"Sebaiknya kita langsung bawa turun teman mbak ini, karena kondisinya sudah semakin memburuk. Dan dilihat dari gejalanya, sepertinya sudah beberapa hari ini penyakitnya kambuh."
Tangisan histerisku pecah!
Beberapa pendaki, ranger, dan relawan siap membantuku untuk mengevakuasi dan membawa Ancala turun.
Aku nggak tau lagi harus berkata apa. Sedih. Marah. Kecewa. Takut. Menyesal. Semuanya jadi satu.
Seandainya aku nggak memaksa Ancala untuk ikut denganku ke pendakian kali ini, mungkin hal ini nggak akan terjadi, ucapku pada diri sendiri dengan penuh penyesalan.
Sesampainya di basecamp, sudah ada mobil ambulance yang siap membawa Ancala ke Rumah Sakit terdekat.
Aku menghubungi Ayah, Bunda, dan kedua orang tua Ancala.
Hari itu juga, orang tua Ancala datang ke Rumah Sakit yang aku share location sebelumnya dan memindahkan ke Rumah Sakit yang berada tak jauh dari rumah mereka.
Tangisan histeris juga keluar dari bibir perempuan paruh baya berusia 45 tahun itu.
"What's going on with him? Apa yang terjadi, nak? Kenapa Al sampai kaya gini? Kalian habis dari mana?" tanya Tante Vera.Â
"Tenang, Ma! Tenang. Al anak yang kuat." Om Bayu yang coba menenangkan istrinya.