Siti mencibir. Ia sangat sayang ibunya, tapi mereka berasal dari generasi yang berbeda. Ibunya tak akan pernah mengerti dirinya yang berjiwa bebas. Ia pun melirik jam tangan perak hadiah ulang tahunnya dari Ridho dan terpekik. Tergesa-gesa ia mengecup pipi keriput ibunya dan meraih sling bag merah mudanya. "Sudah jam 3 sore. Aku pergi dulu, Umi! Nanti aku menginap di rumah Lilih. Tak perlu menungguku pulang. Ah, sampai lupa aku memakai stiletto hitamku yang baru."
"Sepatu dari siapa? Umi tak pernah membelikanmu sepatu secantik itu. Pasti harganya mahal," selidik Bu Nacih.
"Umi ini pikun, ya? Aku kan sudah memberitahu sepatu ini dari Lilih. Sudah, ya? Aku pergi dulu. Bye!" Ujar Siti sembari melempar cium.
Siti tergesa-gesa pergi karena khawatir Bu Nacih akan menginterogasi lebih dalam. Sebenarnya, sepatu stiletto itu pemberian dari Ridho. Ia dan Ridho telah resmi menjalin kasih minggu lalu. Bahkan, Ridho telah mengecup kedua pipinya pada moment spesial tersebut. Hingga sekarang Siti masih suka tersenyum sendiri jika mengelus kedua pipinya. Maklum, cinta pertama memang selembut gulali.
Seringkali Siti merasa iri pada Ridho yang keluarganya kaya dan terpandang. Begitu mudahnya Ridho membeli barang apa pun. Memang kekasihnya itu tak pernah pelit pada dirinya. Tapi, alangkah enaknya jika ia memiliki uang sendiri. Dan tak harus merengek pada sang pujaan hati.
Siti jenuh menjadi orang miskin. Dengan rumah seluas 300 m2 dan sawah 5 seluas 5 hektar, ibunya cukup berada di Desa Mekar Sari. Tapi, tak cukup kaya menurut Siti yang menginginkan barang-barang bermerek. Remaja cantik ini ingin tampil setrendy mungkin.
"Sayang, mengapa lama sekali? Kau terlambat setengah jam. Film Batman sudah mulai sejak tadi," keluh Ridho sembari menarik Siti ke pelukannya. Gadis itu seharum bunga mawar hingga membuat Ridho tak ingin melepasnya.
"Maaf, tadi jalanan macet sekali. Belum lagi Umi cerewet sekali hari ini."
"Ah, Umi-mu itu tak pernah menyukaiku. Tingkahnya persis herder yang ganas. Entah mengapa? Padahal aku sering membelikan makanan untuknya. Apa karena ayahku seorang renternir?"
Siti mengangkat bahu. Ia agak tersinggung ibunya disamakan dengan anjing penjaga. Maka, ia pun membalas, "Mungkin saja. Ayahmu sangat terkenal sebagai renternir terkaya di Desa Mekar Sari."
Melihat ekspresi Ridho yang merengut, Siti pun tertawa riang. Pemuda kaya itu sangat manja. Ia pun mengubah taktiknya. Dengan nada suara semanis madu, ia membujuk, "Kita tak masuk ke ruang bioskop?"