Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 3 - Lampor

16 September 2024   11:06 Diperbarui: 16 September 2024   11:09 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

                Menjadi istri Pak Dira? Aku ingin tertawa terbahak-bahak. Hantu ini sangat berbakat menjadi pemeran drama. Kemudian, sang lampor pun kembali menghampiri kamarku. Aku bisa mendengar suara langkah kakinya yang terseret-seret.

                Dari lubang ventilasi kamar yang berada di atas pintu, tampak wajah Kakek Fandi, tapi matanya merah menyala. Ia tampak begitu murka.

                "R....RAA....RAY! Ini Kakek. Kau tega membiarkan Kakek sendirian di luar?" Bisik Lampor. Suara Lampor yang persis suara Kakek itu membuatku merinding. Ia mendengus-dengus. Dan kemudian, tertawa meringkik persis kuda, "HIHIHIHIHI...Ray, cucuku sayang. Kemarilah! Kakek sangat kangen dan ingin memelukmu."

                Jenuh karena tak ditanggapi, Lampor ini kembali meneror kamar Pak Dira. Aku bisa mendengar bunyi tumbukan yang keras.

                "R...AY! RAY, TOLONG AKU! HANTU INI HENDAK MEMBUNUHKU. CEPATLAH! AAARGH..."

                Aku memutuskan untuk bertindak nekat karena nyawa Pak Dira terancam bahaya. Suara Pak Dira yang parau terdengar begitu cemas. Dengan membawa pisau lipatku yang tajam dan Jurnal Hantu, aku membuka pintu kamarku dengan gaya Superhero.

                Lampor dalam sosok Kakek Fandi raksasa, terpingkal kesenangan. Ia membalikkan badan dari pintu kamar Pak Dira yang tertutup rapat. Aku tertipu! Lampor yang terlampau cerdas. Atau, aku yang sedungu keledai?

                Dalam sedetik, Lampor berada di depanku. Ia berubah menjadi wujud aslinya, yaitu sosok kakek tua super keriput seperti kertas perkamen dengan tubuh menyerupai kuda dari pinggang hingga kaki. Kulitnya begitu tipis hingga aku bisa melihat dengan jelas pembuluh venanya yang kebiruan. Aku akan menancapkan pisau lipatku tepat di jantungnya.

                HUUK! Dadaku sangat sakit karena dihantam kaki depan Lampor. Pisau lipatku terlepas dari genggaman tangan kananku. Jurnal Hantu pun jatuh berdebam ke atas lantai. Lampor mencapit leherku seperti jepitan tang. Lampor menunggangiku hingga aku bisa merasakan bobotnya. Bulu-bulu kasarnya menggesek kulit tangan dan wajahku.

                Kedua mataku terbeliak ke atas. Jantungku berdebar begitu keras. Aku sulit bernapas. Pandanganku mulai kabur. Aku merasakan bayang kematian mendekat... Tidak, aku tidak mau mati konyol di tangan Lampor barbar. Dengan sisa tenagaku yang terakhir, kuraih buku Jurnal Hantu yang berada di sampingku dan menghantamkannya tepat pada kepala Lampor hingga ia menggeram.

                Jurnal Hantu jatuh ke lantai dalam keadaan terbuka. Tiba-tiba buku itu bercahaya dan ada tulisan yang terukir di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun