*
"Rollll, eksyennnn!!!"
Kamera menyorot lelakon. Aku masih mendengar percakapan sambil memegang boomic.
"Kau dengar sesuatu? Seperti ada yang menjerit?" [*]
"Jangan-jangan rumah ini ada hantunya?" [*]
"Cuuuut. Kita break dulu," suara sutradara dari kursi lipatnya. Toa kecil masih ada di tangan kanannya. Sebagian kru berhamburan, sebagian lagi betgerombol dan berbincang dengan pemain.
Aku sebenarnya malas masuk tim pembantu umum begini. Ya bantu nulis naskah, ya bantu editing, ya bantu pegang mic, bahkan bantu-bantu ke warteg merangkap tim konsumsi. Di dunia nyata aku ini seorang pembantu. Kenapa di projek film ini aku juga jadi pembantu? Kenapa? Tanya kenapa?
"Hei, penulis naskah. Taruh micnya. Kita break," kembali suara Toa sutradara menggelegar, membuyarkan lamunanku.
Aku tergopoh-gopoh mendekati sutradara.
"Sudah saya bereskan, Bu," jawabku.
Sutradara menatapku aneh. Sorot matanya melihat ke arahku dan ke arah lokasi syuting untuk scene 44 berganti-ganti. Aku melihat diriku berdiri di sana sambil memegang boomic.