"Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia telah mau..." (Hal.38)
Pengarang menggunakan bahasa melayu dan beberapa dari majas atau gaya bahasa juga digunakan dalam novel roman ini. Khususnya adalah metafora, hiperbola, simile, dan beberapa simbolik yang menunjukan kehidupan kedua karakter, Zainuddin dan Hayati dalam kisah cinta mereka. Salah satu contoh dari contoh dari metafora dan simbolisme yang ada di dalam novel ini terdapat dalam kutipan berikut ini.
"Di dalam khayalku dan dalam kegelap gulitaan malam, tersimbahlah awan, ceraahral langit dan terlihatlah satu bintang. Bintang itu adalah kau sendiri, Hayati..." (Hal.60)
Zainuddin digambarkan memiliki kemampuan sastra yang sangat baik, apalagi dalam menulis buku. Setelah membaca dan mempelajari profil penulis, ternyata tokoh utama dalam cerita ini yaitu Zainuddin memiliki kemiripan seperti penulis, Buya Hamka. Buya Hamka merupakan politikus dan sastrawan yang terkenal dengan kemampuan yang sangat baik dalam menulis, maka dari itu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini banyak mengulas tentang proses Zainuddin dalam mengarang buku.
"Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana pun putus asa hidupnya, kalau pada suatu hari dilihatnya orang sedang membaca buku itu dengan asyiknya, dia lupa kepayahan dan keputus-asaannya itu." (Hal.98)
"Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia termasyhur dengan nama samaran letter "Z," pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan-sandiwara "Andalas" (Hal.98)
Pemikiran penulis atau psikologi penulis dapat mempengaruhi jalannya kisah cerita dalam novel. Pengarang yang hidup dilingkungan agama yang kental sejak kecil memberi pengaruh pada karya sastra yang dihasilkannya. Seperti yang disebutkan judul karya sastra yang diciptakannya identik dengan agama dan kisah mengenai perjalanan hidup.
"Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga..." (Hal.49)
Penulis lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Secara keseluruhan, novel dikisahkan di Pulau Sumatera dan banyak menggunakan bahasa Minang, tetapi penulis masih memasukkan gaya bahasa yang modernseperti dalam surat Zainuddin yang tertulis untuk pujaan hatinya, yaitu Hayati.
"Adinda Hayati! Petaruhmu seketika saya akan berangkat, masih kugenggam erat, masih kupegang teguh. Begini sulit, begini gelap dan samar haluan yang akan kuturut, namun saya tak pernah putus asa, sebab masih bordering di telingaku rasanya..." (Hal.47)
Dalam novel ini pembaca tidak bisa menebak apa kelanjutan cerita yang akan dikisahkan selanjutnya, karena pengarang menyuguhkan ceritanya dengan sangat kreatif.