Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dendam Siti Khaerani

14 Agustus 2024   10:06 Diperbarui: 14 Agustus 2024   10:16 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com/Chuotanhls.

"PEREMPUAN JAHANAM! MENGAPA KAU REBUT SUAMIKU? PADAHAL KITA INI SAHABAT," jerit Tari. Ia menempeleng Rani sekuat tenaga.

"Sudah, Tari! Sudahlah! Malu dilihat orang," bujuk Heru, suami Tari yang tampan. Peluh sebesar telur puyuh bercucuran di pelipisnya.

Tari menatap tajam sang suami yang telah hidup bersamanya selama 10 tahun. Ia pun menjewer telinga kanan Heru yang tak kuasa melawan. "KAU GANJEN SEKALI, BANG! PUBER KEDUA DENGAN JANDA? PUAS SUDAH SAKITI HATIKU?"

"Aku tidak bermaksud selingkuh. Tapi..."

"TAPI APA?"

Heru menghela napas panjang. Serasa ada katak raksasa di kerongkongannya, tapi ia harus mengucapkannya. "A...aku...aku cinta pada Rani. Aku tak bisa menghilangkan rasa cinta ini."

"KAU TAK MEMIKIRKANKU DAN ANAK-ANAK."

Dengan ekspresi sesendu kucing yang tak makan seminggu, Heru berbisik. "Habis mau bagaimana? Perasaan cinta kan datangnya dari Allah Swt. Kalau kau keberatan dengan cintaku pada Rani, kau tanya saja pada Allah Swt."

"KAU KUALAT. KAU BERDALIH CINTA DENGAN MEMBAWA NAMA YANG MAHA KUASA. SADARLAH, BANG! KAU SUDAH GILA KARENA CINTA," jerit Tari bertambah murka. Ia pun menuding sang mantan sahabat. "DAN KAU? MENGAPA KAU LAKUKAN INI? KAU DENDAM PADAKU? APA SALAHKU PADAMU?"

Ekspresi wajah Rani sedingin es. Ia mengangkat bahu. "Kau tak salah apa pun. Suamimu yang mengejar-ngejarku. Tanyakan saja pada dirinya." Tanpa mempedulikan suami istri yang sedang bertengkar tersebut, ia pun berlalu begitu saja. Andai saja pasangan tersebut melihatnya. Pasti mereka merinding karena senyuman tipis penuh kepuasan yang bermain pada bibir cantik sang pelakor.

Rani puas karena Heru sudah memberikan sebidang tanah seluas 300 m2 untuk dirinya bulan lalu. Ia tak menginginkan apa pun lagi. Sudah saatnya menjerat korban baru.

Siapa yang menyangka di balik penampilan Rani yang cantik dan ramah, tersembunyi dendam kesumat pada pria. Berbeda dengan kata-kata cinta yang mengalun indah dari bibirnya. Baginya, pria adalah sumber materi. Tak lebih dari itu.

***

Seharian ini Rani hanya berbaring. Matanya nyalang menatap langit-langit ruang tidurnya. Perlahan kristal bening menganak sungai di pipinya. Padahal dari sekian banyak pria yang mengejarnya, baru kali ini ia sungguh-sungguh jatuh cinta.

Masih terngiang kalimat pedas yang diucapkan anak gadis Suhartono. "Maaf, Kakak ini janda berusia 30 tahun. Tak cocok untuk menjadi istri ayahku yang usianya dua kali lipat usia Kakak. Jika Kakak hanya mengejar harta, lupakan ayahku yang penghasilannya kecil. Kakak ini playgirl, bukan? Tak takut dengan karma pada 2 anak perempuan Kakak?"

Rani terisak sedih. Apa salahku? Di mana awalnya kesalahan ini bermula? Pernikahanku dengan Eros hancur karena perempuan lain. Mengapa aku tak boleh menghancurkan pria?

Pikiran Rani melayang ke 15 tahun yang lampau. Saat itu ia masih merupakan gadis remaja yang lincah. Ya, saat itu panggilan kesayangannya ialah Siti, bukan Rani.

***

"Siti, hendak ke mana?" Tanya Bu Nacih yang berdiri di depan pintu ruang tidur Siti yang terbuka.

Siti tak menjawab. Ia sibuk mengoleskan liptint merah manyala di bibirnya yang ranum. Kedua matanya yang sesipit mata kucing menatap intens cermin hias besar.

Bu Nacih pun mendekati anak perempuan bungsunya. Gadis ini memang anak perempuannya yang tercantik, tapi paling sulit diatur. Ada saja tingkahnya yang membuat kepala Bu Nacih pusing 1 juta keliling. Ia pun menghela napas. "Hendak ke mana kamu dengan gaun kekecilan seperti ini?"

Siti pun membelalakkan mata. "Umi kuno banget! Model gaun ini sedang ngetrend tahun ini. Apanya yang kekecilan? Memang model sekarang itu membentuk siluet tubuh yang ramping."

"Jadi, kau mau ke mana?"

"Aku ada janji dengan Ridho."

"Umi tak suka kau bergaul akrab dengannya."

Siti memeluk ibunya dengan penuh kasih sayang. "Umi, jangan terlampau banyak pikiran! Nanti darah tinggi Umi kumat. Aku dan Ridho hanya teman biasa."

"Teman biasa, tapi hampir tiap hari pergi bersama."

"Namanya juga teman sekolah."

"Ibu tak setuju kau berhubungan dengan Ridho. Mengapa kau tak bergaul dengan Amir, anak Ustaz Ibrahim? Ia religius dan baik hati. Wajahnya pun sangat tampan."

Siti mendengus. "Ia membosankan. Persis burung hantu. Selalu saja menjaga tutur katanya!"

"Siti Khaerani! Anak gadis tak boleh bermulut tajam. Nanti kau berat jodoh," ujar Bu Nacih sembari mengusap lembut rambut panjang anak gadis kesayangannya.

"Habis Umi yang mulai duluan. Aku juga tak suka dipanggil Siti. Lebih baik Rani yang jauh lebih modern," rajuk Siti.

"Nama Siti itu bagus. Almarhum bapakmu sendiri yang memilihkannya," ucap Bu Nacih sesabar kura-kura.

Siti mencibir. Ia sangat sayang ibunya, tapi mereka berasal dari generasi yang berbeda. Ibunya tak akan pernah mengerti dirinya yang berjiwa bebas. Ia pun melirik jam tangan perak hadiah ulang tahunnya dari Ridho dan terpekik. Tergesa-gesa ia mengecup pipi keriput ibunya dan meraih sling bag merah mudanya. "Sudah jam 3 sore. Aku pergi dulu, Umi! Nanti aku menginap di rumah Lilih. Tak perlu menungguku pulang. Ah, sampai lupa aku memakai stiletto hitamku yang baru."

"Sepatu dari siapa? Umi tak pernah membelikanmu sepatu secantik itu. Pasti harganya mahal," selidik Bu Nacih.

"Umi ini pikun, ya? Aku kan sudah memberitahu sepatu ini dari Lilih. Sudah, ya? Aku pergi dulu. Bye!" Ujar Siti sembari melempar cium.

Siti tergesa-gesa pergi karena khawatir Bu Nacih akan menginterogasi lebih dalam. Sebenarnya, sepatu stiletto itu pemberian dari Ridho. Ia dan Ridho telah resmi menjalin kasih minggu lalu. Bahkan, Ridho telah mengecup kedua pipinya pada moment spesial tersebut. Hingga sekarang Siti masih suka tersenyum sendiri jika mengelus kedua pipinya. Maklum, cinta pertama memang selembut gulali.

Seringkali Siti merasa iri pada Ridho yang keluarganya kaya dan terpandang. Begitu mudahnya Ridho membeli barang apa pun. Memang kekasihnya itu tak pernah pelit pada dirinya. Tapi, alangkah enaknya jika ia memiliki uang sendiri. Dan tak harus merengek pada sang pujaan hati.

Siti jenuh menjadi orang miskin. Dengan rumah seluas 300 m2 dan sawah 5 seluas 5 hektar, ibunya cukup berada di Desa Mekar Sari. Tapi, tak cukup kaya menurut Siti yang menginginkan barang-barang bermerek. Remaja cantik ini ingin tampil setrendy mungkin.

"Sayang, mengapa lama sekali? Kau terlambat setengah jam. Film Batman sudah mulai sejak tadi," keluh Ridho sembari menarik Siti ke pelukannya. Gadis itu seharum bunga mawar hingga membuat Ridho tak ingin melepasnya.

"Maaf, tadi jalanan macet sekali. Belum lagi Umi cerewet sekali hari ini."

"Ah, Umi-mu itu tak pernah menyukaiku. Tingkahnya persis herder yang ganas. Entah mengapa? Padahal aku sering membelikan makanan untuknya. Apa karena ayahku seorang renternir?"

Siti mengangkat bahu. Ia agak tersinggung ibunya disamakan dengan anjing penjaga. Maka, ia pun membalas, "Mungkin saja. Ayahmu sangat terkenal sebagai renternir terkaya di Desa Mekar Sari."

Melihat ekspresi Ridho yang merengut, Siti pun tertawa riang. Pemuda kaya itu sangat manja. Ia pun mengubah taktiknya. Dengan nada suara semanis madu, ia membujuk, "Kita tak masuk ke ruang bioskop?"

Ridho menggelengkan kepala. "Aku sudah tak berminat menonton film. Sebaiknya, kita berada di rumahku saja. Kebetulan rumahku kosong. Orangtuaku sedang pergi ke Surabaya."

Siti mengernyitkan kening. "Di rumahmu kita akan melakukan apa? Masa berbincang saja? Lebih baik kita berjalan-jalan di Mall."

"Masa kau tak kangen denganku? Jika di rumahku, kita bisa berbincang santai, tanpa ada mata yang mengintai. Aku sebal semua pria selalu melirikmu. Kau terlampau cantik. Aku janji lusa kita jalan-jalan di Mall."

Siti tertawa renyah. Ia pun setuju dengan keinginan Ridho. Keputusan yang akan ia sesali.

***

"RIDHO, KELUAR KAU. MANA SITI?" Tanya Pak Doni, pamannya Siti.

Ridho pun cengengesan. Ia sangat gugup menghadapi amarah sang paman. "Paman, duduklah dulu. Mau minum kopi?"

"Tak perlu kau beramah-tamah. Mengapa kau menyekap Siti di rumah ini hingga seminggu?"

Ridho menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal. "Tak disekap. Rani yang menginginkannya. Ia memang tak ingin pulang."

"Omong kosong! Sudah sejauh mana hubungan kalian?"

"Kami pacaran."

"Kalian harus putus. Kau memberi pengaruh jelek."

"Tapi kami sudah melakukan hubungan suami istri. Saya tak ingin putus."

"Sungguh tak patut kau yang lebih tua 2 tahun tak mempertimbangkan hukum di negara kita. Kami bisa saja menuntutmu dengan pasal pelecehan seksual. Siti masih berusia 17 tahun. Jika ia hamil, kalian harus menikah. Tapi jika tak hamil, kalian harus putus. Masa depan Siti masih panjang. Tak perlu dirusak oleh pemuda sepertimu. Sekarang juga Siti harus pulang. Ibunya terus-menerus menangis."

"Ta...tapi saya tak ingin putus. Saya sangat mencintai Siti."

Pak Doni mendengus. "Jika kau sangat mencintai Siti, kau tak akan mengambil keperawanannya begitu saja. Kau sangat egois. Siti harus bersekolah. Selain itu, keluarga besar kami tak setuju akan hubungan kalian. Ayahmu itu renternir. Haram hukumnya memakan uang riba. Biarlah keluarga besar kami menanggung aib yang kau lemparkan ke muka kami. Siti kami terlalu berharga untukmu."

Ridho tertegun. Ia sangat menyesal. Tapi penyesalan selalu datang terlambat.

Rani memang tak hamil karena Ridho. Tapi ia harus membayar mahal. Pernikahannya dengan Eros penuh pertengkaran karena Rani tak mengakui dirinya sudah tak gadis. Walaupun pernikahan mereka dikarunia 2 anak, tapi Eros tega menceraikannya demi perempuan lain.

***

Rani tersenyum manis pada Danar. Setelah sekian tahun penuh rasa dendam pada pria, di usia ke-40 tahun Rani baru menyadari ia sudah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti banyak hati. Entah berapa pernikahan yang hancur karena dirinya.

Mengapa Rani tak mau berdamai dengan dirinya sejak dulu? Sungguh sia-sia tahun penuh rasa dendam itu. Walaupun ia memperoleh materi, hidupnya hambar. Rasa bahagia jauh dari dirinya.

Sekarang segalanya akan berbeda. Rani sangat mencintai Danar yang mau menerima dirinya apa adanya.

Hidup bersama Danar yang keras kepala tak akan mudah, tapi cinta mereka akan mengalahkan segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun