"Ujang Tuna petani singkong. Sedangkan aku tak tahan berada dekat singkong."
"Bertingkahlah dewasa! Masa kau menolak calon suami yang potensial hanya karena fobia singkong? Bagaimana jika kau berkonsultasi dengan psikolog?"
"Pokoknya, aku benci singkong. Aku tak mau menikah dengan petani singkong. TITIK," tegasku sembari membalikkan tubuhku sehingga menghadap dinding ruang tidur. Aku tak ingin Mama melihat linangan air mata di pipiku.
***
"Maaf ya, Nak Tuna. Evie belum bisa ditemui. Ia masih demam," kata Mama pada Ujang Tuna yang datang ke rumahnya untuk ketujuh kalinya. Sebenarnya, Mama segan berbohong terus-menerus pada Ujang Tuna. Tapi ia tak tega menyatakan kebenaran bahwa putrinya sangat fobia singkong, termasuk petani singkong seperti Ujang Tuna.
"Bolehkah saya menjenguknya?" Tanya Ujang Tuna. Ia menyerahkan berbagai kuliner berbahan dasar singkong. Mama tercengang menatap brownies singkong, keripik singkong pedas, opak singkong, enye-enye singkong, getuk, dan comro.
Mama menganggukkan kepala. "Nak, banyak sekali kau membawa buah tangan. Tak perlu merepotkan diri seperti ini."
Ujang Tuna memamerkan lesung pipitnya. "Mama menyukainya, tidak? Maaf ya Ma. Saya hanya bisa memberikan makanan sederhana seperti ini. Tapi, seluruh kuliner ini saya olah sendiri. Mama dan Evie tentu terbiasa menyantap makanan ala caf yang mahal dan enak."
"Tentu saja Mama menyukainya. Mama sangat menyukai makanan berbahan dasar singkong. Apalagi ini buatanmu. Semoga kau banyak rezeki, Nak," ujar Mama penuh haru. Ia memeluk bungkusan kuliner singkong itu seolah-olah harta karun.
***
Aku merengut. Orang yang paling ingin aku hindari, sekarang berada di ruang tidurku. Ujang Tuna menarik kursi ke sisi tempat tidurku dan duduk manis. Mama pun melirikku dengan ancaman maut. Aku mengerti peringatan dalam mata Mama. 'Awas saja jika kau tak sopan!' Ujang Tuna telah berhasil memikat hati Mama 100%. Aku salah telah menyepelekan kemampuan pemuda yang tampak polos itu.
"Mama akan membiarkan pintu ruang tidur ini terbuka. Kalian berbincanglah!" Seru Mama sembari meninggalkan kami berdua.
"Jadi?" Tanyaku tak bersemangat.
"Jadi apa?" Ujang Tuna malah balas bertanya.