Halusinasi. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanya halusinasi. Aku meredakan debaran jantungku. Sudah cukup banyak pengalaman bersama hantu, tapi aku masih saja merasa cemas.
Air dari mata air yang dialirkan ke pancuran bambu terasa dingin sekali, tapi segar. Bunyi cidukan gayung di pojok ruangan masih terdengar, tapi agak teredam oleh bunyi percikan air dari pancuran. Aku memejamkan mata ketika berdiri di bawah pancuran. Alangkah terkejutnya aku ketika membuka mata, rambut yang panjang menyelubungi wajahku. Rambut itu bergerak cepat seperti gelombang tsunami dan menyelubungi diriku. Napasku serasa tercekik berada dalam kepompong hitam. Perlahan kesadaranku menurun.
“Laksmi, Laksmi. Jangan kau lakukan itu! Apa yang kau perbuat hingga ia tak sadarkan diri,” sahut seorang perempuan sayup-sayup.
“Aku tak melakukan apa-apa,” ujar suara perempuan yang lain. “Ia saja yang lemah.”
Suara-suara itu tak terdengar lagi. Aku meraba leherku yang masih sakit. Di manakah aku berada? Jejeran pohon jati berdiri rapi seperti barisan tentara hitam.
Aku memfokuskan pandangan. Ada pendaran cahaya putih yang seindah kristal di ujung jalan setapak itu. Apakah itu? Aku tak kuasa mencegah rasa penasaranku.
Selangkah demi selangkah aku menghampiri obyek yang membuatku terpukau. Gadis yang berselubung cahaya putih itu sedang duduk di atas sebatang pohon jati yang tumbang. Ia hanya memakai kemben hijau lumut dan kain lurik. Wajahnya menunduk, tapi aku bisa menatap keelokan parasnya yang tak asing. Ia sungguh tak nyata dan aku mengetahuinya. Tapi, aku tak sanggup mengelak dari pesonanya.
Gadis itu menengadah dan membuka mulutnya. Rongga mulutnya semakin lama semakin membesar. Ia menelanku!