Mohon tunggu...
Sintha Wahyu Arista
Sintha Wahyu Arista Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

I was born to express, not impress others.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arunika di Puncak Ancala [Bagian Lima]

16 Maret 2023   14:54 Diperbarui: 16 Maret 2023   15:14 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kira-kira masih ada kesempatan lagi nggak ya buat nyobain masakan kamu di pendakian selanjutnya?" kata Ancala.

Pertanyaan yang aneh, pikirku.

Aku mengabaikan pertanyaan Ancala dan memilih tidak menjawabnya.

Setelah beres makan, Ancala membersihkan semua peralatan makan dan membongkar tenda. Kita mulai turun dan berencana untuk ngecamp malam ini Ranu Kumbolo. Keesokan paginya, barulah kita turun ke basecamp.

Perjalanan turun kali ini tidak terasa, tak seperti waktu naik kemarin.

Tiba kita di Ranu Kumbolo. Setelah mendirikan tenda, kita langsung istirahat. Terlihat raut wajah Ancala sangat lelah dan pucat.

Esok hari tiba. Sengaja aku bangun lebih dulu. Bukan, bukan karena ingin membuatkan Ancala sarapan. Tapi aku ingin melihat sang fajar terbit dengan indahnya. Mengingat hari ini adalah hari terakhir aku disini. 

Semoga aku bisa mengunjungimu lagi ya di lain waktu, ucapku pada Gunung Semeru.

Aku kembali masuk ke dalam tenda dan berniat membangunkan Ancala.

Hal tak dinginkan pun terjadi.

Tubuh Ancala sangat dingin. Wajahnya pucat.

Aku coba membangunkan Ancala, tapi nggak ada repon. Seketika aku langsung teriak dan pendaki lain yang tendanya berada dekat dengan tendaku, datang menghampiriku.

"Mbak, temannya kenapa mbak?" tanya salah satu pendaki.

"Saya nggak tau mas, semalam dia baik-baik saja. Terus waktu aku coba bangunin, tubuhnya uda panas banget. Tolong mas." ucapku dengan ketakutan. "Kemaren waktu mau summit, dia sempat kena hipo, mimisan dan wajahnya pucat banget." lanjutnya. 

Kemudian pendaki tersebut mencoba memberi nafas buatan untuk Ancala, namun tak berhasil.

"Mbak, sepertinya teman mbak ini punya riwayat penyakit khusus. Coba mbak cek di carriernya, kemungkinan ada obatnya." ucap si pendaki tersebut.

Dengan cepat aku membongkar carrier dan waistbag yang digunakan Ancala.

Aku menemukan beberapa obat diluar kotak P3K dan langsung aku berikan beberapa obat tersebut ke pendaki yang menolongiku.

"Mbak, ini obat-obatan tekanan darah untuk memperlambat perkembangan penyakit ginjal."

Aku langsung lemes. Tak bisa berkata apa-apa lagi.

Kenapa kamu menyembunyikan itu dari aku, Al?

"Sebaiknya kita langsung bawa turun teman mbak ini, karena kondisinya sudah semakin memburuk. Dan dilihat dari gejalanya, sepertinya sudah beberapa hari ini penyakitnya kambuh."

Tangisan histerisku pecah!

Beberapa pendaki, ranger, dan relawan siap membantuku untuk mengevakuasi dan membawa Ancala turun.

Aku nggak tau lagi harus berkata apa. Sedih. Marah. Kecewa. Takut. Menyesal. Semuanya jadi satu.

Seandainya aku nggak memaksa Ancala untuk ikut denganku ke pendakian kali ini, mungkin hal ini nggak akan terjadi, ucapku pada diri sendiri dengan penuh penyesalan.

Sesampainya di basecamp, sudah ada mobil ambulance yang siap membawa Ancala ke Rumah Sakit terdekat.

Aku menghubungi Ayah, Bunda, dan kedua orang tua Ancala.

Hari itu juga, orang tua Ancala datang ke Rumah Sakit yang aku share location sebelumnya dan memindahkan ke Rumah Sakit yang berada tak jauh dari rumah mereka.

Tangisan histeris juga keluar dari bibir perempuan paruh baya berusia 45 tahun itu.

"What's going on with him? Apa yang terjadi, nak? Kenapa Al sampai kaya gini? Kalian habis dari mana?" tanya Tante Vera. 

"Tenang, Ma! Tenang. Al anak yang kuat." Om Bayu yang coba menenangkan istrinya.

Kalian habis dari mana? Pertanyaan itu membuatku berfikir, apa Al nggak bilang ke Tante Vera kalau mau mendaki ke Semeru?

"Keluarga Ancala?' panggilan dokter yang membubarkan lamunanku.

Tante Vera dan Om Bayu segera menghampiri dokter.

"Ikut saya ke ruangan saya ya Pak, Bu." ucap dokter tersebut.

Bagaimana kondisi Ancala? Apa yang sebenarnya terjadi? Penyakit apa yang ada pada tubuh Ancala? Kenapa Ancala menyembunyikannya dariku? Pertanyaan itu terus muncul dan menghantuiku.

Kini aku hanya bisa melihat Ancala yang berbaring di atas blankar dan dipenuhi oleh saluran selang dari balik kaca pintu.

"Arunika." ucap perempuan dengan penuh air mata yang mengalir deras di pipinya, yang tak lain dan tak bukan adalah Tante Vera. "Ikut tante sebentar yuk, sayang!" ajaknya.

Aku berjalan disamping Tante Vera menuju taman yang ada di Rumah Sakit.

"Ada yang ingin tante sampaikan ke Arunika."

"Apa itu, tante?"

"Tapi sebelum itu, tante boleh tanya ke Arunika?"

"Boleh, tante."

"Apa kalian habis naik gunung?"

Aku kebingungan dengan jawaban Tante Vera. Dengan penuh penyesalan aku menjawab, "Iya, tante. Hari sabtu kemarin, Arunika sama Ancala pergi mendaki Semeru, tante."

Seketika Tante Vera menangis setelah mendengar jawabanku.

"Al kenapa, tante? Apa yang terjadi?"

Disinilah Tante Vera menceritakan yang terjadi pada Ancala dan Ancala berusaha dengan keras menutupi semua dariku.

STAY TUNED FOR THE NEXT STORY, GUYS! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun