"Hentikan membentur-benturkan kepala Ranko ke lantai!" Seruku panik pada jin ular dalam diri Ranko. Seruanku hanya dibalas desisan.
Walaupun Tuan Kamizawa dan Pak Rangga masing-masing memegang kaki dan tangan Ranko yang terikat tali rafia, mereka gagal membuat Ranko tak bergerak. Ranko terus meliuk-liuk. Bahkan, ia berguling-guling begitu cepat hingga tali rafia yang mengikat tangan dan kakinya terputus. Mulut Ranko berbusa campur darah segar.
Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.
Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.
Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.
Abadilah dalam keheningan.
   Aku mengeluh. Mengapa mantera pengusir hantunya tak bekerja? Jin ular tak terperangkap dalam Jurnal Hantu seperti biasanya. Ini persis saat berburu Kunti Merah yang kekuatan mistisnya sangat kuat.
      Kini Ranko berdiri di hadapanku. Ia menyeringai. "Ray, kau tak mengerti. Aku dan Ranko adalah satu kesatuan. Aku adalah Ranko. Dan Ranko adalah aku."
Kalimat si jin ular membuatku termenung. Mungkin jin ular ini sulit diperangkap dalam Jurnal Hantu karena ia merasuki Ranko. Aku harus membuat jin ular ini keluar dari tubuhnya Ranko terlebih dahulu. Jin berasal dari api. Ular takut api. Seharusnya, aku membawa obor api suci milik Kakek yang sangat ditakuti hantu. Akankah jin ular takut pada api biasa? Tak ada salahnya mencoba. Tangan kananku menggenggam sigaret yang baru saja kukeluarkan dari saku celana panjangku.
    "Anak muda, kau ingin menghalauku hanya dengan api sekecil itu?" Seru Ranko. Ia terkekeh meremehkan.
  Aku menyalakan api sigaret sembari merapal mantera pengusir hantu. Sia-sia. Ranko malah menendang tanganku hingga sigaretku melambung dan jatuh ke atas lantai. Pak Rangga yang sigap segera mengamankannya. Ia kuatir terjadi kebakaran.
    "Tak akan berhasil. Ray, menyerahlah," ucap Ranko dengan suara parau.
  Seperti zombie, Ranko menghampiriku dengan tangan terentang ke depan. Ia mencekikku sekuat tenaga hingga aku kehabisan napas.
Tuan Kamizawa memukul kuduk Ranko dari belakang. Ranko pun terkapar. Pingsan.
Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.
Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.
Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.
Abadilah dalam keheningan.
Aku kembali membaca mantera pengusir hantu. Tapi Jurnal Hantu tak juga berhasil memerangkap jin ular tersebut. Apa yang salah?
***
    Syukurlah Ranko tampaknya sudah terlepas dari jin ular. Ia tampak normal di mataku. Ketika kuceritakan kejadian ganjil ini ke Tama, hantu kucingku yang setia, ia tampak begitu menyesal karena tak mendampingiku dan Ranko. Saat itu Tama sedang main ke danau bersama Ismi, temannya yang juga hantu kucing. Mereka berburu ikan mas.
    Tama merasa kuatir masalah ini belum selesai. Tapi baik Tama maupun aku tak melihat tanda-tanda Ranko kerasukan.
     "Sebagai indigo, Ranko jauh lebih peka dari kau. Ia bisa berkomunikasi dengan roh halus. Ia pun jauh lebih mudah dirasuki," kata Tama dengan gaya seorang profesor tua yang sedang mengajarkan mata kuliah ke mahasiswanya yang lamban.
     Aku menganggukkan kepala dengan takzim. Tama memang layak angkuh. Ia serba tahu dibandingkan diriku yang merupakan pemburu hantu amatir.
    "Kita tetap harus memperhatikan gerak-gerik Ranko hingga kita berhasil memerangkap jin ular tersebut," ujar Tama dengan serius.
       Aku pun kembali menganggukkan kepala. Tama langsung menjitakku.
    "Mengapa kau memukulku?" Tanyaku sembari meringis.
    "Aku tak akan tertipu dengan aktingmu. Sudut kiri bibirmu terangkat sedikit. Itu berarti kau menahan senyum," tuduh Tama dengan gusar.
   Aku nyengir. Memang mata hantu kucing sangat awas. Walaupun Tama angkuh dan galak, aku sangat menyayangi hantu kucing berbulu hitam ini.
***
"Ray, lihatlah! Paket hadiahku sudah datang," kata Ranko.
"Hadiah apa?" Tanyaku tak terlampau peduli. Aku lebih fokus menyantap schotel keju yang disajikan Pak Rangga, asisten ayah Ranko yang sangat ahli memasak kudapan.
"Masa kau lupa? Ray pikun. Ini hadiah saat aku menari di panggung bersama Badut Mr Bo."
Aku mengerutkan kening. "Ranko, mengapa ia bisa tahu alamatmu? Kau memberitahu alamatmu pada mereka setelah kau siuman?"
Ranko menggelengkan kepala. "Mungkin mereka mengetahui alamatku dari biodata yang tersimpan saat aku membeli tiket pertunjukan sirkus secara online."
Aku menggumam setuju.
Ranko mengeluarkan kalung emas liontin dari kotak beludru berukuran kecil. Ia tersenyum puas melihat liontin cantik dari mutiara hitam. Mutiara laut itu sangat berkilau. Ia pun memamerkan hadiahnya dengan bangga padaku. Ia menggoyang-goyangkan liontin mutiara hitam di depan mataku hingga aku tersentak. Aku merasa ada kedipan mata di pada liontin tersebut. Aku mengucek kedua mataku. Lalu, memperhatikan liontin itu lebih seksama.
"Jangan kau goyangkan liontinnya! Aku ingin memeriksanya," pintaku. Aku menyentuh permukaan mutiara laut hitam yang tampak halus dengan jari telunjukku. Jariku seperti tersedot pusaran. Aku merasa diriku terguncang-guncang.
BYAAAR!
Ada ledakan bintang dalam benakku. Pandangan mataku kabur karena diriku dikelilingi gumpalan asap. Napasku tercekik seolah-olah ada ular piton raksasa yang membelit dada dan leherku. Perlahan asap hitam menghilang. Ranko tampak samar-samar. Ia seperti diselubungi lapisan kehitam-hitaman, tapi aku masih bisa melihat dirinya. Ia sedang berdiri dengan siapa? Hah, itu kan diriku! Terdengar percakapan mereka samar-samar.
"Bagus, bukan? Mutiara laut seperti ini harganya mencapai Rp 1.000.000,00," ucap Ranko antusias.
"Waw, belum lagi jika kau perhitungkan harga kalung emasnya."
Ranko menjerit kecewa. "Ray, coba kau lihat. Ada cacat pada liontin mutiaranya."
"Tadi kan sudah kuperiksa. Tak ada cacat."
"Tolong kau periksa sekali lagi," sahut Ranko bersikeras. Ia menunjukkan mutiara laut tersebut dari segala arah. Aku merasa diriku ikut tergelinding.
Sosok yang menguasai tubuhku melihat mutiara tersebut sekilas dengan tak peduli. "Sempurna. Mutiara laut memang permukaannya tak akan sesempurna mutiara sintetis."
Ranko merengut. Ia menggosok mutiaranya dengan penuh kasih sayang. "Tolong pakaikan kalung ini."
Aku terkesiap ketika melihat tangan sosok itu hendak mencengkeram leher Ranko, tapi urung karena Ranko mendesis. "Nah, sudah," seru sosok itu. Ia mengaitkan kalung emas berleontin tersebut dengan tangan agak gemetar. Anehnya, apa yang sosok itu rasakan, aku juga bisa merasakannya. Aku merasakan debaran jantungnya ketika melihat leher jenjang Ranko.
"Ran, Ranko, kau bisa melihatku?" Tanyaku panik. Aku melambaikan tangan dengan heboh. Ranko kan indigo. Tentu ia bisa melihat roh halusku terjebak di dalam mutiara laut. Ternyata harapanku sia-sia. Ranko malah asyik berbincang dengan diriku yang ternyata bukan diriku. Ah, mata Ranko berbinar aneh. Apa ia juga masih di bawah pengaruh jin ular? Membingungkan! Bagaimana caranya aku kembali ke tubuhku? Tama, tolonglah aku!
***
Dua pasang mata memandang Tuan Kamizawa dari kegelapan. Mata tersebut berbinar seperti mata hewan. Untuk sejenak Tuan Kamizawa terperanjat.
"Ranko, Ray, apa yang sedang kalian lakukan di dapur gelap-gelapan seperti ini. Mengapa kalian tak menyalakan lampu padahal sudah jam 8 malam?" Tanya Tuan Kamizawa sembari menyalakan saklar lampu dapur. "Ke mana Pak Rangga?"
Ranko dan Ray bergeming. Mereka menyeringai dan memamerkan gigi taring mereka yang berlumuran darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H