan atau perubahan seiring waktu.

  • Prinsip Representasi: Tanda sebagai Representasi Realitas yang Dirujuk

Prinsip representasi dalam semiotika menggambarkan bagaimana tanda-tanda merepresentasikan objek atau realitas tertentu. Tanda-tanda dalam sistem semiotika memiliki kemampuan untuk merepresentasikan objek, gagasan, atau realitas yang ada di dunia nyata dan merujuk kepada hal tersebut.

Prinsip-prinsip semiotika tersebut membentuk dasar pemahaman tentang cara tanda-tanda dihasilkan, berinteraksi, dan menyampaikan makna dalam suatu sistem komunikasi.

Semiotika adalah studi tentang tanda dan makna di dalamnya. Dalam kehidupan sehari-hari, lampu lalu lintas merupakan contoh sederhana semiotika. Warna merah, kuning, dan hijau pada lampu lalu lintas adalah penanda (signifier) yang menggambarkan perintah untuk berhenti, siap-siap, dan lanjut. Makna ini, atau petanda (signified), telah disepakati secara sosial sebagai bagian dari konvensi dalam aturan lalu lintas. Lampu-lampu lalu lintas merepresentasikan perintah dan instruksi tertentu dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bagaimana tanda-tanda membawa makna dan diakui secara umum dalam komunikasi visual.

Diskursus Semiotika Ferdinand de Saussure memiliki kaitan dengan pajak internasional melalui pemahaman tentang tanda, bahasa, dan representasi. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan aspek teknis atau regulasi perpajakan, konsep semiotika de Saussure dapat memberikan wawasan dalam konteks komunikasi, representasi, dan pemahaman terhadap pajak internasional. Berikut adalah beberapa kaitan antara diskursus semiotika de Saussure dengan pajak internasional:

  • Tanda dan Representasi: De Saussure membagi tanda ke dalam dua komponen, yaitu signifier (penanda) dan signified (yang dilambangkan). Dalam konteks perpajakan internasional, hal ini dapat dikaitkan dengan representasi hukum perpajakan, di mana aturan, kebijakan, dan dokumen hukum menjadi "tanda" yang merepresentasikan kewajiban, hak, atau tanggung jawab pajak di antara negara-negara.
  • Bahasa sebagai Sistem Tanda: De Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari hubungan antara penanda dan yang dilambangkan. Dalam hal perpajakan internasional, berbagai bahasa dan terminologi hukum pajak dari negara ke negara dapat dianggap sebagai "sistem tanda" yang mengkomunikasikan konsep, kebijakan, dan aturan perpajakan yang berlaku di tingkat internasional.
  • Kesepakatan Bersama terhadap Tanda: Konsep Saussure tentang konvensi dalam pembentukan makna tanda juga dapat diaplikasikan dalam kerja sama internasional terkait perpajakan. Negara-negara berkumpul dan mencapai kesepakatan bersama (seperti perjanjian perpajakan bilateral atau multilateral) untuk memberikan makna dan tafsiran terhadap berbagai konsep perpajakan, standar pelaporan, atau klasifikasi perpajakan internasional.
  • Interpretasi terhadap Tanda: De Saussure juga mengemukakan bahwa makna tanda dipengaruhi oleh konteks sosial dan penggunaannya. Dalam perpajakan internasional, interpretasi tentang peraturan, kebijakan, atau struktur perpajakan dapat bervariasi antara negara-negara dan bergantung pada konteks politik, ekonomi, dan hukum dari masing-masing negara.

Pemahaman terhadap konsep semiotika de Saussure dapat membantu dalam mengkaji bagaimana bahasa, tanda, dan representasi digunakan dalam konteks perpajakan internasional, serta bagaimana interpretasi dan kesepakatan bersama memainkan peran penting dalam pemahaman dan implementasi aturan perpajakan antarnegara.

PMK Nomor 127/PMK.010/2016

PMK Nomor 127/PMK.010/2016 berkaitan erat dengan Special Purpose Vehicle (SPV) dalam konteks pengampunan pajak. Dalam PMK ini, SPV disebutkan sebagai salah satu cara dimana wajib pajak dapat memiliki harta secara tidak langsung, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

PMK tersebut menegaskan bahwa wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui SPV memiliki kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan harta tersebut dalam rangka memanfaatkan program pengampunan pajak. Pengungkapan harta yang dimiliki melalui SPV merupakan bagian penting dari proses pengampunan pajak, di mana wajib pajak harus melaporkan secara transparan harta yang dimiliki, utang yang terkait dengan harta tersebut, serta nilai harta bersihnya.

