Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 14 - Kunti Putih Bagian 2

18 September 2024   06:45 Diperbarui: 18 September 2024   06:53 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.


“Ranko, ini benar rumah nenekmu?” Tanyaku penuh sangsi. Rumah Nenek Dian, neneknya Ranko, sangat mengerikan. Rumah bergaya Belanda itu memang cantik di masanya, tapi sekarang yang tersisa keusangan belaka berwarna putih kusam.

Ranko mengangguk penuh semangat. Ia menarik tali bel yang berada di teras depan rumah tanpa ragu. Dentang bel langsung bergema ke seluruh penjuru ruangan hingga aku dan Tama menutup telinga kami. Ranko memang tak sabaran.

“Sopan sedikit, Ranko. Mentang-mentang ini rumah nenekmu. Bagaimana jika nenekmu terkena serangan jantung?” Tegurku. Tama yang biasanya kontra denganku pun mengangguk setuju dengan perkataanku.

Ranko malah meleletkan lidah. Ia tampak menggemaskan hingga aku ingin mengecup puncak hidungnya yang mancung itu. Eh? Tunggu. Ranko kan sahabatku. Tak sepatutnya aku menggoda gadis imut ini. Untuk mengusir pikiran mesum yang membuatku jengah, aku mengalihkan perhatian ke bel yang didentangkan oleh Ranko. Bel kuningan tersebut tampak sangat kuno dan ukurannya cukup besar. Di sekeliling bel penuh ukiran geometris bunga. Aku jadi merinding jika teringat adegan Ibu membunyikan bel kecil di tempat tidurnya dalam film Pengabdi Setan. Uh, seramnya!

Akibat kegaduhan yang ditimbulkan Ranko-chan, neneknya pun keluar dengan segera. Sang nenek jauh berbeda dengan yang kubayangkan. Ia berwajah oval khas Priangan. Rambutnya yang putih disanggul rapi. Wajahnya tampak halus untuk usianya yang telah menginjak 90 tahun.

“Ranko, cucu manja ini. Tak perlu kau dentangkan keras bel itu. Nenek hampir menjatuhkan piring akibat terlampau terkejut,” omel Nenek Dian. “Kau lupa, ya? Sekarang nenek sudah menggunakan alat bantu pendengaran yang dibelikan ayahmu. Bukannya, kau sendiri yang memilihkan alat bantu pendengaran yang berwarna merah muda? Agar nenek berjiwa pop seperti siapa itu? Yang seperti boneka? Ba…Barbu.”

“Barbie, Nek. Maafkan Ranko,” kata Ranko dengan ekspresi innocent. Ia hendak memeluk Nenek Dian dengan penuh kasih sayang. Tapi, ia ditolak mentah-mentah karena penuh lumpur.

“Ini teman yang kau katakan akan menginap di sini?” Tanya Nenek Dian penuh selidik. Ia memandangku dengan teliti seolah aku ini virus obyek penelitian. Ia menggumam, “Cukup tampan, tapi agak kumal.” Gumamannya terdengar di telingaku hingga aku jengah. Benarkah aku sekumal itu? Aku memandang pakaianku yang penuh lumpur dan sepatu sneaker-ku yang tua. Ugh, memang kumal.

“Anak-anak, kalian harus mandi dulu di kamar mandi belakang sebelum masuk rumah. Mengapa bisa terjatuh di lumpur seperti itu?” Tanya Nenek Dian.

Ranko bersungut-sungut, “Itu gara-gara Ray, Nek. Ia menarikku ke kubangan lumpur. Ia tak terima hanya dirinya yang jatuh. Harga dirinya terluka.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun