“Tidak mau. Takut ah. Aku mau menggunakan kamar mandi Nenek saja,” seru Ranko yang langsung melarikan diri dan masuk ke dalam rumah begitu saja. Dasar gadis tak setia kawan.
Nenek Dian menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak biasanya Ranko seceria ini. Mungkin karena ada Ray?
“Nak, kau takut tidak mandi di kamar mandi itu?” Tanya Nenek Dian.
“Ti…tidak, Nek. Masa aku tidak berani,” sahutku dengan tawa yang kurang meyakinkan. Pandangan mata Nenek yang tajam seperti menusuk punggungku.
Aku membesarkan hati ketika masuk ke dalam ruangan kamar mandi belakang yang remang-remang. Harus kuakui kamar mandinya cantik dan antik dengan pancuran bambu. Langit-langit dan sebagian dinding kamar mandinya penuh ukiran kayu jati bermotif hewan-hewan liar di hutan. Aku terpesona pada ukiran salamander di atas kelopak bunga matahari raksasa. Ada ukiran monyet-monyet bergantungan di pohon pisang pada pilar. Tapi, mengapa suasananya harus sekelam ini seakan-akan hantu dapat melompat kapan pun juga? Aku merindukan lampu kamar mandiku yang terang benderang.
“Tam, Tama, kucing manis… Kau berada di sini, kan? Temani aku mandi, ya?” Bisikku
Senyap. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar di halaman rumah.
Aku mengeluh dalam hati. Hari ini malang benar nasibku. Semoga saja tak ada hal mistis yang terjadi.
BYUR. BYUR.
BYUR. BYUR.
Aku berjengit. Belum juga aku mandi, mengapa ada bunyi cidukan gayung? Sudah jelas di dalam kamar mandi tidak ada gayung selain gayung yang kupegang ini.