Lebih lanjut, PMK juga menjelaskan bagaimana penghitungan uang tebusan harus dilakukan atas harta yang dimiliki melalui SPV. Selain itu, terdapat ketentuan tentang pengalihan hak atas harta yang dimiliki melalui SPV agar memenuhi syarat tertentu untuk mendapatkan pengampunan pajak. Pengalihan hak atas harta yang dimiliki melalui SPV menjadi bagian penting untuk memastikan bahwa wajib pajak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan tersebut.

Dengan demikian, keterkaitan antara PMK tentang pengampunan pajak dengan SPV adalah bahwa PMK tersebut mengatur bagaimana wajib pajak yang memiliki harta melalui SPV harus melaporkan kepemilikan harta tersebut serta menjalankan prosedur yang ditentukan untuk memanfaatkan program pengampunan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa penggunaan SPV haruslah transparan dan mematuhi aturan yang ditetapkan dalam program pengampunan pajak untuk memastikan kepatuhan perpajakan yang lebih baik.

PMK Nomor 127/PMK.010/2016 tentang pengampunan pajak memiliki kaitan dengan teori semiotika dalam konteks interpretasi dan pemahaman terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang terdapat dalam teks hukum tersebut.

Penerapan teori semiotika di sini dapat dijelaskan dengan melihat bagaimana bahasa hukum digunakan untuk mengungkapkan konsep-konsep seperti pengampunan pajak, kewajiban perpajakan, harta, utang, dan SPV. Setiap istilah atau frasa dalam peraturan tersebut memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk mengkomunikasikan informasi kepada pembaca, yaitu wajib pajak dan pihak terkait.

Teori semiotika membantu dalam menganalisis bagaimana istilah-istilah ini dipilih, diatur, dan digunakan dalam teks PMK tersebut. Dalam hal ini, "signifier" atau penanda dalam teori semiotika bisa diidentifikasi sebagai istilah-istilah hukum yang digunakan dalam dokumen perpajakan ini, seperti "pengampunan pajak", "special purpose vehicle", "uang tebusan", dan lainnya. Sementara itu, "signified" atau petanda adalah makna atau konsep yang ingin disampaikan melalui istilah-istilah tersebut.

Penerapan teori semiotika membantu untuk memahami bagaimana struktur kalimat, pengaturan frasa, dan penggunaan kata-kata khusus dalam dokumen hukum ini mempengaruhi pemahaman dan interpretasi atas aturan perpajakan. Dengan pendekatan semiotika, kita dapat melihat bagaimana simbol-simbol dan tanda-tanda dalam teks hukum tersebut digunakan untuk mengkomunikasikan pesan hukum yang spesifik kepada para pembaca dan pelaku bisnis yang terpengaruh.

Kesimpulan :

Dalam konteks pemahaman tentang Special Purpose Vehicle (SPV) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengampunan pajak, teori semiotika Ferdinand de Saussure memberikan wawasan yang relevan. Menurut de Saussure, tanda terdiri dari penanda (signifier) yang merupakan wujud fisik dari tanda dan yang dilambangkan (signified) yang merupakan konsep atau makna dari tanda tersebut. Dalam hal ini, SPV bisa dianggap sebagai tanda yang melambangkan entitas yang diciptakan untuk tujuan khusus, seperti pengelolaan aset atau investasi. PMK tentang pengampunan pajak mewajibkan wajib pajak untuk mengungkapkan kepemilikan harta, termasuk yang dimiliki melalui SPV, sehingga mencerminkan pentingnya transparansi dalam kepemilikan aset dalam konteks perpajakan. De Saussure juga menekankan pentingnya relasi antara tanda-tanda dalam membentuk arti.

Hubungan antara SPV sebagai entitas yang digunakan untuk tujuan tertentu dan kewajiban wajib pajak untuk mengungkapkan kepemilikian aset melalui SPV merupakan relasi yang penting dalam pemahaman aturan perpajakan. Dalam teori semiotika de Saussure, tanda juga memiliki sifat arbitrer di mana hubungan antara penanda dan yang dilambangkan merupakan konvensi yang diciptakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, aturan pajak terkait SPV dalam PMK adalah hasil dari konvensi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan pajak dan transparansi kepemilikan harta. Dengan demikian, pemahaman tentang tanda, arti, dan relasi antara keduanya dalam semiotika de Saussure dapat membantu dalam menganalisis pentingnya pengungkapan kepemilikan aset yang dimiliki melalui SPV dalam konteks perpajakan, seperti yang diatur dalam PMK pengampunan pajak

Referensi :

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/PMK.010/2016 Tentang pengampunan Pajak Berdasarkan Undang-Undang nomor 11Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajakbagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun