Konsep Pemakzulan Bukan Like and Dislike
Gerakan Reformasi 1998 adalah periode saat semua tata negara, tata pemerintahan, tata hukum, dan tata kelembagaan diluruskan sesuai Undang-undang Dasar 1945. Bahkan, undang-undang dasarnya pun sampai-sampai ikut direvisi sehingga kedudukan parlemen atau DPR terhadap lembaga negara lain dipulihkan dan ditata kembali. Oleh karena itu, saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dituduh mengusulkan "parlemen dibubarkan", ia segera dimakzulkan oleh MPR/DPR RI.
Kini, upaya lembaga eksekutif untuk mendeformasi parlemen atau DPR RI dengan cara menghancurkan basis legitimasinya melalui manipulasi hak dipilih dan memilih dalam Pemilu sedang disidangkan di MK. Dengan demikian, itu berarti secara tentatif DPR RI "sudah bubar" dengan sendirinya karena pembentukannya sudah tidak sejalan dengan konstitusi. Syamsurizal, Wakil Ketua Komisi II DPR RI saat meninjau persiapan Pemilu 2024 di Daerah Istimewa Yogyakarta menekankan, "Jika penuh kecurangan dan ketidakjujuran, maka roh legitimasi sebagai misi penyelengaraan Pemilu tersebut akan hilang" (Parlementaria, 22/11/2023).
Kebobrokan integritas presiden dalam menjalankan lembaga eksekutif di berbagai negara adalah mayoritas penyebab dimakzulkannya presiden berdasarkan tuduhan ketidakmampuan moral. Tuduhan ketidakmampuan moral dilakukan dalam sidang peradilan politik lembaga legislatif yang bersifat unik (sui generis), biasanya melalui suatu mosi. Hal ini menjadikan lembaga legislatif sebenarnya bisa memecat presiden tanpa alasan apa pun.
Dari Ketidakmampuan Moral sampai Pengkhianatan
Tuduhan ketidakmampuan moral (21,5 persen) pernah dialami oleh Presiden Peru, Pedro Pablo Kuczynski (2017 dan 2018), Martin Vizcarra (2020), dan Pedro Castillo (2022). Peru  merupakan negara yang sering melakukan pemakzulan presidennya. Bahkan, tuntutan pemakzulan bisa dilakukan lebih dari sekali sampai akhirnya pemakzulan itu berhasil.
Melanggar konstitusi dan undang-undang bisa menjadi alasan untuk memakzulkan presiden (18 persen). Presiden yang dimakzulkan dengan alasan ini antara lain Andrew Johnson, Presiden Amerika Serikat yang melanggar Undang-undang Masa Jabatan (1868). Selain itu, presiden lainnya adalah Presiden Rusia, Boris Yeltsin (1993), Presiden Korea Selatan, Roh Moo-Hyun (2004), Presiden Brazil, Dilma Rousseff (2016), dan Presiden Chile, Sebastian Pinera (2021).
Beberapa presiden dimakzulkan dengan alasan melakukan pengkhianatan (dua persen). Pengkhianatan yang diberi sanksi pemakzulan adalah "pengkhianatan tingkat tinggi". Dalam konteks Revolusi Inggris (Abad ke-17) dan Revolusi Prancis (Abad ke-18), yang dimaksud adalah pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sebagai wujud kedaulatan rakyat. Presiden yang dimakzulkan karena pengkhianatan adalah Presiden Republik Ceko, Vaclav Klaus (2013), dan Viktor Yanukovych (2014).
Dari Penyalahgunaan Kekuasaan sampai Kudeta
Sebagian kecil pemakzulan juga dilakukan dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power (dua persen). Pemakzulan dengan alasan ini dilayangkan kepada Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye (2016), dan Donald Trump (2019). Penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden dilakukan karena dalam kapasitas resmi melakukan perlawanan hukum atau korupsi.
Hal yang menarik dan sekaligus janggal adalah presiden yang dimakzulkan karena tuduhan kudeta (dua persen). Kudeta tersebut merupakan upaya preemptive dalam rangka mengokupasi kekuasaan presiden untuk mencegah agar presiden baru yang tidak diinginkan menduduki jabatan tersebut. Presiden Carlos Luz melakukan rekayasa kudeta (1955) untuk mencegah Juscelino Kubitschek menjabat.