Tama merasa kuatir masalah ini belum selesai. Tapi baik Tama maupun aku tak melihat tanda-tanda Ranko kerasukan.
     "Sebagai indigo, Ranko jauh lebih peka dari kau. Ia bisa berkomunikasi dengan roh halus. Ia pun jauh lebih mudah dirasuki," kata Tama dengan gaya seorang profesor tua yang sedang mengajarkan mata kuliah ke mahasiswanya yang lamban.
     Aku menganggukkan kepala dengan takzim. Tama memang layak angkuh. Ia serba tahu dibandingkan diriku yang merupakan pemburu hantu amatir.
    "Kita tetap harus memperhatikan gerak-gerik Ranko hingga kita berhasil memerangkap jin ular tersebut," ujar Tama dengan serius.
       Aku pun kembali menganggukkan kepala. Tama langsung menjitakku.
    "Mengapa kau memukulku?" Tanyaku sembari meringis.
    "Aku tak akan tertipu dengan aktingmu. Sudut kiri bibirmu terangkat sedikit. Itu berarti kau menahan senyum," tuduh Tama dengan gusar.
   Aku nyengir. Memang mata hantu kucing sangat awas. Walaupun Tama angkuh dan galak, aku sangat menyayangi hantu kucing berbulu hitam ini.
***
"Ray, lihatlah! Paket hadiahku sudah datang," kata Ranko.
"Hadiah apa?" Tanyaku tak terlampau peduli. Aku lebih fokus menyantap schotel keju yang disajikan Pak Rangga, asisten ayah Ranko yang sangat ahli memasak kudapan.