Siapa yang menyangka di balik penampilan Rani yang cantik dan ramah, tersembunyi dendam kesumat pada pria. Berbeda dengan kata-kata cinta yang mengalun indah dari bibirnya. Baginya, pria adalah sumber materi. Tak lebih dari itu.
***
Seharian ini Rani hanya berbaring. Matanya nyalang menatap langit-langit ruang tidurnya. Perlahan kristal bening menganak sungai di pipinya. Padahal dari sekian banyak pria yang mengejarnya, baru kali ini ia sungguh-sungguh jatuh cinta.
Masih terngiang kalimat pedas yang diucapkan anak gadis Suhartono. "Maaf, Kakak ini janda berusia 30 tahun. Tak cocok untuk menjadi istri ayahku yang usianya dua kali lipat usia Kakak. Jika Kakak hanya mengejar harta, lupakan ayahku yang penghasilannya kecil. Kakak ini playgirl, bukan? Tak takut dengan karma pada 2 anak perempuan Kakak?"
Rani terisak sedih. Apa salahku? Di mana awalnya kesalahan ini bermula? Pernikahanku dengan Eros hancur karena perempuan lain. Mengapa aku tak boleh menghancurkan pria?
Pikiran Rani melayang ke 15 tahun yang lampau. Saat itu ia masih merupakan gadis remaja yang lincah. Ya, saat itu panggilan kesayangannya ialah Siti, bukan Rani.
***
"Siti, hendak ke mana?" Tanya Bu Nacih yang berdiri di depan pintu ruang tidur Siti yang terbuka.
Siti tak menjawab. Ia sibuk mengoleskan liptint merah manyala di bibirnya yang ranum. Kedua matanya yang sesipit mata kucing menatap intens cermin hias besar.
Bu Nacih pun mendekati anak perempuan bungsunya. Gadis ini memang anak perempuannya yang tercantik, tapi paling sulit diatur. Ada saja tingkahnya yang membuat kepala Bu Nacih pusing 1 juta keliling. Ia pun menghela napas. "Hendak ke mana kamu dengan gaun kekecilan seperti ini?"
Siti pun membelalakkan mata. "Umi kuno banget! Model gaun ini sedang ngetrend tahun ini. Apanya yang kekecilan? Memang model sekarang itu membentuk siluet tubuh yang ramping."