Membedah Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama julukan Buya Hamka. Pengarang yang memiliki jiwa kesastraan tinggi ini lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981.Â
Novel ini ditulis oleh pengarangnya sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah. Isi dalam novel ini, Hamka mengkritik adat istiadat yang masih kental dianut oleh masayarakat sekitar, terutama dalam tradisi pernikahan. Novel ini kisahnya tak lekang oleh waktu, walaupun merupakan novel terbitan zaman dulu, namun situasi dan ceritanya masih relevan dengan zaman sekarang.Â
Kisahnya yang romantis, sedih, sekaligus menyentuh dapat membuat pembaca terhibur dan terbawa perasaan. Hamka merupakan pengarang hebat yang memiliki jiwa kritikus sastra Indonesia. Novel yang mendobrak pintu sastra Indonesia ini mengangkat tema yang sangat menarik yaitu kasih yang tak sampai. Perjuangan dua insan yang saling mencintai dalam landasan jiwa keihlasan dan kesucian. Warisan budaya yang masih dipercayai dapat membuat orang berselisih dalam ikatan hati dan rasa yang dimiliki dua insan tersebut, itulah yang dialami mereka. Dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut.
"Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa. Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina." (Hal.41)
Dari kutipan di atas dapat dilihat ada berbagai macam ujian yang dihadapi karena tradisi masyarakat yang masih kokoh dan kuat dalam budaya mereka, bahkan mereka saling mencintai namun tak bisa saling memiliki.
Novel ini menceritakan kisahnya dalam kejadian yang berurutan. Alur yang digunakan merupakan alur maju, karena ceritanya mengalir ke depan tanpa berjalan mundur atau menceritakan kisah yang sudah lampau. Dimulai dengan pengenalan karakter utama yaitu Zainuddin dan konflik Zainuddin yang diusi dari Batipuh, hingga Zainuddin meninggal dunia. Dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
"Tiba-tiba, setelah kira-kira setengah jam dia meninggalkan kampung yang permai itu mengayun langkah yang gontai, gonjong rumah-rumah telah mulai ditimpa cahaya pagi, disuatu pendakian yang agak sunyi, di tepi jalan menuju Padang Panjang..." (Hal.42)
Selain kutipan di atas, ada pula bukti lainnya.
"Apalagi setelah sakitnya lebih sepuluh hari, kerap kali dia mengingau dalam tidurnya..." (Hal.89)
"Dan sampai matinya pun dalam penuh cinta. Tetapi sungguh pun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan jasanya..." (Hal.140)
Menariknya dalam novel ini adalah karakter tokohnya. Tokoh utama dalam cerita ini merupakan laki-laki yang memiliki kepribadian bijaksana, penyabar, dan suka menolong. Ia adalah seorang yatim piatu yang terbuang dari negeri kelahirannya, Mengkasar. Ia terbuang karena ibunya yang asli Mengkasar menikah dengan ayahnya yang asli Minang. Sedangkan Mengkasar tersebut berdasarkan keturunan ayah atau sistem patrilinial. Mulanya Zainuddin tidak pernah tau bahwa negeri asalnya adalah Minangkabau. Dia baru mengetahui hal tersebut ketika pesan terakhir dari ayahnya. Pemuda ini selalu menderita sejak kecil namun masih tetap sabar dalam menghadapi setiap masalah dalam hidupnya. Seperti dalam kutipan berikut.
"Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga." (Hal.20)
"Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan batin yang begitu hebat sejak kecil..." (Hal.25)
"Ini adalah sebagai ganjaran Tuhan atas kesabaran hatinya menanggung sengsara telah bertahun-tahun." (Hal.31)
Dapat dilihat bahwa Zainuddin sangat penyabar, apalagi saat cintanya dengan Hayati diuji dan dirundung berbagai masalah. Hayati merupakan perempuan asli Minangkabau yang tegar dan sangat mencintai Zainuddin sampai akhir hayatnya. Dia merupakan primadona Dusun Batipuh, kecantikannya memikat banyak hati lelaki, bahkan saat Zainuddin pertama melihatnya langsung jatuh hati. Hayati memiliki sifat yang sabar, lemah lembut, dan baik hati.
"Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu." (Hal.19)
"Karena Hayati adalah seorang perempuan lemah lembut, yang lebih suka berkorban, harta jiwanya sendiri..." (Hal.112)
Sangat disayangkan, perasaan cinta yang dirasakan Zainuddin dan Hayati serasa sia-sia karena dalam tradisi Minang, Zainuddin tidak bisa menjadi pendamping hidup hayati. Hal ini dikarenakan Datuk Garang, yaitu kepala adat Minangkabau sekaligus paman Hayati, beliau memiliki sifat yang tegas dan sangat mengagungkan adat Minangkabau serta suka memandang rendah adat yang lain.
"Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda-muda telah agak meradang, terus berkata, "Ya, kita habisi saja itu, kata bulatkan sekarang menerima Aziz dan menolak permintaan Zainuddin." (Hal.71)
Beliau tidak merestui hubungan antara Zainuddin dan Hayati, alasannya hanya karena Zainuddin tidak memiliki adat yang jelas, apalagi bukan adat Minang. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh begitu pun Hayati, perempuan yang sangat dicintainya tersebut.
"Muka Hayati kelihatan pucat dan jahitannya terlepas dari tangannya. Zainuddin telah pergi dari Batipuh." (Hal.38)
"Setelah itu, dia diusir dari sana. Diusir dari tanah asal keturunannya. Tetapi meskipun dia diusir, hatinya tetap dan teguh, sebab ada seorang perempuan - menurut keterangannya sendiri - yang telah memberi bujukan kepadanya, yang telah berjanji akan menunggunya..." (Hal.41)
Tidak disangka, ternyata setelah kepergian Zainuddin, Hayati memiliki kesempatan untuk pergi bertemu dengannya kembali dengan cara mengunjungi rumah temannya di Padang Panjang, yaitu Khadijah. Khadijah adalah teman lama Hayati, mereka bersepakat untuk bertemu di rumah Khadijah dan pada saat itu akan ada pacuan kuda. Di tempat tersebut Zainuddin tinggal, serasa hati sudah berbunga-bunga karena akan bertemu dengan pujaan hatinya. Namun kesempatan tersebut sirna, mereka bahkan hanya bisa bertemu sesaat karena Hayati diajak pergi oleh kakak Khadijah, yaitu Aziz. Aziz merupakan seorang lelaki yang gagah, berpendidikan, kaya, namun disayangkan dia lelaki yang tempramen dan suka menghambur-hamburkan uang.
"Baru saja dia sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama seorang saudara nya laki-laki yang selama ini bekerja di Padang. Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas pula, yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari lamanya. Aziz namanya." (Hal.51)
"Aziz amat pandai berpura-pura. Menurut pendapatnya, segala perempuan itu sama saja, sama-sama permainan laki-laki, yang mana pun boleh dipermainkan." (Hal.59)
"Semasa Aziz tinggal di Padang masih dapat dia meminta uang ke pada ibunya kalau dia tekor atau meminjam kian kemari. Sekarang hidup di rantau. Berapa kali hutangnya kepada orang yang suka mentemakkan uang..." (Hal.112)
Di sana Hayati didandani dengan gaya ala kota. Sungguh terkejutnya Zainuddin ketika melihat Hayati yang sebelumnya berpakaian tertutup menjadi pakaian terbuka seperti itu. Kesempatan yang dimiliki Hayati dan Zainuddin tidak seperti yang mereka bayangkan, karena hadirnya orang ketiga, Aziz yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Setelah kejadian tersebut, Zainuddin sudah tidak bisa bertemu lagi dengan Hayati. Ternyata Aziz dan keluarganya melamar Hayati dan meminangnya.
"Pada waktu yang telah ditentukan, setelah genap mupakat Aziz dengan keluarganya, disuruhlah seorang suruhan yang bijak menyampaikan permintaan kepada kaum kerabat Hayati, membawa sirih nan secabik, pinang dan segetap. Â Sampai di Batipuh diterima dengan pribahasa yang halus-halus oleh kaum Hayati; maklumlah mengadu malu dengan budi." (Hal.65)
Dalam novel ini pengarang sangat kreatif karena mengisahkan cerita diberbagai tempat. Dari mulai di Mengkasar, Padang Panjang Batipuh, Surabaya, Rumah Zainuddin, serta Pelabuhan Tanjung Priok.
"Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke Dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli." (Hal.17)
"Oh, tuan Aziz! Dan Rangkayo Hayati! Sudah lama tinggal di kota Surabaya ini?" (Hal.105)
"Bang Muluk!" katanya beberapa saat kemudian, setelah menyapu air matanya. "Saya akan berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung Periuk." (Hal.132)
Pengarang menuturkan kisahnya dengan latar tempat yang beragam. Hal ini membuat pembaca tertarik untuk menyelami cerita lebih dalam lagi.
