Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat. Dengan demikian,
bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya pasti
berlangsung suatu proses pendidikan, sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan
telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Meskipun dalam Islam terdapat beberapa pandangan mengenai pendidikan Islam,
dalam hal ini pandangan Qadariyah yang memandang segala perbuatan yang
dilakukan manusia merupakan hasil usahanya sendiri tanpa adanya intervensi dari
Allah, sedangkan pandangan Jabariyah yang memandang bahwa manusia tunduk
pada kehendak Tuhan semata, begitupun dengan Asy-'Ariyah yang memandang
bahwa Tuhan pencipta semua perkara manusia berarti Tuhanlah pembuat
s Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah . Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum islam dipengaruhi oleh paham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka slalu terpaksa mengalah pada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut meskipun mereka sudah beragama islam. Oleh karena itu, paham Qadariah dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
 Aliran Qadariah berpendapat bahwa tida ada alasan yang tepat
menyandarkan segala perbuatan manusia pada Tuhan.
A. PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PANDANGAN QADARIYAH
1. Pengertian Qadariyah
Secara etimologi Qadariyah berasal dari kata qadara yang berarti kuasa atau
mampu. Maksudnya adalah manusia berkuasa atas dan bebas dalam
perbuatan-perbuatannya. Paham ini juga dikenal dengan nama free will yang berarti
kemauan bebas dan free act yang berarti bebas atau merdeka dalam perbuatannya.
Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri tanpa ada intervensi dari Tuhan.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa Qadariyah adalah suatu paham
yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan atau bebas dalam
melakukan perbuatan atau memilih dalam suatu perbuatan. Dengan kata lain,
manusia mempunyai kekuasaan atau daya pada tindakan-tindakannya dan otoritas
akallah yang berperan penting dalam aktivitas manusia terlepas dari kehendak Allah.
Allah hanya mengetahui setelah perbuatan yang dilakukan manusia. Saat itulah
Tuhan tidak bekerja lagi tetapi hanya mengawasi.
2. Latar Belakang Munculnya Paham Qadariyah serta Corak Pemikirannya.
Paham Qadariyah tidak dapat diketahui dengan pasti kapan muncul dalam
sejarah perkembangan teologi Islam. Ahli sejarah berusaha menerangkan tentang
orang yang pertama melahirkan aliran Qadariyah ini. Menurut Ahmad Amin
sebagaimana yang dikutip oleh Rosihin Anwar bahwa ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh seorang yang
bernama Ma'bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi Ma'bad al-Juhani adalah seorang
taba'i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan al-Basri. Dalam filsafat, paham
qadariyah disebut paham indeterminisme sebagai lawan determinisme (Jabariyah). Paham
indeterminisme memiliki beberapa argumen yang membuktikan kebebasan kehendak
manusia dalam berbuat, antara lain:
a. Kehendak merupakan salah satu bentuk keinginan. Sebagai umumnya, keinginan,
kehendak itu mempunyai tujuan tertentu dan karena itu menghendaki terjadinya
tindakan untuk mencapainya.
b. Keinginan merupakan suatu tindak lanjut dari pengetahuan, dengan demikian
kehendak itu disebut juga keinginan rasional. Hal ini menentukan adanya hubungan
konsekuensi antara kehendak dengan pengetahuan sebelumnya.
c. Oleh karena kehendak itu bersifat rasional maka biasanya selalu mengarah
kepada nilai kebaikan umum termasuk keinginan yang bersifat parsial. Akibatnya,
seseorang tidak pernah menghendaki sesuatu kecuali jika mengandung nilai baik
menurut pandangan orang tersebut.
d. Tidak ada hubungan kemestian antara tujuan umum (dalam perbuatanTuhan) dan
tujuan parsial (dalam perbuatan manusia), sebaliknya manusia yakin bahwa terdapat
ruang perbedaan antara kebaikan transenden dan kebaikan terestial (alam);
kebaikan terestial dapat saja bersifat bebas sebagai anugerah dari Yang Maha Baik.
e. Ketika kehendak itu mengarah kepada suatu objek, dasar ketergantungannya
adalah dirinya sendiri. Dengan demikian, ruang lingkup kosmologi tentang objek
yang bergerak dan diam, wujud pasif dan aktif adalah mencakup pengertian tentang
pengaruh yang sangat menentukan dari kekuatan manusia terhadap perbuatannya
sendiri. Jadi perbuatan manusia menurut paham Qadariyah adalah manusia
mempunyai kebebasan untuk memilih, dalam hal memilih perbuatan yang baik dan buruk,
karena Allah telah menciptakan keduanya. Jika manusia berbuat baik maka ia
akan mendapatkan pahala karena telah mempergunakan kodrat yang diberikan oleh
Allah dengan sebaik-baiknya dan sebaliknya.
Adapun ciri-ciri corak pemikiran paham Qadariyah adalah:
a. Kedudukan akal lebih tinggi
b. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
c. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
d. Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur'an dan
hadis
e. Mengambil metaforis dari tes wahyu
f. Dinamika dalam sikap dan berpikir.
g. Pendidikan Islam dengan Pandangan Qadariyah
3. Pendidikan Islam dalam Pandangan Qadariyah
Jadi, paham Qadariyah memberikan peran yang sangat besar kepada manusia
dalam memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan perbuatannnya. Kebebasan
yang di maksud bukan berarti kebebasan tak terbatas, melainkan kebebasan dalam
determinisme. Di sinilah peran pendidikan Islam dalam mengajarkan berbagai hal
agar menjadi suatu kebiasaan yang tentunya dalam hal ini faktor lingkungan sosial
dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia dalam
memilih atau memperbuat sesuatu. Sehingga, pendidikan Islam sangat membuka
peluang kepada manusia agar senantiasa berusaha mananamkan nilai-nilai yang
baik dalam kehidupannya dengan mengerahkan seluruh kemampuan akalnya dan
pemahamannya terhadap wahyu karena dua hal tersebut selalu berdampingan satu
sama lain dan saling melengkapi. Manusia, dalam paham ini, sama sekali tidakÂ
mempunyai kekuasaan dan kebebasan, melainkan selamanya serba terpaksaÂ
(majbur) didalam setiap perbuatan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI