Mohon tunggu...
Sisilia Yunita Ingutali
Sisilia Yunita Ingutali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana

NIM : 55522110010 Mata Kuliah : Pajak Internasional Dosen : Prof.Dr, Apollo, M.Si.Ak Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 1 - Fenomena Pajak Berganda Internasional dan Rendahnya Tax Ratio Indonesia

15 Oktober 2023   22:18 Diperbarui: 15 Oktober 2023   22:46 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : databooks.com

Pengertian Pajak Berganda Internasional

Pajak ganda merupakan sebuah permasalahan yang sangat penting dalam hukum pajak internasional yang sering dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Mengingat bahwa pajak berganda dapat menyebabkan ketidakadilan, pemberatan beban pajak kepada wajib pajak yang tidak seharusnya, menyebabkan berkurangnya daya saing atau bahkan keengganan investasi dan lain sebagainya.

Pajak ganda (internasional) diartikan sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara (atau lebih) terhadap subjek pajak dan atas objek pajak yang sama, serta dalam periode yang identik. Dapat pula diartikan sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara (atau lebih) terhadap subjek pajak yang berlainan atas objek pajak yang sama. Jenis pajak ganda menurut pengertian yang pertama merupakan pajak ganda internasional yuridis (juridical international double taxation), sementara jenis pajak ganda menurut pengertian yang kedua merupakan pajak ganda internasional ekonomis (economic international double taxation).

Berikut merupakan beberapa pendapat mengenai pajak berganda internasional :

1) Fiscal Commie OECD

Sebuah komite fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development mendefinisikan pajak ganda internasional "The phenomenon of international double taxation, which can be generally defined as the imposition of comparable taxes in two (or more) States on the same taxpayer in respect of the same subject matter and for identical periods."

2) Ottmar Buhler

Ottmar Buhler memberikan pengertian pajak berganda internasional secara luar dan sempit. Pajak ganda dalam arti luas terjadi manakala suatu tatbestand yang sama, pada saat yang sama, oleh beberapa negara dikenakan pajak yang sama, atau yang sifatnya sama. Sementara itu, yang dimaksud sebagai pajak ganda dalam arti sempit adalah apabila pajak yang bersangkutan dikenakan pada subjek yang sama.

Secara teoritis dan normative Pajak Berganda meliputi beberapa unsur  yaitu :

  • Pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa kriteria identitas
  • Identitas subyek pajak (wajib pajak yang sama)
  • Identitas obyek pajak (obyek yang sama
  • Identitas masa pajak
  • Identitas (atau kesamaan) pajak

Berdasarkan unsur-unsur tersebut , maka pajak berganda internasional dapat terjadi apabila beberapa mengenakan pajak yang sama terhadapat satu wajib pajak atas objek pajak yang sama serta untuk masa pajak yang sama pula.

Penyebab terjadinya Pakal Berganda Internasional

1) Menurut Velkenbond

Pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua atau lebih negara saling menindih sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar dibandingkan jika mereka dikenakan pajak disatu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.

2)Menurut Prof. Rochmat Soemitro pajak berganda internasional dapat terjadi karena disebabkan oleh :

  • Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara dikarenakan domisili rangkap, kewarganegaraan rangkap, bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
  • Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama dibeberapa negara, serta subjek pajak yang sama dikenakan pajak dinegara tempat tinggal berdasarkan asas world wide income, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.

Bentuk Pajak Berganda Internasional 

1)  Pajak Penjualan

Pajak berganda dapat terjadi apabila Negara pengekspor menganut prinsip Negara asal (original principle), sedangkan Negara pengimpor menganut prinsip Negara tujuan (destination principle). Tapi umumnya negara-negara menganut prinsip Negara tujuan. Eliminasi Pajak berganda internasional dalam prinsip Negara tujuan dilakukan dengan penerapan tarif pajak 0% pada Negara ekspor dan mengenakan pajak dengan tarif normal di negara impor.

2)  Pajak Penghasilan

  • Tidak terbatas atau penuh(worldwide, global, universal, unlimited taxliability); merupakan hasil dari pemajakan berdasarkan pertalian subjektif(subjective allegiance) yang dapat berupa nasionalitas atau tempat pendirian (untuk badan) dan residensi (tempat tinggal, tempat keberadaanatau temppat kedudukan)
  • Terbatas (territorial, limited tax liability); merupakan hasil dari pemajakan berdasarkan pertalian objektif (objective allegiance) yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber penghasilan

Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional 

Menurut Gunadi ada beberapa metode penghindaran pajak berganda yang banyak di pakai negara-negara di dunia :

  • Pembebasan : Metode ini berusaha mengeliminasi atau menghapus secara total pajak berganda internasional. Metode ini menghendaki suatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di Negara lain(Negara sumber)
  • Kredit Pajak : Metode ini memberikan keringanan atau bahkan mengeliminasi pajak berganda internasional dengan cara mengkreditkan atau mengurangkan pajak luar negeri atas pajak penghasilan yang merupakan porsi penghasilan luar negeri

Pengenaan pajak berganda terhadap transaksi internasional dapat terjadi dalam kondisi sebagai berikut :

  • Negara A mengenakan pajak pada penduduknya atas penghasilan yang berasal dari Negara B, sementara atas penghasilan yang sama Negara B mengenakan pajak karena bersumber di negara tersebut.
  • Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya
  • Negara A dan Negara B mengenakan pajak atas suatu penghasilan, karena masing-masing negara mengklaim bahwa penghasilan tersebut bersumber di negaranya

Untuk mencegah terjadinya penghindaran dalam pajak internasional maka pemerintah pun menerapkan tax treaty atau P3B. P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri. P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap.

Adapun tujuan utama pemerintah Indonesia menerapkan tax treaty yaitu :

1)  Menciptakan kedudukan yang setara dalam hal pembayaran pajak

Setiap negara memiliki ketentuan masing-masing mengenai besaran pajak yang dibebankan atau dikenakan terhadap wajib pajaknya. Jika tidak ada P3B, maka pendapat pajak yang diterima oleh masing-masing negara tidak sama dan tentunya akan ada pihak yang dirugikan dalam hal ini. Maka dari itu tax treaty dibuat agar terjadi terjadi kesetaraan pemajakan antara dua negara dengan tetap memegang prinsip saling menguntungkan. Kebijakan ini juga tidak membebani pengusaha karena pengusaha hanya perlu membayar pajak sekali untuk kepentingan dua negara.

2)  Mencegah Pemajakan yang Berganda

Untuk seorang atau badan pelaku usaha yang menjalankan bisnis di negara A namun tinggal di negara B, maka tidak perlu membayar pajak dikedua negara tersebut. Contohnya seperti tax treaty Indonesia berisi mengenai perjanjian kewajiban membayar pajak sekali yaitu di negara domisili. Dengan begitu pajak berganda bisa dicegah dan pelaku usaha bisa mendapatkan laba usaha lebih besar dan tidak menanggung pajak yang besar karena dikenakan pajak pada dua negara. Dengan adanya P3B diharapkan dunia usaha semakin berkembang dan pelaku usaha mendapatkan kepastian hukum mengenai kewajiban perpajakannya. Selain itu hal ini juga menarik banyak investor karena mereka hanya perlu membayar pajak dinegara tempat tinggal mereka.

3)  Mendatangkan modal dari luar negeri

Semakin banyak pengusaha asing yang mau menanamkan modal di dalam negeri maka akan semakin meningkat pula perekonomiannya. Dikarenakan salah satu hal yang menjadi kekhawatiran pengusaha asing adalah tingginya beban pajak yang harus mereka bayarkan. Terlebih lagi mereka juga harus membayar pajak dinegara asal mereka. Maka dari itu dengan adanya tax treaty diharapakan hal itu dapat teratasi dengan baik. Berdasarkan perjanjian tersebut maka pengusaha asing hanya perlu melakukan pembayaran pajak sekali saja. Adapun beban pajak yang harus dibayarkan bergantung pada kesepakatan antara dua negara tersebut.

4)  Meningkatkan kualitas sumber daya manusia

Selain pengusaha yang menjalankan bisnis diluar negeri, banyak juga mahasiswa menempuh Pendidikan dinegara lain. Selain itu tak sedikit pula karyawan yang mengadu Nasib dinegeri orang. Jika harus dibebankan dengan pajak yang sebegitu besarnya, maka mungkin kegiatan mereka akan terganggu. Maka dari itu pemerintah sepakat melalu tax treaty untuk pembebasan pajak atau hanya melaksanakan kewajiban perpajakan disatu negara saja. Dengan begitu mahasiswa, para pekerja maupun para pelaku usaha tetap fokus dengan tujuan utama mereka. Langkah ini tentu sangat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa turut ambil dalam memajukan perekonomian dalam negeri.

5)  Mencegah pengelakan pajak

Salah satu cara untuk mencegah pengelakan pajak oleh warga negara asing adalah dengan melakukan pertukaran informasi. Dua negara yang terikat tax treaty bisa melakukan pertukaran informasi mengenai penghasilan yang didapat dari negara sumber. Hasil dari data tersebut kemudian akan dilakukan perhitungan Kembali dan dilaporkan pajaknya pada akhir tahun. Peran aktif dari kedua negara sangat diperlukan agar dapat mengetahui atau mendeteksi pengusaha yang berusaha mengelak dari kewajiban perpajakannya.

Ada 2 model tax treaty yang digunakan sebagai perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu :

1)  Model UN

Arus modal yang tinggi dari negara yang sudah maju ke negara berkembang menjadi hal yang melatarbelakangi model tax treaty ini. Model UN ini disahkan secara langsung oleh Sekjen PBB dan sudah banyak digunakan oleh negara saat ini. Tax treaty dengan model UN memiliki cakupan yang lebih luas seperti sebagai saran untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial dinegara berkembang. Model tax treaty ini juga bertujuan untuk meningkatkan investasi dinegara berkembang agar lebih maju. Inti dari model UN ini agar pajak lebih banyak dikenakan pada negara berpenghasilan. Tujuannya agar negara domisili lebih banyak mendapatkan investasi dikarenkan adanya kebijakan pembebasan pajak berganda.

2)  Model OECD

Tujuan dibentuknya model OECD adalah untuk memecahkan masalah perekonomian beberapa negara anggota terutama yang berhubungan dengan pajak berganda. Negara anggota OECD sendiri terdiri dari 26 negara. Perjanjian ini disusun oleh dan dibentuk oleh semua komite dari negara anggota tersebut. Dalam perjanjian dikatakan bahwa tujuan utama tax treaty model OECD adalah untuk meningkatkan arus perdagangan antara negara yang menerapkan P3B yaitu dengan menghapus perpajakan berganda. Model OECD justru berbanding terbalik dengan model UN yang menginginkan pemajakan dikenakan pada negara berpenghasilan. Hak pemajakan model ini lebih dibebankan pada negara domisili dengan begitu negara tersebut akan mendapatkan tambahan penghasilan dari pembayaran pajak.

Kedua model tersebut diciptakan untuk digunakan oleh negara yang akan menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda. Namun ada juga beberapa negara yang menciptakan model P3B sendiri seperti Indonesia yang sengaja dibuat untuk menyesuaikan kondisi perdagangan dalam negeri

Salah satu fenomena Pajak Berganda Internasional yang terjadi di Indonesia adalah Pemajakan freight cargo (Inggit Puspita Wardani & Chairil Anwar Pohan, 2021). Pemajakan freight cargo dalam angkutan laut internasional berbasiskan klausul shipping pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagian besar masih memberikan hak pemajakan atau yurisdiksi pemajakan di negara domisili dalam arti hak pemajakan atas pajak freight cargo tersebut lebih didominir oleh negara domisili.

Hal ini menyebabkan penerimaan pajak freight cargo di Indonesia lebih rendah. Faktor kendala yang dihadapi dalam yurisdiksi pemajakan atas freight cargo adalah Indonesia sebagai negara sumber tidak dapat memajaki freight ekspor atas negara domisili yang mana hak pemajakan atas freight memiliki potensi untuk penerimaan negara.

Dari penjelasan diatas, adapun tujuan-tujuan yang dimiliki P3B seperti mencegah pengelakan pajak, memberikan kepastian hukum, sebagai alat pertukaran informasi, penyelesaian sengketa dalam P3B, non diskriminasi, dan sebagai bantuan dalam penagihan pajak. Dikarenakan jika terjadi pengelakan/penghindaran pajak maka hal tersebut juga akan mengakibatnya menurunnya tax ratio di Indonesia.

Rendahnya Tax Ratio Indonesia

Mengapa tax ratio Indonesia rendah adalah pertanyaan yang sering di lontarkan terhadap kinerja pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak. Definisi tax ration secara umum merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam suatu periode waktu tertentu. Atau bisa dikatakan bahwa tax ratio menggambarkan seberapa besar penerimaan pajak yang dikumpulkan dalam suatu negara.

Sebenarnya tax ratio sendiri bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, tax ratio menunjukan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak dinegaranya. Semakin tinggi penerimaan pajak dinegara tersebut maka akan semakin tinggi pula tax rationya. Penerimaan pajak yang besar dapat memungkinkan suatu negara melaksanakan manajemen pemerintahannya dengan leluasa. Maka dari itu Direktoran Jenderal Pajak menghimbau agar semua pihak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan menghitung tax ratio menggunakan pendekatan yang dianut oleh Organization for Economic Cooperataion and Development (OECD). Kedua, tax ratio bisa dilihat sebagai ukuran beban pajak. Selain dilihat sebagai keseluruhan nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun, GDP dapat pula dilihat sebagai total penghasilan semua orang dalam perekonomian suatu negara.

Kewajiban perpajakan yang ada di Indonesia disoroti oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam publikasinya yang berjudul "Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies", Indonesia merupakan salah satu negara dengan tax ration terendah. Data rinci  tax ratio tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Sumber : OECD
Sumber : OECD

Berdasarkan grafik diatas, OECD mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia merupakan tiga terendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Publikasi OECD tersebut menggunakan data tahun 2020 pada saat tax ratio Indonesia 10,1%. Angka tersebut di bawah rata-rata dari negara anggota OECD (33,5%) dengan selisih sebesar 23,4 persentase poin, dan juga dibawah rata-rata kawasan LAC (Latin America and the Caribbean), Asia Pacific dan Afrika yang masing-masing sebesar 21,9%, 19,1% dan 16,6%. Maka dari itu Indonesia perlu berusaha untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajaknya.

Berdasarkan buku Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak tahun 2020-2024, terdapat beberapa faktor yang masih membebani rasio pajak Indonesia yaitu :

  • Masih ada ketergantungan terhadap komoditas sumber daya alam sehingga membuat ekonomi Indonesia sensitive terhadap fluktuasi harga komoditas dipasar internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara yang mengandalkan komoditas sumber daya alam untuk ekspor dan penggerak aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, penurunan permintaan pasar internasional atas komoditas dalam negeri atau penurunan harga komoditas di pasar internasional dapat berdampak negatif terhadap penerimaan pajak negara.
  • Indonesia adalah negara kedua didunia setelah Vietnam dengan kontribusi sektor pertanian tertinggi terhadap PDB. Dimana Sebagian besar pelaku usaha pada sektor ini belum membayar pajak secara aktif karena salah satu alasannya yaitu memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Meskipun jika memiliki penghasilan yang melebihi PTKP, sektor pertanian ini cenderung hard to tax. Oleh karena itu meskipun kontribusi sektor ini adalah 12,8%, kontribusi pajaknya hanya 1,9% dari total penerimaan pajak sehingga berdampak minimal terhadap perhitungan tax ratio.
  • Selanjutnya UMKM yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja di Indonesia dan menyumbang 60% terhadap PDB disektor perdagangan juga sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Apalagi saat ini pemerintah masih memberikan fasilitas perpajakan, terutama pemberlakuan tarif pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final dengan tarif 0,5% dari peredaran bruto. Berikut adalah gambar diagram jumlah UMKM pada negara-negara di ASEAN :
    Sumber : databooks.com
    Sumber : databooks.com
    Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pada tahun 2021 Indonesia menjadi negara dengan jumlah usaha UMKM terbanyak.

Sementara dari sisi pajak, kebijakan pajak yang ditujukan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan melindungi Masyarakat atau pelaku usaha yang berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara untuk jangka Panjang.

Hanya saja, hal ini memiliki efek trade-off terhadap penerimaan pajak dan tax ratio untuk jangka pendek, dalam hal ini seperti penyesuaian besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penyesuaian Batasan terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta tarif pajak khusus bagi UMKM.

Sementara dari sisi administratif, permasalahan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan masalah rendahnya tax ratio juga disebabkan oleh kapasitas administrasi yang belum optimal.

Indonesia sendiri untuk penghitungan tax ratio menggunakan metode pertama dimana penerimaan pajak pusat dibagi PDB dikarenakan selama ini APBN menggunakan metode seperti itu, namun ketika tax ratio indonesia dibandingkan dengan negara lain menggunakan pendekatan data yang dianut oleh OECD sesuai himbauan Direktorat Jenderal Pajak, maka tax ratio Indonesia tetap lebih rendah.

Salah satu penyebab rendahnya tax ratio adalah rendahnya penerimaan pajak oleh karena itu yang dapat dilakukan untuk menaikkan tax ratio Indonesia adalah dengan cara melakukan optimalisasi penerimaan pajak terutama dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak serta meminimalisir kebocoran penerimaan pajak. Optimalisasi penerimaan pajak dapat dilakukan dengan :

  • Perluasan populasi wajib pajak orang pribadi, penyederhanaan administrasi PPh OP serta penguatan, pembenahan dan penambahan sumber daya manusia di otoritas perpajakan
  • Kebijakan pengurangan kelompok barang atau jasa yang bebas PPN yang tidak memberi manfaat besar bagi perekonomian namun mengorbankan potensi penerimaan;
  • Peningkatan efisiensi mekanisme restitusi dan audit PPN yang belum optimal untuk meningkatkan penerimaan PPN sehingga mendekati potensi yang ada
  • Melibatkan partisipasi publik dalam hal pengawasan serta penerapan sistem "Reward and Punishment" bagi wajib pajak dan petugas pajak;
  • Harus ada kebijakan yang sinkron antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal untuk mencapai keseimbangan ekonomi sehingga potensi penerimaan pajak tidak hilang akibat kebijakan yang kontra-produktif terhadap upaya peningkatan penerimaan pajak;
  • Evaluasi atas pengenaan pajak ekspor dan tax holiday untuk pioneer industry, Menurut Angel Gurria Sekretaris Jenderal OECD struktur pajak di Indonesia itu bagaikan keju yang banyak lubangnya dan saat ini banyak perusahaan yang ingin berada di dalam lubang itu. Padahal mereka itu sebenarnya tetap saja datang ke Indonesia meskipun tidak disediakan insentif pajak apapun karena pertumbuhan ekonomi yang relatif kuat dan stabil serta besarnya potensi pasar.

Tax ratio pada hakikatnya selain menjadi ukuran penerimaan pajak juga menunjukkan beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Semakin tinggi tax ratio, semakin besar pula penerimaan pajak dan dengan demikian, semakin leluasa pemerintah membiayai penerimaannya. Tax ratio Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, negara anggota G-20, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika. Beberapa cara untuk meningkatkan tax ratio adalah dengan melakukan optimalisasi penerimaan pajak terutama dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak serta meminimalisir kebocoran penerimaan pajak sehingga Indonesia bisa sejajar dengan negara anggota G-20 dalam hal Tax Ratio.

Pada tanggal 16 Agustus 2023 lalu, presiden telah membacakan nota keuangan RAPBN untuk tahun 2024. Dalam nota keuangan tersebut dapat diperoleh beberapa informasi yang berkaitan dengan perekonomian Indonesia kedepannya. Salah satunya adalah pemerintah telah menetapkan target tax ratio 2024 sebesar 10,1% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Target ini sedikit lebih meningkat dibandingkan dengan tahun 2023 yaitu sebesar 10%, dan kurang lebih hampir sama dengan target tahun 2022.

Untuk mewujudkan target tax ration ini, pemerintah akan melakukan beberapa kebijakan teknis sesuai dengan peraturan-peraturan yang sudah ada. Kebijakan tersebut diantaranya adalah perluasan basis pemajakan melalui integrasi NIK dan NPWP, penguatan kegiatan ekstensifikasi pajak, optimalisasi implementasi coretax sistem, optimalisasi kegiatan hukum perpajakan berkeadilan, hingga pemberian insentif fiscal terarah dan terukur.

Dalam mewujudkan target tersebut, diharapkan adanya sinergi serta kerja sama yang baik antara pemerintah dalam hal ini fiskus serta wajib pajak dalam melaksanakan segala rangkaian kewajiban perpajakannya. Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini oleh negara Indonesia adalah dikarenkan masih rendahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi sistem administrasi perpajakan, pelayanan terhadap wajib pajak, pemeriksaan pajak, tarif pajak, penegakan hukum dalam pajak serta pengetahuan pajak.  

Maka dari itu diharapkan kepada pemerintah untuk terus memberikan pelayanan alternatif yang terbaik kepada wajib pajak serta memberikan kemudahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya seperti sosialisasi pajak, pelatihan mengenai sistem perpajakan, dan peringatan yang tegas kepada wajib pajak yang kurang paham atau bahkan tidak mau membayar pajak. Selain itu diharapkan kepada wajib pajak agar terus berkonsultasi dengan Account Representative (AR) atau kantor pajak tentang tata cara pelaksanaan, saran atau masukan, serta langkah yang perlu diambil dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Referensi : 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun