"Neng Evie, aku sadar aku tak bisa dibandingkan dengan pemuda kota yang memiliki karir cemerlang dan harta melimpah. Aku hanya petani singkong. Ini kebun singkong yang kugarap. Walaupun aku bukan orang kaya raya, tapi aku mampu mencukupi kebutuhan hidupmu dari hasil berkebun."
Kalimat Ujang Tuna bagaikan sambaran petir. "Kau petani singkong?" Tanyaku lemah. Aku merasa tunas cintaku kandas seketika.
Ujang Tuna mengangguk antusias. Ia menarik tanganku agar naik ke undakan batu. "Lihatlah bentangan tanaman singkong ini. Dari batas pohon mangga tersebut hingga pagar bambu di sebelah sana merupakan lahan yang kugarap. Aku menanam tanaman singkong mentega yang rasanya sangat enak dan empuk."
Aku sulit sekali mencerna perkataan Ujang Tuna. Napasku terasa sesak. Dengan susah payah aku bertanya, "Mengapa harus singkong? Mengapa Kak Tuna tak menanam pohon kopi yang sesuai untuk ditanam di lereng gunung?"
"Ah, kau cukup tahu tentang pertanian, ya? Tanaman kopi memang bagus untuk mencegah erosi. Tapi aku memang petani singkong. Aku sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Mungkin suatu saat aku akan merambah ke perkebunan kopi yang memerlukan lebih banyak modal. Tapi untuk saat ini, fokusku ialah singkong."
Aku bergeming. Singkong?
Tanpa menyadari wajahku yang semakin lama semakin pucat, Ujang Tuna menjelaskan usaha singkongnya dengan riang. Ia terperanjat ketika aku merunduk dan memuntahkan segala isi perutku.
***
"Ah, Mama. Aku tak ingin dijodohkan dengannya," ujarku dengan mimik sesendu awan kumulonimbus. Aku kembali menggelung diriku ke sudut tempat tidur.
"Mengapa? Ujang Tuna pemuda yang sopan, baik, dan tampan. Walaupun polos, ia cukup terpelajar. Ia lulusan jurusan pertanian. Bahkan, ia membawakan Mama sebungkus besar singkong mentega yang baru saja ia panen. Mama lihat kau juga menyukai Ujang Tuna."
Aku merengut. "Aku tak suka singkong."
Mama berkacak pinggang. "Lalu?"