Saat ini sedang berlangsung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024 yang diikuti oleh kubu pasangan calon (Paslon) 01 dan Paslon 03 sebagai pemohon. Tuntutan  yang diajukan ke MK oleh mereka adalah pemungutan suara ulang dan diskualifikasi terhadap Paslon 02, Prabowo-Gibran. Gugatan ke MK ini sebenarnya merupakan ranah dari partai politik (parpol) sebagai subjek formal (ber-legal standing) dalam Pemilu dan Pilpres.
Walaupun presiden bisa dijadikan saksi, gugatan yang diajukan ke MK oleh parpol ini tidak serta merta berujung pada pemakzulan presiden. Dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam kecurangan yang menghasilkan gap angka perolehan justru diuji di MK. Walaupun ada indikasi bahwa apa yang dilakukan presiden terbukti melawan hukum, pemakzulan presiden sebenarnya berada di jalur lain.
Tuntutan Pemakzulan Hanya Layak oleh People Power
Jika bukti kecurangan pilpres yang saat ini diajukan ke MK akan dijadikan dalih pemakzulan presiden, hal itu terpulang kepada apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang ingin memakzulkan presiden. Keinginan DPR untuk memakzulkan presiden itu sangat samar-samar karena terhadap hak angket pun DPR terkesan ogah-ogahan. Padahal, apa yang dilakukan oleh presiden sebenarnya sudah memenuhi isi pasal 7 UUD tentang alasan pemakzulan.
Memang pemakzulan presiden di berbagai negara selalu membutuhkan people power untuk mendesak DPR agar bersedia memperhatikan kehendak rakyat. Merujuk pada Revolusi EDSA (Epifanio de los Santos Avenue, nama jalan di Manila) tahun 1986 saat menjatuhkan Ferdinand Marcos, untuk mendesak agar Parlemen/DPR mau menindaklanjuti aspirasi rakyat secara damai, dibutuhkan aksi dengan minimal dua juta massa selama empat hari. Menurut Eep Saefulloh, jika oposisi atau resistensi parlementer dan resistensi ekstra parlementar bersatu, niscaya upaya pemakzulan presiden Joko Widodo akan berhasil (Kanal YouTube Abraham Samad dan RMOL.id, 27/10/2023).
Sebagai catatan, selama ini sebenarnya Indonesia menganut demokrasi semi langsung. Hal ini karena di satu pihak melaksanakan demokrasi perwakilan, tetapi di lain pihak rakyat menjalankan demokrasi langsung dengan memilih presiden. Gerakan Rakyat (people power) merupakan bentuk demokrasi langsung (direct democracy) sebagai ganti tidak adanya referendum, inisiatif, dan penarikan kembali anggota legislatif terpilih (recall) di Indonesia. Rakyat juga merupakan pemberi mandat kepada presiden sebagai kepala negara sehingga berhak pula mencabut mandat melalui pemakzulan apabila presiden berkhianat.
Aneh Jika DPR Tidak Dukung Pemakzulan
Memang kata pemakzulan merupakan sesuatu yang dianggap berat dan luar biasa. Akan tetapi, hampir semua negara mencantumkan hal itu dalam konstitusinya. Ini berarti mereka sudah memprediksi adanya potensi pejabat tinggi atau kepala negara pada suatu saat akan melanggar konstitusi dan sumpahnya.
Lord Acton mengatakan, "power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely", artinya semua penguasa cenderung bertindak korup, apalagi penguasa yang zalim. Itulah mengapa kekuasaan kepala pemerintah dan kepala negara penting untuk diawasi dan dikendalikan oleh lembaga lain, yakni Parlemen atau DPR. Sejalan dengan itu, DPR juga memiliki hak untuk memakzulkan seorang presiden sebagai kepala pemerintahan atau negara.
Oleh karena itu, aneh sekali jika DPR sebagai lembaga legislatif diam saja saat ada persoalan menyangkut integritas presiden yang diduga melakukan pelanggaran konstitusi. Bahkan, para anggota DPR pun enggan menjalankan haknya untuk bertanya (hak angket) kepada presiden selaku kepala pemerintahan (lembaga eksekutif). Ini semua disebabkan oleh persoalan terkait korupsi oleh anggota DPR yang kerap menjadi alat sandera politik serta negosiasi atau kompromi politik terhadap pihak lain (Marzuki Alie, Parlementaria, 13/06/2013)