Dikarenakan novel ini diangkat dari kehidupan orang pedesaan, maka dari itu ceritanya kebanyakan berkisah di pagi, siang, hingga malam hari.
"Pagi-pagi, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah..." (Hal.21)
"Setelah hari hampir siang mata Zainuddin belum juga tertidur, datanglah Muluk." (Hal.89)
"Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul 8 malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah dahulu!" (Hal.20)
Kejadian yang menyedihkan adalah ketika Zainuddin diusir dari Batipuh karena dianggap orang asing yang tidak beradat dan tidak pantas untuk Hayati. Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan pembicaraan orang Minang, dan keluarga Hayati adalah keluarga terpandang, maka hal kedekatan mereka akan menjadi aib bagi keluarga Hayati. Akhirnya mamak Hayati memanggil Zainuddin dan menyuruhnya pergi dari Batipuh. Akhirnya dengan berat hati Zainuddin pindah ke Padang Panjang. Hayati dan Zainuddin berjanji akan terus setia dan terus berkirim surat.
"Teringat negeri Mengkasar yang tercinta, tempat darahnya tertumpah ditinggalkannya, karena mengejar mimpi sejak dari kecil, tanah Minangkabau yang terkenal molek. Tetapi tidak juga dapat disingkirkannya peringatan kepada masa dia diusir dari Batipuh, sebab dia tidak orang beradat..." (Hal.66)
Ada pula kejadian yang menyebalkan ketika Zainuddin ditolak oleh keluarga Hayati dan lebih memilih Aziz untuk menjadi suami Hayati. Ketika Hayati pulang dari Padang Panjang, Hayati terkejut karena datangnya rombongan keluarga Aziz untuk melamarnya. Padahal beberapa hari yang lalu Zainuddin telah melamar Hayati juga. Namun, keluarga Hayati lebih memilih Aziz, karena Aziz dipandang lebih beradab dan juga lebih berada, ditambah lagi Aziz adalah pemuda asli Minang. Zainuddin tahu bahwa Aziz bukanlah sebaik yang kelihatannya. Untuk melupakan masalahnya, Zainuddin pindah ke Jawa untuk mulai menulis dan mengarang. Ia dan sahabatnya (Muluk) menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan.
Cerita dalam novel dominan berlatar di Batipuh, Padang Panjang, pengarang menampilkan latar sosial sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Padang Panjang. Dapat dilihat pada saat pernikahan Hayati yang menggunakan tradisi Minang, calon suaminya pun harus beradat Minang pula.
"Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal Negeri Minangkabau beradat! Besok hari Senin, ada kapal berangkat..." (Hal.125)
Keseluruhan cerita, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu. Pengarang menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut Zainuddin. Di sini pengarang mengetahui segalanya, yaitu maha tahu, mengetahui berbagai hal, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melarbelakanginya. Pengarang juga bebas bergerak menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita.
"Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia telah mau..." (Hal.38)
Pengarang menggunakan bahasa melayu dan beberapa dari majas atau gaya bahasa juga digunakan dalam novel roman ini. Khususnya adalah metafora, hiperbola, simile, dan beberapa simbolik yang menunjukan kehidupan kedua karakter, Zainuddin dan Hayati dalam kisah cinta mereka. Salah satu contoh dari contoh dari metafora dan simbolisme yang ada di dalam novel ini terdapat dalam kutipan berikut ini.
"Di dalam khayalku dan dalam kegelap gulitaan malam, tersimbahlah awan, ceraahral langit dan terlihatlah satu bintang. Bintang itu adalah kau sendiri, Hayati..." (Hal.60)
Zainuddin digambarkan memiliki kemampuan sastra yang sangat baik, apalagi dalam menulis buku. Setelah membaca dan mempelajari profil penulis, ternyata tokoh utama dalam cerita ini yaitu Zainuddin memiliki kemiripan seperti penulis, Buya Hamka. Buya Hamka merupakan politikus dan sastrawan yang terkenal dengan kemampuan yang sangat baik dalam menulis, maka dari itu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini banyak mengulas tentang proses Zainuddin dalam mengarang buku.
"Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana pun putus asa hidupnya, kalau pada suatu hari dilihatnya orang sedang membaca buku itu dengan asyiknya, dia lupa kepayahan dan keputus-asaannya itu." (Hal.98)
"Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia termasyhur dengan nama samaran letter "Z," pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan-sandiwara "Andalas" (Hal.98)
Pemikiran penulis atau psikologi penulis dapat mempengaruhi jalannya kisah cerita dalam novel. Pengarang yang hidup dilingkungan agama yang kental sejak kecil memberi pengaruh pada karya sastra yang dihasilkannya. Seperti yang disebutkan judul karya sastra yang diciptakannya identik dengan agama dan kisah mengenai perjalanan hidup.
"Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga..." (Hal.49)
Penulis lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Secara keseluruhan, novel dikisahkan di Pulau Sumatera dan banyak menggunakan bahasa Minang, tetapi penulis masih memasukkan gaya bahasa yang modernseperti dalam surat Zainuddin yang tertulis untuk pujaan hatinya, yaitu Hayati.
"Adinda Hayati! Petaruhmu seketika saya akan berangkat, masih kugenggam erat, masih kupegang teguh. Begini sulit, begini gelap dan samar haluan yang akan kuturut, namun saya tak pernah putus asa, sebab masih bordering di telingaku rasanya..." (Hal.47)
Dalam novel ini pembaca tidak bisa menebak apa kelanjutan cerita yang akan dikisahkan selanjutnya, karena pengarang menyuguhkan ceritanya dengan sangat kreatif.
Ketika Hayati dan Aziz pindah ke Surabaya, kehidupan perekonomian mereka semakin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Semakin lama watak asli Aziz terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Ketika mereka diusir dari kontrakan, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Zainuddin dan sempat singgah di sana. Karena malu dengan Zainuddin, Aziz memutuskan untuk pergi meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang surat dari Aziz untuk Zainuddin. Isinya permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau meneri Hayati kembali. Sedangkan Aziz meninggal dengan cara bunuh diri. Sebenarnya mereka masih sangat mencintai, namun karena Hayati masih dalam ikatan pernikahan, Zainuddin memutuskan untuk memulangkan Hayati ke kampung halamannya.
Setelah berangkat, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia masih sangat mencintai Hayati dan tidak mampu hidup tanpanya. Ditambah lagi dengan surat Hayati yang isinya ia masih sangat mencintai Zainuddin, dan kalaupun ia meninggal itu adalah meninggal dalam mengenang Zainuddin. Setelah itu, datanglah kabar bahwa kapal yang ditompangi Hayati tenggelam, yaitu Kapal Van Der Wijck. Seketika itu Zainuddin syok dan langsung pergi bersama Muluk untuk mencari Hayati. Hingga akhirnya Zainuddin menemukan Hayati terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Itu adalah hari pertemuan terakhir mereka, karena setelah itu Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.
Hal tersebut membuat Zainuddin sedih karena ia merasa bahwa Hayati meninggal karena kesalahannya. Zainuddin selalu berkunjung ke makam Hayati. Hingga Zainuddin pun akhirnya sakit-sakitan dan kurang produktif lagi untuk menulis roman. Padahal sebenarnya ia sedang menyelesaikan karya besar. Beberapa bulan kemudian Zainuddin meninggal. Karyanya sudah selesai dan dibukukan. Zainuddin dimakamkan disebelah makam Hayati.
Profil Penulis
HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Ayahanda beliau bernama Syech Abdul Karim Amrullah, dan Ibunda beliau bernama Siti Shafiah. Ketika Hamka berumur sepuluh tahun, ayahnya membangun Thawalib Sumatera di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Disamping belajar ilmu agama pada ayahnya. Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti, Syech Ibrahim Musa, Syech Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo.
Yang paling menarik dari Buya Hamka selain memang memiliki kecemerlangan dalam berbagai ilmu Islam, tentu adalah pemikiran beliau mengenai Islam itu sendiri. Dengan keahlian dalam bahasa Arab, Buya Hamka bisa mempelajari berbagai karya ulama klasik dan pujangga dari Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.
Pada tahun 1927, Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang sampai tahun 1929. Tahun 1957-1958 Hamka sebagai Dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti: sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun beliau membangun 'Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah' dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatera Barat, dan pada 26 Juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.
Hamka sudah menulis beberapa buku seperti, Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan novel seperti, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Merantau Ke Deli, Di Dalam Lembah Kehidupan dan masih banyak lagi. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (1958), Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1974) dan pada 24 Juli 1981 Hamka meninggal dunia.
Profil penulis diambil dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H